Ada kesamaan dalam kasus-kasus kejahatan seksual yang menimpa anak-anak kita belakangan ini. Aksi bejat itu amat terlambat diketahui, setelah sejumlah besar anak-anak menjadi korban. Pemerintah dan masyarakat harus segera membangun sistem kewaspadaan dini, sehingga potensi kejahatan itu bisa ditangani sebelum memakan korban.
Tiga peristiwa terakhir lebih dari cukup untuk menjadi contoh. Di Jakarta International School, kejahatan itu baru terungkap setelah muncul korban ketiga. Di Sukabumi, Andri Sobari alias Emon baru dicokok polisi setelah menggagahi paling sedikit 89 bocah. Di Sumedang, seorang kakek juga baru ditangkap warga setelah melakukan pelecehan terhadap sembilan bocah.
Bisa jadi jumlah anak yang menjadi korban dalam ketiga kasus ini lebih besar. Di JIS, misalnya, buron pedofil nomor wahid Amerika Serikat, William James Vahey, yang telah memangsa 90 anak di sejumlah negara, pernah mengajar di sana dan tinggal di Indonesia pada 1999-2002. Dalam kasus Emon, polisi pun masih memverifikasi aduan baru dari 16 orang tua yang menduga anaknya ikut jadi korban. Namun, pada ketiga kasus itu, satu hal sudah jelas: kejahatan terjadi di satu tempat, berulang-ulang! Mengapa para pelaku kejahatan keji itu bisa leluasa beraksi?
Kita dengan gampang bisa menyusun sederet jawaban. Di antaranya, yang terutama, adalah berkurangnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan di sekitarnya dan makin longgarnya ikatan antara orang tua dan anak-anaknya. Sedangkan aparat pemerintah-dari lurah, polisi lingkungan, bintara pembina desa, hingga tingkat terendah, seperti ketua RT-terbukti tak memiliki kemampuan untuk menangkap gejala yang berkembang di masyarakat. Itu semua menjadi kesempatan emas buat pelaku kejahatan ini.
Pemerintah dan masyarakat harus segera mengatasi kekurangan ini. Soalnya, angka kejahatan jenis ini terus membubung. Separuh dari 3.000-an kasus kekerasan terhadap anak adalah kasus seksual. Interpol, badan kerja sama polisi internasional, juga sudah memberi peringatan bahwa saat ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus pedofilia terbesar di Asia.
Kita perlu menyambut baik upaya Komisi Perlindungan Anak Indonesia yang tengah mendorong DPR untuk mengamendemen Pasal 290 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Pencabulan. Meskipun pelaku bisa dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, KPAI ingin pasal yang terkait dengan kejahatan serupa di KUHP ini diubah menjadi pasal kejahatan seksual, dengan ancaman hukuman penjara minimal 20 tahun hingga seumur hidup. Saat ini, pelaku hanya diganjar maksimal 9-15 tahun penjara untuk kejahatan yang amat keji itu sehingga tak ada yang melakukannya selain manusia. Hukuman yang berat, selain demi memenuhi rasa keadilan, penting untuk memberi efek jera.
Pada saat yang sama, pemerintah tak boleh melupakan penyediaan fasilitas rehabilitasi. Bukan cuma untuk para korban, melainkan juga buat mereka yang mengidap penyimpangan seksual sejenis ini. Soalnya, kejahatan itu didorong oleh perilaku seksual yang menyimpang tersebut. Dan berdasarkan pengakuan sejumlah pelaku, mereka pun sebelumnya pernah menjadi korban kejahatan serupa. Sarana rehabilitasi itu harus dibuat ramah, sehingga siapa pun yang merasa mengalami kelainan orientasi seksual akan memilih mendatangi tempat itu ketimbang menyalurkan hasrat kejinya.