Kekerasan di sekolah kedinasan kembali terjadi dan menelan korban jiwa. Dimas Dikita Handoko, taruna tingkat satu Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Jakarta, meninggal setelah dianiaya oleh seniornya. Kementerian Perhubungan harus segera mengevaluasi pola pengajaran di sekolah ini.
Dimas dikeroyok oleh tujuh kakak kelasnya di luar kampus. Ia dipukuli hingga tak sadarkan diri dan sempat dibawa ke rumah sakit, tapi nyawanya tak tertolong. Sebelum penganiayaan itu, Dimas bersama beberapa temannya diminta "menghadap" seniornya di rumah kos seorang taruna di kawasan Kebon Baru, Jakarta. Di sinilah penganiayaan itu dilakukan.
Ketujuh penganiaya Dimas telah ditetapkan sebagai tersangka. Kampus pun telah bereaksi cepat dengan memecat mereka. Tapi Ketua STIP Kapten Rudiana menyatakan bahwa kampus bukanlah pihak yang bertanggung jawab dengan alasan kejadiannya berlangsung di luar sekolah. Ia juga mengatakan tidak mungkin STIP mengawasi satu per satu mahasiswanya.
Sikap Ketua STIP ini amat mengherankan. Kampus STIP tetap harus ikut bertanggung jawab karena penganiayaan dilakukan oleh senior terhadap adik kelasnya. Ini berarti ada yang salah dalam pola pendidikan di kampus itu. Kementerian Perhubungan mesti turun tangan untuk membenahinya. Budaya kekerasan yang biasanya dilestarikan lewat sistem pengasuhan dan penggojlokan mahasiswa baru mesti ditumpas habis. Sistem pendidikan ala militer ini sudah usang dan berbahaya.
Perubahan mendesak dilakukan karena kejadian ini bukanlah yang pertama kali. Pada 2008, Bastian Agung Gultom, taruna tingkat satu, juga tewas karena disiksa oleh sepuluh seniornya. Tak hanya memecat para pelaku penganiayaan itu, STIP akhirnya memasang CCTV di lingkungan kampus dan asrama untuk mengawasi perilaku para taruna. Pengawasan ini tidak efektif karena kekerasan kemudian berpindah ke luar kampus.
Kampus harus memutus lingkaran dendam yang biasa terjadi di sekolah kedinasan. Mahasiswa junior yang sering dianiaya oleh kakak kelasnya akan berbuat serupa setelah menjadi senior. Mahasiswa senior seakan memiliki kekuasaan besar dan merasa harus dihormati. Begitu ada mahasiswa junior tak mau menghormati seniornya, ia akan menjadi bulan-bulanan.
Pola pendidikan yang salah kaprah itu bukan monopoli sekolah kedinasan. Kita masih ingat, Oktober tahun lalu, seorang mahasiswa Jurusan Planologi Institut Teknologi Nasional Malang, Jawa Timur, Fikri Dolasmantya Surya, meninggal diduga akibat penganiayaan seniornya saat mengikuti orientasi studi dan pengenalan kampus.
Hanya, harus diakui, sistem pengajaran di sebagian besar sekolah kedinasan umumnya menerapkan pola pengasuhan dan disiplin yang kaku. Hal inilah yang membuat mahasiswa cenderung agresif dan kehilangan rasa empati terhadap orang lain, bahkan kepada adik kelasnya. Tragedi Bastian dan Dimas akan terulang jika STIP tak segera merombak sistem pendidikan.