Seandainya sebuah komunitas ibarat sebuah kabilah, seorang pemimpin yang teguh memang diperlukan. Sebuah kabilah yang bergerak dari R> tempat ke tempat memerlukan arah yang jelas, patokan dan panutan tertentu, sehingga tak tercerai-berai. Tapi persoalannya: tepatkah ibarat itu?
Tepat?jika kita berbicara tentang sehimpun puak di gurun pasir, yang hidup di ruang yang seakan-akan kosong, begitu luas, begitu tunggal, sehingga, seperti dirangkul langit, ia seolah-olah tak pernah disentuh oleh sejarah.
Tapi kita tahu tak semua komunitas manusia seperti itu. Ada yang menetap dan kepergok dengan kota-kota yang riuh, ada yang tinggal di bawah gunung berapi yang tak menentu dan sungai deras yang berkelok.
Dengan kata lain, tak semua orang bisa membayangkan komunitasnya sebagai "kabilah" yang berjalan di sebuah gurun. Bahkan kiasan "kabilah", yang mendasari pemikiran politik Islam pada abad-abad pertama setelah Nabi, sebenarnya tak persis bisa berlaku lagi ketika kehidupan puak yang berasal dari masyarakat Arabia utara itu berubah menjadi kehidupan "negeri", bahkan "imperium". Islam akhirnya toh mengambil tempat di tamasya yang tak lagi mempunyai keangkeran tunggal padang pasir.
Memang buat sekitar dua abad setelah Islam tegak membentuk sebuah komunitas di Yathrib ("Madinah"), masih dominan "pemikiran politik" dengan "tradisi kesukuan" itu. Nabi Muhammad sebenarnya berhasil mengatasi itu. Tapi ada ciri yang berlanjut. Patricia Crone, dalam God's Rule (diterbitkan oleh Columbia University Press tahun ini), dengan cukup lengkap menulis sejarah pemikiran politik Islam selama enam abad pertama atau masa "Tengah" (medieval) itu. Ia menyebut satu ciri yang utama: bagi tradisi ini, di dalam diri seorang imam bisa ditemukan sekaligus kebenaran dan kekuasaan. Dalam dirinya, yang religius dan yang politis bertaut. Imam inilah yang memberi wujud legal kepada umat. Imam itu pula yang menunjukkan jalan "kabilah". Teladannya adalah Musa, pemimpin orang Yahudi yang membimbing mereka dengan hukum dan petunjuk ke tanah yang dijanjikan. Musa adalah "nabi paradigmatik dalam Quran," kata Crone, dan Muhammad, disadari atau tidak, adalah "Musa baru".
Sebab itu seorang imam bukan saja ada di depan; ia juga ada di awal. "Tanpa dia," tulis Crone, "tak ada kabilah, hanya para pejalan yang tercerai-berai." Seorang imam adalah "seseorang yang harus ditiru."
Dalam pemikiran zaman itu, seorang imam berbeda dengan seorang malik. Dalam tradisi suku-suku Arab, sebagaimana juga dalam sejarah bangsa Yahudi yang direkam Perjanjian Lama, ada kecurigaan besar terhadap posisi kepemimpinan seorang raja. Crone mengutip seorang penyair pra-Islam yang dengan bangga ingin bercerita tentang "hari yang panjang dan berjaya ketika kami memberontak raja-raja dan tak hendak mengabdi kepada mereka."
Dalam khazanah Islam, sikap yang tak serta-merta mempercayai "raja" itu berlanjut. Dalam Surah An-Naml ayat 34 ada satu kalimat, diucapkan oleh seorang ratu, bahwa raja-raja, bila mereka memasuki sebuah negeri, akan merusak negeri itu; mereka pula yang membuat orang yang luhur budi menjadi keji. Maka ketika Umar diangkat menjadi khalifah, inilah yang konon dikatakannya: "Aku bukanlah seorang raja yang akan memperbudak kalian, aku hanya hamba Tuhan yang telah ditawari kepercayaan." Ada satu kisah ketika pasukan muslim menang perang di Spanyol. Mereka berteriak kecewa ketika mendengar bahwa seorang putra pemimpin mereka mengenakan mahkota: "Dia telah jadi Kristen!" seru mereka.
Tapi tak berarti mereka memilih demokrasi. Sikap anti-raja itu tumbuh, seperti ditunjukkan oleh Crone, dari keadaan tak adanya "negara". Tradisi mereka tak menghendaki kemerdekaan orang per orang untuk lepas dari adat dan keinginan komunitas. Meskipun demikian, pada masa Bani Ummayah, desakan dari bawah agar sang khalif lebih mendengarkan keluhan rakyat, agar ada rembukan dan pembagian yang adil dari perolehan kekayaan, terjadi tak henti-henti. Dari masa ini bahkan tumbuh gerakan oposisi yang dengan darah dan besi menyatakan pendirian. Bagi mereka, tak ada "imam agung" di atas takhta, sepanjang tak ada yang layak menggabungkan kepemimpinan politik dan agama dalam dirinya.
Tapi mungkinkah ada seseorang yang seperti itu, setelah Nabi? Persoalan inilah yang menghantui pemikiran politik Islam terus-menerus hingga sekarang. Terutama ketika metafora "kabilah" tak bisa dihayati lagi. Lebih banyak orang Islam yang hidup dengan alam yang berbeda dari jazirah Arabia. Ada yang menghuni tepi sawah dan ladang, tinggal di bawah kerajaan-kerajaan tua yang menceritakan awal dan akhir para raja. Lanskap itu, dan perubahan politik dari zaman ke zaman itu, adalah petunjuk betapa tak ajeknya hidup dalam drama ruang dan waktu.
Maka menarik untuk membaca, dari buku Crone, jawaban yang ditawarkan Al-Asamm, seorang pemikir dari Basra, Irak, pada abad ke-9. Seorang imam, bagi Al-Asamm, adalah seseorang yang kepemimpinannya diterima secara mufakat oleh komunitas. Tapi ketika komunitas jadi begitu besar dan tak semuanya berperangai luhur, bagaimana menciptakan satu konsensus yang meyakinkan? Sejarah Islam menunjukkan betapa mustahilnya mencapai suara bulat seperti itu.
Maka Al-Asamm berpendapat bahwa kaum muslimin bisa saja memiliki beberapa imam di beragam tempat pada saat yang sama. Tak mungkin lagi kekhalifahan yang tunggal. Pemikir yang meninggal pada tahun 817 ini memang termasuk kaum Muktazillah yang menganggap bahwa ke-imam-an adalah konvensi manusia semata. Dari mereka ini pula datang pendapat bahwa sebagaimana otoritas seorang imam dalam salat bersama, otoritas pemimpin sebuah komunitas juga harus berakhir begitu ia menjalankan satu tugas.
Lebih dari sembilan abad kemudian, Amerika memilih cara yang seperti ditawarkan orang Irak itu. Lebih dari satu milenium kemudian, Indonesia.
Goenawan Mohamad