Di tengah sorotan atas kinerjanya yang morat-marit, Komisi Pemilihan Umum malah membuat aturan yang kontroversial. Komisi mengeluarkan peraturan tentang persyaratan calon presiden dan wakil presiden yang mengungkit-ungkit "luka lama" bangsa ini.
Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2014 itu menyebutkan syarat calon presiden dan wakilnya antara lain tak pernah menjadi anggota Partai Komunis Indonesia dan tak terlibat Gerakan 30 September 1965. Kriteria ini segera mengingatkan orang akan kebiasaan semasa pemerintahan otoriter Orde Baru. Kala itu, untuk menjadi calon ketua RT saja, orang harus bersih dari bau PKI.
Bila dikaitkan dengan bursa calon presiden dan wakil presiden saat ini, syarat "bersih PKI" tak akan memakan korban langsung. Dari sisi usia dan latar belakang para calon yang muncul, tampaknya tak ada yang bakal terjegal. Apalagi tak mudah membuktikan seseorang benar-benar anggota PKI atau terlibat Gerakan 30 September. Namun, bila ditimbang lebih saksama, peraturan ini mengidap banyak masalah.
Baca Juga:
Jika ditakar dengan berbagai prinsip hak asasi manusia, syarat bersih PKI ini jelas diskriminatif. Membatasi hak politik seseorang untuk menjadi pejabat publik karena keyakinan atau afiliasi politik pada masa lampau tak bisa dibenarkan. Hal itu bertentangan dengan Konvensi Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICPPR) serta Undang-Undang Dasar 1945.
Aturan tersebut juga bertentangan dengan upaya rekonsiliasi antara pelaku dan korban prahara pada masa peralihan pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru itu. Rekonsiliasi nasional yang kerap didengungkan berbagai kalangan sulit terwujud jika diskriminasi atas dasar keyakinan politik malah diformalkan dalam syarat pencalonan pimpinan nasional.
Kali ini, KPU memang hanya menyalin apa yang digariskan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden. Namun Komisi tak perlu ikut-ikutan melanjutkan kekonyolan para pembuat undang-undang itu. Apalagi Mahkamah Konstitusi telah menyatakan syarat bersih PKI bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada 2004, Mahkamah mengabulkan gugatan uji materi atas Pasal 60 huruf g Undang-Undang No. 12/2003 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD. Meski konteksnya pemilihan legislatif, putusan dan pertimbangan Mahkamah Konstitusi itu relevan dengan pemilihan presiden dan jabatan publik lainnya.
Pasal itu intinya melarang bekas anggota PKI memilih dan dipilih sebagai anggota legislatif. Menurut Mahkamah, pasal seperti itu diskriminatif. Hal yang bisa membatasi seseorang untuk memilih atau dipilih hanyalah "ketidakcakapan" orang tersebut, bukan keyakinan atau afiliasi politik masa lalunya.
Agar kontroversi syarat bersih PKI ini tak berkepanjangan, KPU tak perlu malu merevisi peraturan yang telanjur mereka terbitkan. Setelah hajatan pemilu usai, DPR dan pemerintah terpilih pun perlu bergegas menyisir semua peraturan perundangan yang diskriminatif dan segera merevisinya.