Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Gelegar

Oleh

image-gnews
Iklan

Dua gelegar mengagetkan seperti petirapi murubasap hitam membubungpekik berpuluh-puluh suara kesakitan yang serentak.... Kebuasan itu memang bisa tampak seperti sebuah spectacle, baik di New York pada tahun 2001 maupun di Bali pada tahun 2002.

Kita seakan-akan menyaksikan lukisan Hutan Terbakar Raden Saleh dalam tiga dimensi, atau satu adegan opera Gtterdmmerung karya Wagner. Mungkin sebab itu, ketika dua pesawat Boeing 767 ditabrakkan para teroris ke Menara Kembar di New York, dan bangunan kukuh itu runtuh, dan 3.000 mati, Stockhausen, komponis Jerman terkenal itu, berucap, "Itulah karya seni terbesar untuk seluruh kosmos."

Tapi orang marah mendengarnya. Teror sebagai karya seni, korban sebagai tontonan, para pembunuh sejajar dengan para jenius? Stockhausen dikecam; sejak itu ia tutup mulut. Tapi salahkah sang komponis untuk mengatakan demikian, di zaman ketika setiap benda, setiap tindak, dapat dinyatakan sebagai "seni"? Pada tahun 1911 pelukis Marcel Duchamp mengikutsertakan sebuah sentoran kencing ke dalam sebuah pameran seni rupa di New York. Sebuah "revolusi" pun terjadi. Pada tahun 2001 seharusnya tak mengejutkan lagi jika Stockhausen membaptiskan penghancuran Menara Kembar sebagai sebuah "karya seni".

Apa gerangan "seni" dan apa gerangan yang bukan? Di museum seni rupa Tate Modern, London, ada sebuah karya Paul McCarthy, Rocky (1976). Karya itu sebuah rekaman video: si seniman telanjang, memasang sarung tinju, wajahnya ditutup topeng binatang; seraya seakan-akan menyerang memukul, ia meninju tubuhnya sendiri. Kini orang bisa menunjukkan inilah beda antara McCarthy dan seorang Palestina yang meledakkan dirinya sendiri: Rocky diletakkan di Tate Modern karena ia dinyatakan sebagai "seni" dan dibuat oleh seorang seniman.

Itulah hasil sampingan "revolusi" Duchamp: berseni atau tidaknya X tak lagi ditentukan oleh indah atau tidaknya X, melainkan sepenuhnya oleh sebuah fatwa. Bagaimana X menyentuh hati para penikmat atau pengamat, tak lagi penting. Hubungan antara X dan penikmat bahkan praktis tak dibicarakan. Sang seniman adalah Sang Penentu. Beberapa tahun yang lalu Danarto memasang sebuah kanvas kosong, putih, di sebuah pameran Taman Ismail Marzuki. Karena ia seorang Danartowaktu itu ia telah diakui sebagai sastrawan yang memulai penulisan "realisme magis" di Indonesia dan juga seorang pelukiskita pun diyakinkan bahwa kanvas kosong itu sesuatu yang punya potensi untuk menyentuh hati dan menimbulkan permenungan, misalnya tentang "sepi" dan "ketiadaan".

Dengan begitu sang seniman diletakkan dalam posisi dengan fondasi kukuh. Tapi sebenarnya itu hanyalah separuh cerita. Separuh lainnya menunjukkan bahwa posisi itu didapatnya juga karena ada pusat kesenian, atau sebuah galeri ternama, atau karena seorang kurator yang johari dan sejumlah kritikus yang menulis di media tenar. Diakui atau tidak, sang seniman adalah sebuah tokoh yang ditopang oleh institusi dan geografi yang "tepat". Seandainya Danarto menggantungkan pigura kosongnya di pojok stasiun bus, orang mungkin akan memakainya untuk tempat pengumuman "Awas Copet!"

Seperti Danarto, Stockhausen punya otoritas, Stockhausen bisa dibungkam, atau jadi lucu, tapi bagaimanapun, sebuah fatwa tetap krusial. Gelegar dan kebuasan yang spektakuler 11 September 2001 itu memang bisa dianggap bukan "karya seni", sebab Muhammad Atta dan kawan-kawannya tak menyatakan diri mereka seniman dan tak hendak mempersembahkan teror itu sebagai sebuah performance. Tapi pentingkah niat mereka? Harold Rosenberg, kritikus seni rupa untuk The New Yorker, pernah mengatakan bahwa sepotong kayu yang diketemukan di pesisir bisa saja jadi "seni".

