Kabar tentang Edward Said meninggal saya baca di sebaris sandek. Kalimat itu muncul di layar telepon genggam ketika saya tengah duduk di depan sebuah lampu meja yang penyungginya terbuat dari batu berukirkan dua sosok penari: sebuah nukilan Borbudur.
Kabar datang, pergi, informasi melintas cepat-cepat. Mungkin sebab itulah orang membangun monumen. Memahat adalah mengingat. Atau sebaliknya: sejarah ingin dipahat, dituliskan dengan huruf kapital "S", tapi segala yang datang dan pergi tak bisa disusun dalam kronologi dan tema besar. Mereka terus mengerumuni kita, merasuki kita. Dan Sejarah pun seakan-akan mengunjal napas, capek dan gaek, di hadapan kini. Kini itu tak kunjung berhenti. Yang terpeluk oleh Sejarah hanya segala yang telah lewat, reruntuhan.
"The sigh of History rises over ruins ."
Edward Said meninggal, dan aneh bahwa saya teringat potongan kalimat Derek Walcott itu. Sang penyair Karibia tengah melukiskan sebuah sore di sebuah dusun Trinidad ketika orang-orang keturunan India mempertunjukkan satu versi Ramayana di lapangan desa. Bendera warna-warni berkibar, bocah-bocah berpakaian merah dan hitam mengarahkan panah mereka ke cahaya setelah siang, dan di arah sana tampak dua bangunan bambu, bagian dari patung dewa yang nanti akan dibakar. Para penabuh tabla telah menyalakan api. Langit mulai gelap. Burung-burung ibis yang kemerahan terbang pulang.
Di lapangan itu, para aktor Ramayana di dusun Trinidad itu bukan hendak menegakkan kembali masa lampau. Mereka hanya ingin bermain, menjalankan ritus. Lanskap itu sebuah lapangan yang hidup dan hiruk. Kejadian itu bukan wakil sebuah "periode". Ia bukan secuil contoh dari satu "zaman". Di sini, di mana-mana, suara Sejarah luruh. The sigh of History dissolves .
Tapi bila Sejarah sebenarnya tak mampu menyusun peta waktu, sebagaimana geografi tak bisa menyusun peta bumi dan penghunikarena hal-hal itu selalu berubah, karena variasi mereka tak tepermanaidengan cara apakah kita mampu membaca garis hidup dan memahami dunia? Yang pasti, kita tak akan bisa membacanya utuh. Mengetahui adalah menguasai, tapi itu ikhtiar yang tak kunjung sampai. Sebab itulah cerita pengetahuan adalah cerita mobilisasi sehimpun lembaga, teknologi, dan modal. Pengetahuan pun berbaur dengan kekuasaan. Pengetahuan menjadi kekuasaan.
Bertahun-tahun Edward Said dikenal dengan premis á la Foucault itu, dan dengan itulah karya besarnya, Orientalism, selalu diperbincangkan. Mungkin karena ia sebuah polemik yang ditembakkan ketika imperialisme dibongkar: sebuah serangan ke sejumlah besar karya para ilmuwan, pemikir, dan penulis di Eropa. Mereka ini bagian dari usaha kolonialisme, kata Said. Mereka menghadapi lanskap yang hidup dan hiruk di luar lingkup mereka, dan mereka meringkas dan meringkus; mereka membentuk sebuah Sejarah. Di bungkusnya mereka capkan label "Timur" dan "Barat". Walhasil, "Timur" adalah sebuah sistem pelukisan tentang sebuah dunia "lain" yang oleh kekuatan politik diberi rangka tertentu untuk disajikan untuk disiasati orang di "Barat".
Dengan semangat polemis yang sama Said juga menunjukkan bahwa "Eropa" memang butuh satu sosok yang berbeda agar ia bisa memperjelas identitasnya sendiri. Maka "Eropa" pun membentuk sebuah Sejarah dan Peta yang secara esensial lain, bahkan berlawanan. Tentu saja bagi Said, "esensialisme" ini sewenang-wenang. Dalam edisi 1995 dari buku terkenalnya itu ia mengutuk tiap "usaha untuk memaksa kebudayaan dan orang-orang ke dalam jenis dan esensi yang terpisah dan beda." Sebab, katanya, "posisi palsu ini menyembunyikan perubahan sejarah."
"Palsu"dengan hasil yang salah. "Pertimbangkan, besarnya Asia yang direduksi jadi fragmen-fragmen ini ," tulis Derek Walcott, yang juga tak percaya bahwa Sejarah bisa ditulis bahkan tentang serpihan Ramayana di dusun Trinidad itu. Dari Said kita juga belajar bahwa semua gambaran tentang "Asia", sebagai discourse, selalu diwarnai oleh bahasa, budaya, institusi, dan suasana politik si orang yang membuat gambar. Semuanya bukan "kebenaran".
Begitulah, Said adalah sebuah kritik. Tapi sebagaimana lazimnya sebuah polemik, Orientalism kadang terlalu bersemangat menembak, dan meleset. Ia lupa bahwa hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan tak hanya terbatas dalam discourse yang topang-menopang dengan imperialisme ke dunia "Timur". Heidegger, sebelum Foucault, telah memaparkan bahwa sejak masa Sokrates dan Plato di Yunani, cara manusia (Eropa) berpikir telah mengarah ke meringkus dan meringkas dunia di luar dirinyadan tendensi ini diperkeras oleh penerjemahan konsep Yunani lama oleh semangat imperial Romawi.
Cara berpikir itu tak ayal merasuki gambaran Said sendiri tentang para "Orientalis". Ia membangun satu Sejarah dari sebuah lapangan pemikiran yang hidup dan hiruk. Ia tak memberi kemungkinan sesuatu yang berbeda, bahwa di Eropa, "Timur" tak selamanya dilukiskan sebagai sesuatu yang harus dijajah agar beradabmisalnya ketika Voltaire di pertengahan abad ke-18 memuji Islam dan mengejek Gereja Katolik. Said begitu berapi-api mengecam pengetahuan "Barat" tentang "Timur" sehingga ia (dan juga para pengagumnya) sering tak hendak melihat kesalahan pengetahuan "Timur" tentang dirinya sendiri.
Tapi di situ pula Said menyiratkan kepedihan: menghadapi kekuasaan yang bertaut dengan pengetahuan, menghadapi senjata, harta, dan kata-kata yang begitu kuat dan menaklukkan, ia berangkat untuk membebaskan. Bukan kebetulan ia seorang Palestina.
Tapi kini ia meninggal, dan seorang teman mengirim sebaris sandek: "Kenapa saya sedih?" Kenapa kita sedih? Mungkin karena hati kita adalah Palestina, jawab saya, pernah merasakan bagaimana diringkas, diringkus, dan dibungkam di dunia.
Goenawan Mohamad