Peringatan tragedi 12 Mei--genap 16 tahun pekan ini--kian mirip ritual tahunan rutin: bendera setengah tiang, tabur bunga, testimoni, aksi-aksi damai. Tapi ihwal yang jauh lebih penting justru belum jelas juntrungannya: membongkar pelaku pembunuhan empat mahasiswa Universitas Trisakti dan menyeret mereka ke pengadilan.
Elang Mulia Lesmana (Fakultas Arsitektur 1996), Heri Hertanto (Fakultas Teknik Industri 1995), Hafidin Royan (Fakultas Teknik Sipil 1995), dan Hendriawan Sie (Fakultas Ekonomi 1996) ditembak aparat keamanan pada 12 Mei 1998. Kematian empat anak muda ini mendahului huru-hara besar di Jakarta pada 13-15 Mei, menjelang turunnya Presiden Soeharto.
Sampai kini kita masih mendengar tuntutan serupa dari tahun ke tahun tentang keadilan dan penolakan impunitas. Keluarga korban, yang mungkin sudah putus harapan dengan pemerintah sekarang, mulai "memindahkan" harapan ke pemerintah baru kelak agar serius menuntaskan kasus ini.
Pengusutan peristiwa Trisakti seharusnya menjadi upaya terus-menerus agar tak terlupakan bersama berlalunya waktu. Semestinya hal ini bukan ikhtiar mustahil, walau tidaklah mudah. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pernah dua kali membawa hasil investigasi kasus 12 Mei ke DPR dengan rekomendasi ada pelanggaran HAM berat--salah satu syarat pembentukan pengadilan HAM ad hoc. Tapi DPR menolak hasil rekomendasi itu.
Setelah Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 43 Undang-Undang Pengadilan HAM dalam putusan nomor 18/PUU-V/2007--tentang pengujian UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM--jalan untuk menuntaskan kasus ini semestinya lebih terbuka. MK menegaskan, DPR dalam merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad hoc justru harus memperhatikan penyelidikan Komnas HAM serta penyidikan Kejaksaan Agung--dan bukan sebaliknya.
Perubahan sikap itu terlihat dari usulan DPR kepada Presiden--pasca-putusan MK--untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc atas sejumlah kasus, termasuk peristiwa 12 Mei 1998. Tapi sampai hari ini belum ada respons signifikan pemerintah ke arah penyelesaian tuntas.
Presiden Yudhoyono memberikan Bintang Jasa Pratama dan menetapkan empat mahasiswa itu sebagai pahlawan reformasi pada Agustus 2005. Langkah itu kita apresiasi, tapi belum cukup. Tragedi 12 Mei sarat oleh beban politis. Maka, diperlukan kemauan politik yang teguh untuk menyelesaikannya. Sejauh ini baru beberapa perwira militer berpangkat rendah yang dihukum. Sedangkan para jenderal yang disebut-sebut sebagai aktor utama sama sekali belum tersentuh.
Demokrasi cukup stabil selama dua periode pemerintahan Yudhoyono. Tapi prestasi ini jadi kurang berarti bila Presiden membiarkan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia, termasuk peristiwa Trisakti. Pemerintah seharusnya berusaha mencatatkan legacy baru penegakan hukum dalam empat bulan masa kerja yang tersisa.