Keangkuhan pemerintah berkukuh menjalankan ujian nasional sungguh tak dapat diterima nalar. Hajatan nasional itu selalu saja berujung kekisruhan. Dana ratusan miliaran rupiah yang dikeluarkan untuk ujian nasional hanya jadi bancakan proyek dan tak bisa mengatrol mutu pendidikan nasional.
Janji Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh bahwa ujian kali ini bakal tanpa kekacauan juga tak terpenuhi. Tahun ini memang tak ditemukan keterlambatan datangnya soal ujian. Namun sejumlah kekacauan, dari lembar soal yang salah cetak, soal yang berbau kampanye untuk salah satu calon presiden, sampai petunjuk yang membikin bingung, tetap saja ada. Yang lebih memprihatinkan lagi, apa lagi kalau bukan soal kebocoran ujian nasional. Demi label lulus 100 persen, banyak guru, pejabat Dinas Pendidikan di daerah, dan murid menghalalkan segala cara untuk menaklukkan ujian nasional. Mereka mencari bocoran soal dan kunci jawaban. Ada juga guru yang sengaja membolehkan muridnya ramai-ramai menyontek. Yang lebih parah, ada sekolah yang mendukung penyebaran bocoran jawaban ujian lewat SMS.
Penyimpangan-penyimpangan itu sungguh melukai nurani. Di Sampang, Madura, contohnya, polisi menangkap basah Kepala SMP Negeri 1 Kecamatan Robatal dan sejumlah guru lantaran menyebarkan kunci jawaban ujian kepada siswanya. Ombudsman Jawa Barat juga menemukan soal ujian fisika untuk SMA bocor di daerah Bandung.
Berbagai kecurangan itu menempatkan pendidikan nasional di titik paling rendah. Dengan menggelar ujian nasional tingkat SMP dan SMA, negara justru merusak tujuan pendidikan, yaitu menumbuhkan kejujuran, akhlak mulia, dan budi pekerti luhur. Dalam jangka panjang, pendidikan yang "melegalkan" cara nakal ini jelas bakal merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa karena, dari pendidikan model itu, para pejabat dilahirkan.
Dengan maraknya praktek culas itu, rencana pemerintah menjadikan nilai ujian nasional sebagai syarat masuk jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri patut digugat. Padahal, tahun sebelumnya, syarat yang diwajibkan sekadar lulus ujian nasional, tanpa melihat besaran nilainya. Jika angka ujian nasional dijadikan syarat masuk, kita khawatir justru siswa curanglah yang menempati bangku perguruan tinggi negeri.
Tentu bukan hasil itu yang diharapkan Kementerian. Mereka sudah mengeluarkan anggaran Rp 545 miliar untuk ujian nasional dan hasilnya adalah kesia-siaan. Kementerian Pendidikan dan DPR harus menimbang kembali keangkuhan mereka yang tetap mempertahankan ujian nasional.
Ujian nasional bukan satu-satunya cara, bukan pula cara yang tepat, untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Masih ada cara lain, misalnya meningkatkan kemampuan para kepala sekolah dan guru serta memperbaiki fasilitas pendidikan di berbagai daerah. Hanya dengan cara-cara itulah kesenjangan pendidikan antara pusat dan daerah dapat dikurangi hingga akhirnya tercapai standar mutu pendidikan yang diharapkan.