Gagasan mengeluarkan travel warning bagi warga Indonesia yang akan bepergian ke Arab Saudi layak dipertimbangkan. Semakin banyak bukti bahwa warga negara kita yang diduga terjangkit virus Middle East respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV) terus bertambah. Semula 48 orang, kini telah menjadi 77 orang, yang tersebar di sejumlah provinsi.
Penyakit ini tak bisa dipandang sebelah mata. Berdasarkan data pemerintah Arab Saudi, tercatat ada 483 orang yang terinfeksi, 29,3 persen di antaranya meninggal. Salah satu korban meninggal adalah NA. Perempuan asal Madura yang lama tinggal di Jeddah itu meninggal pada 27 April lalu. Korban flu Arab lainnya adalah Jumallang Lejja, 84 tahun, jemaah umrah asal Makassar yang kini dirawat di Rumah Sakit King Fahd, Jeddah. Pemerintah tak boleh kecolongan seperti kasus flu burung.
Ketidaktegasan sikap pemerintah terhadap penyakit ini sungguh disayangkan. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan pemerintah tidak akan mengeluarkan travel warning bagi warga yang akan pergi beribadah umrah atau haji. Sikap ini amat berisiko lantaran setiap bulan ada sekitar 150 ribu orang Indonesia yang berumrah ke Tanah Suci. Mereka amat rentan tertular penyakit.
Pemerintah memang sudah menyiapkan alat pemindai panas di beberapa bandara untuk mendeteksi jemaah yang mengalami demam. Tapi, dengan jumlah anggota jemaah yang berjibun, jelas itu bukan pekerjaan mudah. Lagi pula saat ini pemerintah juga belum tahu bagaimana cara virus itu menular. Virus yang mulai muncul di Arab Saudi pada pertengahan 2012 itu diduga menyebar melalui cairan, seperti dari batuk dan bersin, atau melalui sentuhan benda-benda terkontaminasi virus. Virus ini diduga juga menyebar dari unta ke manusia. Kesembronoan pemerintah bisa berakibat fatal, seperti munculnya pandemi flu burung yang menimbulkan kerugian ekonomi yang besar.
Tak ada ruginya sedia payung sebelum penyakit itu datang. Pemerintah tak perlu mengambil langkah ekstrem, seperti moratorium pengiriman jemaah umrah dan haji, karena bisa berdampak besar, baik secara ekonomi maupun sosial. Namun pemerintah bisa memperketat aturan. Contohnya, jemaah diwajibkan disuntik vaksin flu seperti halnya kewajiban suntik vaksin meningitis. Vaksin flu ini memang tak dikhususkan untuk MERS. Namun sejumlah pakar kesehatan yakin vaksin ini bisa menaklukkan penyakit walaupun tak 100 persen.
Yang juga tak kalah penting adalah mensosialisasi bahaya penyakit ini di biro-biro perjalanan penyelenggara umrah. Kelompok yang paling rentan terserang virus, seperti orang tua yang berusia 65 tahun ke atas atau ibu hamil, sebaiknya juga dilarang berangkat.
Badan Kesehatan Dunia dinilai agak lamban dan kurang intensif menangani virus MERS. Pemerintah harus belajar dari penanganan kasus virus SARS (2003) dan flu burung (2004-2005) di Indonesia. Keterlambatan menangani dua virus itu membuat pemerintah panik setelah terjadi pandemi.