Dengan kata lain, selama sebuah otoritas membaptiskan sesuatu sebagai "seni" atau "seni modern"sepotong kayu di pasir, sebuah jembatan yang dibungkus terpal, sebuah piano yang dirusak, mungkin juga sebuah gedung yang dihancurkansemuanya bisa dikeramatkan dalam wacana kesenian.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Memang di situ tampak ada otoritas yang begitu kuasa, hingga bisa memfatwakan X jadi Y begitu saja. Tapi yang merisaukan bukan itu. Yang merisaukan juga bukan anarki dalam menilai. Susan Buck-Morss, dalam Thinking Past Terror: Islamism and Critical Theory on the Left (Verso, 2003), dengan tepat menunjukkan ada yang lebih mencemaskan: pembenaran "ontologis".

Pembenaran ontologis adalah yang mengatakan, "Karena X ada di Taman Ismail Marzuki, maka X sebuah karya seni." Ini berbeda dengan pembenaran "epistemologis", yang mengatakan, "Karena X adalah sebuah karya seni, maka ia ada di Taman Ismail Marzuki."

Pembenaran ontologis juga bisa kita temukan dalam pernyataan ini: "Karena AS negeri yang beradab, ia menghormati hak asasi manusia." Pembenaran epistemologis: "Karena AS menghormati hak asasi manusia, ia sebuah negeri yang beradab."

Dalam pembenaran ontologis, apa pun yang dilakukan AS, karena negeri ini menurut definsinya "beradab", tak akan melanggar hak asasi. Sebaliknya dalam pembenaran epistemologis, masih ada kemungkinan untuk dipersoalkan, benarkah AS sebuah negeri yang beradab.

Sama halnya dengan perkara lain: "Karena aku berjihad, maka jalanku secara definisi suci." Ini berbeda dengan pernyataan ini: "Karena yang kujalankan sesuatu yang suci, maka aku berjihad." Statemen terakhir ini membuka diri untuk ditelaah, benarkah yang kujalankan "sesuatu yang suci."

Pembenaran epistemologis memang mengandung keterbukaan, pertanyaan, dan sikap kritisjuga kepada diri sendiri. Pembenaran ontologis tidak. Dan agaknya itulah yang berlangsung ketika "aku" berilusi bahwa "aku"-lah yang punya fondasi untuk menentukan yang indah dan tak indah, yang suci dan tak suci. Dari sini apa pun akan tampak sah, juga kekejaman, gelegar bom, jerit kematian....

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Pengadilan Prancis Vonis Hukuman Seumur Hidup untuk Pelaku Teror Paris 2015

30 Juni 2022

Salah Abdelsalam. Foto : Wikipedia
Pengadilan Prancis Vonis Hukuman Seumur Hidup untuk Pelaku Teror Paris 2015

Pengadilan Prancis menjatuhkan vonis seumur hidup kepada Salah Abdeslam, satu-satunya pelaku teror Paris 2015 yang masih hidup


Pengakuan Pelaku Bom Bunuh Diri Paris 2015: Saya Tidak Melukai Siapa pun

10 Februari 2022

Sketsa seniman pengadilan Prancis Elisabeth de Pourquery yang menunjukkan Salah Abdeslam, salah satu tersangka kelompok yang diduga melakukan serangan Paris November 2015, dipajang di atas meja selama wawancara dengan Reuters di rumahnya di dekat Paris, Prancis, 27 September. 2021. REUTERS/Gonzalo Fuentes
Pengakuan Pelaku Bom Bunuh Diri Paris 2015: Saya Tidak Melukai Siapa pun

Salah Abdeslam mengatakan bahwa ia tidak meledakkan rompi bom bunuh dirinya dalam serangan teroris di Paris, November 2015 yang menewaskan 130 orang


