Pemerintah harus memangkas anggaran negara hingga Rp 100 triliun demi menekan defisit. Jebolnya anggaran kali ini bukan hanya disebabkan oleh nilai subsidi bahan bakar minyak, melainkan juga karena belanja rutin yang besar. Beban anggaran akan lebih ringan andai kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berani merampingkan birokrasi.
Hampir semua kementerian dan lembaga negara terkena pemotongan anggaran. Ada yang dipangkas sampai 30 persen seperti dialami Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Sosial. Anggaran Kementerian Pekerjaan Umum, yang memiliki proyek infrastruktur, pun dipangkas 27 persen. Hanya lembaga seperti Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu yang luput dari penghematan anggaran.
Langkah itu sulit dihindari lantaran anggaran kita sudah "lebih besar pasak daripada tiang". Pendapatan diproyeksikan mencapai Rp 1.597 triliun, tapi pengeluaran jauh melampaui angka ini. Agar defisit tak melebihi 2,5 persen dari produk domestik bruto, penghematan mesti dilakukan. Apalagi pemerintah tak mungkin mengurangi subsidi BBM?salah satu penyebab membengkaknya pengeluaran--dalam waktu singkat.
Nilai tukar rupiah yang melemah menyebabkan meningkatnya nilai subsidi BBM. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diasumsikan nilai tukar rupiah sebesar 10.500 per dolar Amerika Serikat. Asumsi yang meleset ini kemudian diubah menjadi 11.700 per dolar Amerika pada APBN Perubahan. Karena kebutuhan BBM dipenuhi dengan mengimpor, subsidi BBM yang direncanakan sekitar Rp 210 triliun jelas membengkak.
Sikap pemerintah yang tak berani mengurangi subsidi BBM harus dibayar mahal. Upaya menghemat bahan bakar minyak dengan cara memperbanyak pemakaian bahan bakar gas pun tidak dilakukan serius. Sementara itu, lifting minyak tak mencapai target. Penerimaan pajak pun tak maksimal karena pertumbuhan ekonomi menurun.
Semua itu diperburuk oleh kegagalan pemerintah mereformasi birokrasi. Menaikkan standar gaji pegawai dan memperbesar tunjangan merupakan langkah bagus. Tapi program itu semestinya diikuti perampingan birokrasi. Pemerintah sudah lama mengidentifikasi bahwa beberapa kementerian terlalu gendut dan tak efisien, namun sampai sekarang tak ada tindakan apa pun.
Birokrasi yang terlalu gemuk itu menghabiskan banyak anggaran negara. Biaya gaji pegawai pusat saja mencapai Rp 263 triliun. Ini belum termasuk Rp 563 triliun dana transfer ke daerah, yang sebagian besar juga digunakan untuk gaji pegawai daerah. Bandingkan dengan anggaran infrastruktur kita yang hanya Rp 206 triliun.
Sulit berharap Presiden Yudhoyono memperbaiki karut-marut anggaran itu di ujung masa jabatannya. Harapan hanya bisa ditumpukan pada pemerintah hasil Pemilu 2014. Pemerintah mendatang sebaiknya membuat anggaran yang lebih realistis. Memimpikan penerimaan yang besar boleh saja, tapi jangan lupa mengontrol subsidi dan pengeluaran.