Pemilihan umum legislatif yang berlangsung relatif lancar rupanya masih dinodai oleh suap politik. Praktek kotor ini semakin dipicu oleh persaingan sengit para calon legislator dari partai yang sama. Bukan membiarkan, partai politik seharusnya ikut memerangi suap politik.
Kecurangan itu bukan lagi samar, melainkan terang-terangan. Indonesia Corruption Watch menemukan setidaknya 313 praktek kotor sepanjang 16 Maret-9 April 2014 di 15 provinsi. Modusnya dari yang paling primitif, seperti membagikan duit dalam amplop, paket sembako, dan voucher pulsa, hingga mengiming-imingi paket asuransi.
Calon legislator bahkan sampai mengikat tim sukses dengan perjanjian bermeterai. Tim sukses yang bertugas menebar duit diharapkan tidak berkhianat. Tak hanya membagi-membagikan duit atau bahan pokok kepada masyarakat, calon legislator juga perlu membayar saksi dan "membeli" suara agar terpilih. Dagang suara biasanya berlangsung saat rekapitulasi suara di tingkat desa dan kecamatan. Dengan menyogok, petugas diharapkan mengalihkan suara partai menjadi suara caleg.
Pertarungan bebas para caleg dalam satu partai membuat mereka menempuh jalan pintas. Praktek inilah yang menjelaskan kenapa banyak caleg yang terkenal disingkirkan oleh caleg pendatang baru. Jangan heran pula muncul seloroh NPWP. Bukan nomor pokok wajib pajak, melainkan "nomer piro wani piro" (nomor berapa, berani membayar berapa).
Itulah tugas berat Badan Pengawas Pemilu untuk mengusut berbagai kecurangan pemilu. Undang-Undang Pemilu telah mengatur secara gamblang sanksi pidana bagi pelaku suap dalam pemilu. Orang yang dengan sengaja menyuap pemilih bahkan diancam dengan hukuman 3 tahun penjara dan dibatalkan sebagai calon legislator.
Sejauh ini Bawaslu baru membawa 85 kasus suap pemilu ke kepolisian, termasuk perkara caleg menyewa belasan petugas PPK di Pasuruan, Jawa Timur. Angka itu jelas tidak menggambarkan banyaknya kasus suap politik di berbagai daerah pemilihan di seluruh pelosok negeri. Bawaslu biasanya kesulitan mendapatkan orang yang mau bersaksi dan bukti yang mendukungnya.
Partai politik yang menciptakan aturan main pemilu lewat fraksinya di DPR semestinya ikut bertanggung jawab. Pertarungan bebas antar-calon dalam satu partai tentu saja amat demokratis. Masalahnya, di tengah masyarakat kita yang masih permisif terhadap suap politik, persaingan sengit caleg hanya membuat permainan suap semakin subur. Seorang caleg cukup menebar duit Rp 5-10 miliar untuk membeli suara pemilih.
Aturan pertarungan bebas itu bisa dievaluasi. Pemilu tetap bisa menghasilkan anggota legislatif yang bermutu bila partai memasang caleg yang bagus. Kalaupun mekanisme itu dipertahankan, partai politik mesti ikut mengawasi agar permainan uang tidak merajalela. Bagaimanapun, partai wajib mendidik masyarakat, bukannya malah terus-menerus membodohinya.