Saya berdiri di bawah surya pukul 9 yang menyenangkan di sebuah pagi di tahun 1962. Pori-pori kulit serasa bergetar, ultraviolet matahari meresap. Saya sendirian. Tapi burung-burung gereja sibuk bergantian hinggap di pelataran. Dari pohon tepi jalan, bayang-bayang juga turun menyentuh tanah.
Apa gerangan arti burung-burung, hangat pukul 9, pohon yang rindang? Di tahun 1960-an itu saya telah melupakan pertanyaan macam itu. Bangun pagi, berjalan siang, dan tidur malam saya tak menyadari bahwa ada nilai tersendiri dalam hal ihwal yang cuma melintas, tak pasti, dan sepele. Waktu itu Indonesia adalah arena kata-kata yang membahana: "Revolusi", "Sosialisme Indonesia", "Dunia Baru" ?semuanya dengan huruf kapital, semuanya dengan pekik, poster, dan pengeras suara, semuanya menggugah, menerobos jiwa.
Saya memandang kembali ke burung-burung itu. Tiba-tiba saya sadar sebelumnya tak pernah saya terkesima akan hal yang sebenarnya "dahsyat" tapi tersisih: warna bulu yang menakjubkan itu, sepasang mata yang seperti merjan jernih itu, sayap yang serba sanggup itu. Sebagai umumnya orang muda waktu itu, saya tak punya waktu buat tetek bengek. Kami hanya menyimak soal-soal besar agar dunia jadi lebih adil di masa depan. Tapi haruskah pesona kecil di pelataran sepi dicampakkan?
Sejak itu saya pun berusaha memasuki sebuah dunia bahasa yang lain?bahasa yang tak sarat dengan ide-ide yang merasa kekal dan kata benda abstrak. Saya membaca kembali puisi tentang cuaca, ranting, rama-rama, dan hal-hal fana lain yang anehnya membuat hidup berarti dan kita bersyukur.
Maka saya bisa mengerti jika ada orang yang akhirnya memilih anggrek hutan. Di tahun 1999, buku Richard Rorty, Philosophy and Social Hope diterbitkan Penguin. Salah satu esainya, yang bersifat otobiografis, mengutarakan pilihan antara anggrek hutan dan gagasan revolusi?yang akhirnya menampilkan Rorty sebagai pembawa suara pragmatisme baru dalam filsafat.
Rorty dibesarkan dalam keluarga dengan cita-cita sosialisme yang kuat. Kakeknya, Walter Rauschenbusch, adalah seorang pastor di Kota New York dan pemikir Kristen terkenal. Terpengaruh oleh gerakan Anabaptist di Jerman di abad ke-16, ia ingin menegaskan cita-cita sosial ajaran Yesus dan sikap mandiri dari gereja serta dogmanya.
Ibu Rorty, Winifred, dan suaminya, James Rorty, punya semangat yang sama tapi di kancah lain: masuk ke kalangan kiri. Setidaknya dalam satu masa, mereka lebih mencintai Trotsky ketimbang Kristus. Ketika Richard yang lahir di tahun 1931 itu masih bocah, ke rumahnya sering datang bertamu filosof Sidney Hook, kritikus sastra Leonard Trilling?dua cendekiawan progresif masa itu?dan sekretaris Trotsky yang hidup bersama keluarga Rorty dengan nama samaran. Tak mengherankan bila bagi Richard kecil, semua orang baik pasti sosialis.
Tapi ia juga mencintai kembang anggrek liar yang tumbuh di pegunungan. Soalnya: patutkah ia memiliki kegairahan pribadi kepada dunia flora, sementara dunia manusia penuh penderitaan? Tidakkah anggrek hanya akan mengganggu, ketika perhatian harus dikerahkan untuk menjadikan hidup lebih adil, seperti dirancang sosialisme?
Tapi pemuda yang sejak umur 12 tahun itu tahu akan perlunya keadilan, tahu pula bahwa kaum sosialis, dengan tekad tunggal itu, bisa mengabaikan apa yang berarti di hari ini. Bukan hanya kembang hutan, tapi juga hidup manusia. Ia tahu bahwa Stalin menghendaki Trotsky dibunuh. Dan Trotsky memang akhirnya tewas dikampak.. Ia mungkin juga tahu bahwa Trotsky sendiri, tatkala masih seorang tokoh biro politik Partai Komunis di bawah Lenin, tega untuk mengerahkan tentara guna menghancurkan satu perlawanan para kelasi di Konrad?mereka yang ikut dalam Revolusi Oktober tapi merasa tak diperlakukan adil.
Walhasil, asas besar bisa begitu dahsyat hingga sampai hati menghantam tangan yang menadah dan mulut yang senyum.
Sebab itulah antara anggrek dan Trotsky, Rorty akhirnya memilih yang pertama. Ia menjauh dari segala macam rencana besar dan "Teori Tinggi". Ia bahkan menurunkan status filsafat sebagai sumber dan dasar pengetahuan. Ia lebih mendekat kepada karya-karya sastra, di mana kembang anggrek dan wajah yang konkret rancak hadir, di mana bahasa menangkap keragaman yang asyik, dan di mana keputusan benar atau salah tak datang tegar. Kita harus punya ironi dalam diri, suatu private irony, kata Rorty. Kita harus mampu meragukan benarkah khazanah kita merupakan sesuatu yang sudah final, dan memandang kebenaran kata-kata kita sendiri dengan ringan hati.
Tak berarti, dengan dunia privat yang menyimpan ironi itu, kita tertutup dari dunia bersama. Antara yang privat dan yang publik tak bisa saling menjajah, kata Rorty. Yang menyatukan kita dengan yang lain bukanlah "teori" revolusi, prinsip filsafat, moral atau agama. Yang menyatukan kita adalah kemampuan untuk berbagi rasa sedih, sakit dan miskin. Cinta akan bertaut dengan keadilan jika di satu pihak gairah kepada kembang anggrek bisa berlanjut, dan di lain pihak kekejaman ditampik. Tapi hidup harus diperbaiki dengan "pragmatisme sosial", bukan dengan satu "kebenaran". "Kebenaran" hanya tecermin dalam sukses kita mengurangi sengsara, ketegangan, dan kebengisan.
Tentu, untuk itu perlu sebuah lingkungan yang demokratis. Yang saya belum tahu dari Rorty ialah bagaimana membangun sebuah dunia yang "global, kosmopolitan, demokratik, bersemangat kesetaraan, tanpa kelas, tanpa kasta" dari nol, bila tak ada asas "kebenaran" tertentu. Rorty menganggap apa yang dicapai Amerika Serikat sebuah bukti bahwa kemungkinan ke dunia seperti itu terbuka tanpa melalui teori, melainkan praxis. Tapi orang di luar Amerika, katakanlah di Palestina, akan ragu: benarkah sengsara dan kekejaman senantiasa bisa dihindari bila kearifan adalah bagian dari politik, yang dibentuk oleh pasar dan jumlah suara terbesar?
Goenawan Mohamad