Prancis Mulai Adili 20 Terdakwa Serangan Teror di Bataclan

8 September 2021

Polisi Prancis dengan perisai pelindung berjalan di antrean dekat gedung konser Bataclan menyusul penembakan fatal di Paris, Prancis, 14 November 2015. Orang-orang bersenjata dan pengebom menyerang restoran, bar, dan gedung konser yang ramai di lokasi sekitar Paris pada Jumat malam, menewaskan puluhan orang dalam apa yang digambarkan oleh Presiden Prancis sebagai serangan teroris yang belum pernah terjadi sebelumnya. [REUTERS/Christian Hartmann/File Foto]
Prancis Mulai Adili 20 Terdakwa Serangan Teror di Bataclan

Prancis pada Rabu mengadili 20 orang terdakwa yang diduga terlibat dalam serangkaian aksi teror di Bataclan, Paris, pada 13 November 2015.


Direktur Utama Maskapai Batik Air Achmad Luthfie Meninggal

24 Januari 2021

Ilustrasi tokoh meninggal. Pixabay
Direktur Utama Maskapai Batik Air Achmad Luthfie Meninggal

Bergabung dengen Grup Lion Air pada 2000, Achmad Luthfie menjabat sebagai Direktur Utama Batik Air sejak 2013.


Teror Paris, Pria Ini Ledakkan Diri Saat Menabrak Mobil Polisi

20 Juni 2017

Sebuah mobil menabrak van polisi di Avenue des Champs-lysees di Paris. REUTERS
Teror Paris, Pria Ini Ledakkan Diri Saat Menabrak Mobil Polisi

Teror Paris kembali terjadi ketika pengemudi mobil sedan meledakkan diri saat berusaha menabrak iringan mobil polisi.


Teror di Paris, Begini Kata Pelaku Serangan Katedral Notre-Dame

7 Juni 2017

Polisi berjaga di depan Katedral Notre Dame, Paris, setelah terjadi serangan, Selasa, 6 Juni 2017 (Reuters)
Teror di Paris, Begini Kata Pelaku Serangan Katedral Notre-Dame

Pelaku penyerang perwira polisi di Katedral Notre-Dame, dalam teror di Paris, Selasa waktu setempat dalam aksinya sempat mengatakan: Ini untuk Suriah


Teror di Paris, Pelaku Serang Polisi di Katedral Notre Dame

7 Juni 2017

Polisi berjaga di depan Katedral Notre Dame, Paris, setelah terjadi serangan, Selasa, 6 Juni 2017 (Reuters)
Teror di Paris, Pelaku Serang Polisi di Katedral Notre Dame

Teror terjadi di Paris. Seorang pria menyerang polisi di depan Katedral Notre Dame, Paris.


Pengacara Teroris Paris Mundur, Ini Alasannya  

12 Oktober 2016

Peringatan yang dikeluarkan polisi Prancis lewat twitter tentang Salah Abdeslam, tersangka pelaku teror di Paris, pada November 2016. Salah Abdeslam ditangkap polisi antiteror Belgia, pada 18 maret 2016. REUTERS/POLICE NATIONALE
Pengacara Teroris Paris Mundur, Ini Alasannya  

Pengacara sempat memprotes kamera pengawas di sel Abdeslam.


Prancis Tangkap Dua Orang yang Diduga Terlibat dalam Pembunuhan Pastor

1 Agustus 2016

Pastor Abbe Jacques Hamel (kiri). Gereja Gambetta di Saint-Etienne-du-Rouvray. mirror.co.uk
Prancis Tangkap Dua Orang yang Diduga Terlibat dalam Pembunuhan Pastor

Polisi Prancis menangkap dua orang yang diduga terlibat dalam
pembunuhan terhadap seorang pastor di sebuah gereja di Normandia.


Pelaku Kedua Pembunuh Pastor di Prancis Bisa Diidentifikasi  

28 Juli 2016

Seorang polisi berjaga di depan Balai Kota setelah dua penyerang menyandera lima orang di Gereja Saint-Etienne-du -Rouvray, Normandy, Prancis, 26 Juli 2016. Ini merupakan serangan teroris kedua di Prancis selama bulan Juli. REUTERS/Pascal Rossignol
Pelaku Kedua Pembunuh Pastor di Prancis Bisa Diidentifikasi  

Jenazahnya lebih sulit diidentifikasi daripada Kermiche karena tubuhnya sudah rusak dalam penembakan.