Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Ambon

Oleh

image-gnews
Iklan

Seorang teman mengingatkan saya akan sepotong sejarah kekerasan di Maluku. Pada tahun 1950-an, Republik Indonesia mengirim sepasukan tentara untuk menghentikan pemberontakan RMS di Ambon. Dalam pertempuran yang terjadi, komandan pasukan khusus TNI tertembak. Ia gugur. Namanya Slamet Riyadi. Ia seorang Katolik.

Fakta itu perlu saya sebut sekarang. Hari-hari ini, di Ambon orang-orang menghidupkan kembali pekik dan bendera "Republik Maluku Selatan" dan sejumlah orang lokal menentangnya, dan konflik yang untuk beberapa bulan mereda pun meledak kembali. Tak perlu banyak waktu, label "Kristen" pun dipasang pada orang-orang RMS dan "Islam" pada para penentangnya. Seandainya Slamet Riyadi masih hidup?.

Kini kita tahu betapa berubah sudah Indonesia menjelang umurnya yang ke-60: agama kian sering dipakai untuk menjelaskan hal ihwal publik. Agama dianggap jadi latar konflik Maluku, perjuangan di Palestina, "benturan peradaban", terorisme, bahkan kemiskinan Dunia Ketiga. Pada saat yang sama, agama jadi dalih perbuatan baik atau buruk, sumber identitas, dan bendera kesetiaan yang berkibar tinggi.

Semua itu agaknya bertolak dari asumsi yang sebetulnya meragukan: bahwa antara agama dan sebuah subyek ("aku" atau "kami") yang memeluk agama itu, ada korespondensi yang lurus dan lengkap. Dianggap bahwa karena aku menegaskan diriku "Islam", segala yang kulakukan dengan sendirinya merupakan ekspresi Islam. Tak pernah dipikirkan kembali bahwa dalam kata-kata "aku Islam" terkandung "aku" yang tak pernah kekal, kompak, dan kukuh, dan juga "Islam" yang tak pernah persis, pasti, dan permanen.

Saya bayangkan Overste Slamet Riyadi beberapa saat sebelum ia mengembuskan napas penghabisan. Adakah ia melihat dirinya dan berkata "aku, Katolik?" Katakanlah, ya. Tapi "aku" mengandung seribu makna: "aku" yang "sekadar aparat" tapi bisa juga "aku" yang "patriot" dan yakin. Juga "Katolik". Apa maknanya tak pernah dapat dirumuskan dengan lekas selekas menuliskan identitas di KTP. Apalagi proses antara jadi "aku" dan jadi "Katolik" (atau "Islam", atau "Ambon", atau "Jerman") bukanlah proses yang meluncur seperti air dalam dua bejana yang berhubungan.

Pada zaman ini, setelah Freud, setelah yang lain-lain, kita tahu bahwa jiwa dan hati seseorang bukanlah sebuah bejana yang jernih, berisi rapi jutaan fakta yang masuk lancar melalui indra dan akal budi. Yang ada hanya belantara kusut yang dikait-kaitkan oleh bahasa, dunia verbal yang tak selamanya terang dan lempang. Dalam keadaan itu, subyek menjadi proses yang tak kunjung tunggal. Bahkan ajaran agama, filsafat, dan doktrin kebenaran apa pun tak tampak sebagai pengatur dan pencuci keruwetan itu.

Farid Esack, ulama-cendekiawan Islam dari Afrika Selatan, mengakui hal itu dengan jujur dan memukau. Sebagai muslim, katanya, ia selalu mencari ilham dan petunjuk (atau mungkin penghalalan) dari Quran selama ia mencoba memecahkan persoalan yang dihadapinya. "Saya dapat menggunakan Islam dan kitabnya, Quran, untuk memperkuat semua praduga saya, atau menyisihkannya, atau memberinya bentuk baru." Tapi ada sebuah kejadian dalam sejarah yang memberinya kearifan.

Dalam Perang Siffin, musuh 'Ali Ibn Abi Talib, kemenakan Nabi, meminta agar pertikaian diselesaikan dengan menggunakan Quran sebagai sebuah penengah. Dilema Ali mencerminkan apa yang dihadapi banyak orang muslim:

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Ketika Mu'awiyah mengundangku ke hadapan Quran untuk memberikan keputusan, aku tak dapat memalingkan wajahku dari Kitab Allah itu. Tuhan telah menyatakan bahwa 'jika kalian bertikai tentang soal apa pun, rujuklah Allah dan Rasul-Nya.' [Tapi] ini Quran, tertulis dalam garis yang lurus, dijepit antara dua papan penjilid. Ia tak bicara dengan lidah; ia membutuhkan penafsir, dan penafsir adalah manusia."

Dalam kata-kata Farid Esack, "penafsir adalah orang-orang yang datang dengan bawaan yang tak terelakkan dari kondisi manusia." Bacaan kita atas Quran atau warisan keagamaan kita mau tak mau ditandai oleh sifat bawaan itu, oleh "frustrasi dan harapan" kita.

Pertanyaannya kemudian: di mana kebenaran dan keadilan? Dalam konflik, dalam suasana amarah, kedua pengertian itu mencerminkan impian kita tapi juga ketidakberdayaan kita. Agama memang sering memberi kita bayangan kepastian yang absolut tentang kebenaran dan keadilan, tapi seperti dikatakan Farid Esack di atas, pada akhirnya ajaran membutuhkan penafsir, dan penafsir adalah manusia. Kebenaran dan keadilan mau tak mau dirumuskan berdasarkan "bawaan" sejarah seseorang.

Tak berarti, kata Farid Esack, sebuah "aku" tak punya keyakinan. "Tentu saja saya punya keyakinan," katanya. Keyakinan itu dipegangnya dengan bergelora, dan bahkan ia pernah menderita karena itu. "Tapi, aku tak akan dapat melangkahi orang lain? bahwa hanya keyakinanku yang penting. Sementara aku dapat dan memang memperoleh keyakinanku dari Quran, aku tak lagi dapat mengabaikan sifat pluralistik dunia tempat kita hidup. Aku harus menemukan satu ukuran untuk menentukan apa yang betul dan tak betul, adil dan tak adil, prasangkaku dan kecenderunganku. Aku tak dapat lagi mengimbau kepada apa yang semata-mata hanya milik komunitasku."

Jika kita baca risalah seperti ini, memang dunia bisa tetap beragam dan selalu damai. Persoalannya ialah bahwa tak semua orang seperti Farid Esack. Sesuai dengan argumennya, tak semua petuah agama mengungkapkan sikap terbuka kepada keterbatasan manusia dalam menafsir ajaran Tuhan; dengan kata lain, tak semua seperti yang kita temui dalam ucapan 'Ali Ibn Abi Talib.

Juga tak semua kata-kata suci mengandung suara sejuk; tak jarang ada yang bisa dengan gampang ditafsirkan sebagai pedoman untuk menampik toleransi. Maka agama, ketika dipakai untuk menjelaskan hal ihwal, datang kepada kita dan membuat kita terhibur, tapi juga menjadi ganas.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

4 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

45 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

50 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

50 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.