Otoritas Jasa Keuangan (OJK) semestinya lebih aktif mengawasi sepak terjang perusahaan investasi abal-abal yang seenaknya mengeruk dana masyarakat. Sebagai instrumen negara, OJK tidak boleh mengelak ketika muncul korban investasi bodong.
Mengandaikan masyarakat sudah pintar dan rasional bukanlah sikap yang tepat. OJK juga tidak bisa berkilah dengan mengatakan bahwa masyarakat semestinya paham pakem: tidak ada investasi yang tak berisiko, dan makin besar tingkat pengembalian (return), semakin tinggi risikonya.
Nyatanya, korban perusahaan investasi fiktif terus berjatuhan kendati penipuan model ini sudah sering terbongkar. Pekan lalu, misalnya, perwakilan ratusan nasabah PT Gold Bullion Indonesia melapor ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Perusahaan investasi dalam bentuk index futures emas ini mendadak wanprestasi dan gagal mengembalikan dana nasabahnya.
Gold Bullion, yang didirikan warga Malaysia pada 7 Mei 2012, menjanjikan bagi hasil 2 hingga 2,5 persen per bulan dari investasi emas yang disetorkan nasabah. Di tengah jalan, perusahaan ini diperkirakan bangkrut dengan membawa lari uang milik seribu orang nasabahnya senilai Rp 1,3 triliun.
Modus seperti itu sudah terlalu sering dipraktekkan. Februari 2013, PT Golden Traders Indonesian Syariah juga menawarkan produk investasi yang mirip Gold Bullion. Ketika kasusnya meledak, Rp 1 triliun raib bersamaan dengan menghilangnya Michael Ong, salah seorang pemegang sahamnya.
Dalam menjalankan usahanya, Gold Bullion dan Golden Traders sama-sama "menjual" rekomendasi syariah dari Majelis Ulama Indonesia dengan menawarkan pola bagi hasil. Golden Traders malah menempatkan petinggi majelis ulama duduk sebagai pengurus.
Menjalankan bisnis di Indonesia, kedua perusahaan itu pastinya memiliki izin. Minimal, karena sahamnya dimiliki orang asing, mereka memenuhi ketentuan Badan Koordinasi Penanaman Modal. Selain itu, perusahaan ini semestinya terdaftar di Kementerian Perdagangan. Namun, ketika kasus ini meledak, tak satu pun institusi itu menunjukkan sikap bertanggung jawab, dan malah saling menyalahkan.
Begitu pula OJK. Lembaga ini semestinya bisa bertindak. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan secara jelas mengamanatkan OJK untuk melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat dalam kegiatan sektor jasa keuangan. Lembaga ini perlu pula mengoptimalkan upaya kampanye dan sosialisasi kepada masyarakat tentang cara investasi yang benar.
Satuan Tugas Waspada Investasi yang dibentuk OJK tidak cukup hanya menerima aduan masyarakat. Unit kerja ini semestinya aktif bergerak seperti intelijen keuangan, yakni berburu produk investasi ilegal yang beredar. Perusahaan investasi yang mencurigakan melakukan kegiatan secara terang-benderang. Dengan mudah orang bisa melihat iklan tawaran produknya di Internet. Tidaklah pantas pemerintah membiarkan masyarakat berkali-kali menjadi korban penipuan.