Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Imam

Oleh

image-gnews
Iklan

Seandainya sebuah komunitas ibarat sebuah kabilah, seorang pemimpin yang teguh memang diperlukan. Sebuah kabilah yang bergerak dari R> tempat ke tempat memerlukan arah yang jelas, patokan dan panutan tertentu, sehingga tak tercerai-berai. Tapi persoalannya: tepatkah ibarat itu?

Tepat?jika kita berbicara tentang sehimpun puak di gurun pasir, yang hidup di ruang yang seakan-akan kosong, begitu luas, begitu tunggal, sehingga, seperti dirangkul langit, ia seolah-olah tak pernah disentuh oleh sejarah.

Tapi kita tahu tak semua komunitas manusia seperti itu. Ada yang menetap dan kepergok dengan kota-kota yang riuh, ada yang tinggal di bawah gunung berapi yang tak menentu dan sungai deras yang berkelok.

Dengan kata lain, tak semua orang bisa membayangkan komunitasnya sebagai "kabilah" yang berjalan di sebuah gurun. Bahkan kiasan "kabilah", yang mendasari pemikiran politik Islam pada abad-abad pertama setelah Nabi, sebenarnya tak persis bisa berlaku lagi ketika kehidupan puak yang berasal dari masyarakat Arabia utara itu berubah menjadi kehidupan "negeri", bahkan "imperium". Islam akhirnya toh mengambil tempat di tamasya yang tak lagi mempunyai keangkeran tunggal padang pasir.

Memang buat sekitar dua abad setelah Islam tegak membentuk sebuah komunitas di Yathrib ("Madinah"), masih dominan "pemikiran politik" dengan "tradisi kesukuan" itu. Nabi Muhammad sebenarnya berhasil mengatasi itu. Tapi ada ciri yang berlanjut. Patricia Crone, dalam God's Rule (diterbitkan oleh Columbia University Press tahun ini), dengan cukup lengkap menulis sejarah pemikiran politik Islam selama enam abad pertama atau masa "Tengah" (medieval) itu. Ia menyebut satu ciri yang utama: bagi tradisi ini, di dalam diri seorang imam bisa ditemukan sekaligus kebenaran dan kekuasaan. Dalam dirinya, yang religius dan yang politis bertaut. Imam inilah yang memberi wujud legal kepada umat. Imam itu pula yang menunjukkan jalan "kabilah". Teladannya adalah Musa, pemimpin orang Yahudi yang membimbing mereka dengan hukum dan petunjuk ke tanah yang dijanjikan. Musa adalah "nabi paradigmatik dalam Quran," kata Crone, dan Muhammad, disadari atau tidak, adalah "Musa baru".

Sebab itu seorang imam bukan saja ada di depan; ia juga ada di awal. "Tanpa dia," tulis Crone, "tak ada kabilah, hanya para pejalan yang tercerai-berai." Seorang imam adalah "seseorang yang harus ditiru."

Dalam pemikiran zaman itu, seorang imam berbeda dengan seorang malik. Dalam tradisi suku-suku Arab, sebagaimana juga dalam sejarah bangsa Yahudi yang direkam Perjanjian Lama, ada kecurigaan besar terhadap posisi kepemimpinan seorang raja. Crone mengutip seorang penyair pra-Islam yang dengan bangga ingin bercerita tentang "hari yang panjang dan berjaya ketika kami memberontak raja-raja dan tak hendak mengabdi kepada mereka."

Dalam khazanah Islam, sikap yang tak serta-merta mempercayai "raja" itu berlanjut. Dalam Surah An-Naml ayat 34 ada satu kalimat, diucapkan oleh seorang ratu, bahwa raja-raja, bila mereka memasuki sebuah negeri, akan merusak negeri itu; mereka pula yang membuat orang yang luhur budi menjadi keji. Maka ketika Umar diangkat menjadi khalifah, inilah yang konon dikatakannya: "Aku bukanlah seorang raja yang akan memperbudak kalian, aku hanya hamba Tuhan yang telah ditawari kepercayaan." Ada satu kisah ketika pasukan muslim menang perang di Spanyol. Mereka berteriak kecewa ketika mendengar bahwa seorang putra pemimpin mereka mengenakan mahkota: "Dia telah jadi Kristen!" seru mereka.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi tak berarti mereka memilih demokrasi. Sikap anti-raja itu tumbuh, seperti ditunjukkan oleh Crone, dari keadaan tak adanya "negara". Tradisi mereka tak menghendaki kemerdekaan orang per orang untuk lepas dari adat dan keinginan komunitas. Meskipun demikian, pada masa Bani Ummayah, desakan dari bawah agar sang khalif lebih mendengarkan keluhan rakyat, agar ada rembukan dan pembagian yang adil dari perolehan kekayaan, terjadi tak henti-henti. Dari masa ini bahkan tumbuh gerakan oposisi yang dengan darah dan besi menyatakan pendirian. Bagi mereka, tak ada "imam agung" di atas takhta, sepanjang tak ada yang layak menggabungkan kepemimpinan politik dan agama dalam dirinya.

Tapi mungkinkah ada seseorang yang seperti itu, setelah Nabi? Persoalan inilah yang menghantui pemikiran politik Islam terus-menerus hingga sekarang. Terutama ketika metafora "kabilah" tak bisa dihayati lagi. Lebih banyak orang Islam yang hidup dengan alam yang berbeda dari jazirah Arabia. Ada yang menghuni tepi sawah dan ladang, tinggal di bawah kerajaan-kerajaan tua yang menceritakan awal dan akhir para raja. Lanskap itu, dan perubahan politik dari zaman ke zaman itu, adalah petunjuk betapa tak ajeknya hidup dalam drama ruang dan waktu.

Maka menarik untuk membaca, dari buku Crone, jawaban yang ditawarkan Al-Asamm, seorang pemikir dari Basra, Irak, pada abad ke-9. Seorang imam, bagi Al-Asamm, adalah seseorang yang kepemimpinannya diterima secara mufakat oleh komunitas. Tapi ketika komunitas jadi begitu besar dan tak semuanya berperangai luhur, bagaimana menciptakan satu konsensus yang meyakinkan? Sejarah Islam menunjukkan betapa mustahilnya mencapai suara bulat seperti itu.

Maka Al-Asamm berpendapat bahwa kaum muslimin bisa saja memiliki beberapa imam di beragam tempat pada saat yang sama. Tak mungkin lagi kekhalifahan yang tunggal. Pemikir yang meninggal pada tahun 817 ini memang termasuk kaum Muktazillah yang menganggap bahwa ke-imam-an adalah konvensi manusia semata. Dari mereka ini pula datang pendapat bahwa sebagaimana otoritas seorang imam dalam salat bersama, otoritas pemimpin sebuah komunitas juga harus berakhir begitu ia menjalankan satu tugas.

Lebih dari sembilan abad kemudian, Amerika memilih cara yang seperti ditawarkan orang Irak itu. Lebih dari satu milenium kemudian, Indonesia.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

2 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

43 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

48 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

48 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.