Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo tak perlu terkejut melihat maraknya pungutan liar di jembatan timbang. Praktek begini sudah berlangsung puluhan tahun. Maraknya pungutan liar terjadi, selain karena lemahnya pengawasan, akibat salah kaprah tentang fungsi jembatan timbang.
Agar hal ini tak terus-menerus terjadi, selain memperketat pengawasan, pemerintah daerah perlu mengubah peraturan yang justru mendorong terjadinya pungutan liar. Pemerintah pusat juga mesti membuat sistem distribusi barang melalui jalur laut dan kereta api agar beban angkutan jalan raya berkurang.
Salah kaprah fungsi jembatan timbang tampak dari Peraturan Daerah Jawa Tengah Nomor 1 Tahun 2012. Peraturan ini aneh. Bukannya menahan truk bermuatan lebih, aturan ini justru meloloskannya asalkan sopir membayar denda.
Denda tak seberapa itu pun selalu bisa diakali dengan "salam tempel". Maka tak mengherankan jika jalur Pantai Utara (Pantura) dipenuhi truk raksasa bermuatan ekstra, sehingga ruas kerusakan jalan itu kian parah. Biaya perbaikan dan perawatan Pantura pun sangat mahal, yakni Rp 1,2 triliun setiap tahun.
Aturan itulah yang harus diubah. Bukan mustahil, aturan sejenis juga diberlakukan di provinsi lain. Tak ada alasan mempertahankan Perda yang nyata-nyata bertentangan dengan Undang-Undang Lalu Lintas.
Lagi pula, lolosnya truk dengan beban berlebih bukan hanya merusak jalan, melainkan juga meningkatkan kecelakaan. Sudah banyak kecelakaan karena rem truk blong atau as patah akibat kelebihan beban.
Pembenahan aturan itu penting karena jalur Pantura sangat vital. Jalur ini melayani 40 persen dari total lalu lintas distribusi barang nasional. Inilah jalur barang terpadat di Indonesia. Setiap tahun, 800 juta ton barang diangkut melalui jalur ini. Padahal kapasitas normalnya hanya separuhnya. Dengan beban seperti itu, mustahil kontrol lalu lintas barang melalui jembatan timbang bisa efektif.
Itu sebabnya, pemerintah pusat mesti segera memecah beban jalur Pantura ke moda transportasi lain, yaitu jalur kereta api dan laut. Beroperasinya rel ganda kereta api pada akhir Mei ini semestinya menjadi peluang bagi pemerintah untuk mengalihkan beban.
Jalur laut juga bisa menjadi alternatif yang bagus. Pemerintah pusat perlu segera menjalankan sistem "coastal shipping". Intinya, sistem ini membuka pelabuhan-pelabuhan kecil di sepanjang Pantai Utara Jawa sebagai pintu masuk dan keluar distribusi barang.
Dengan model itu, arus barang melalui laut tidak harus lewat pelabuhan besar, seperti Tanjung Perak (Surabaya), Tanjung Emas (Semarang), atau Tanjung Priok (Jakarta). Kapal-kapal itu bisa bongkar-muat di pelabuhan-pelabuhan kecil, seperti Rembang, Pekalongan, Tegal, dan Cirebon.
Sistem ini sebetulnya sudah dirancang dalam Peraturan Presiden No. 26/2012 tentang Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional. Ada banyak hal yang harus disiapkan, menyangkut infrastruktur pelabuhan dan ketersediaan kapal barang ukuran kecil. Namun, dalam jangka panjang, sistem ini akan efektif untuk mengurangi beban Pantura.