Tuan Kapital menarikan dansa macabre.... Gambaran Marx yang muram, tentang modal yang membujuk manusia berjoget mengiringi Maut, kini tampak seperti lukisan yang ditemukan kembali di seberkas naskah kuno. Tuan Kapital kini tampil lain. Mungkin ia seperti Dasamuka dalam cerita wayang: selalu mampu menjelma dengan wajah yang baru, tak kunjung mati. Ia bahkan bisa menghilang.
Dulu ia satu metamorfosis dari riba, uang yang lahir dari uang. Kita tahu bahwa perbuatan menganakkan uang itu dinistakan ramai-ramai dari zaman ke zaman. Devarim, kitab yang memaklumkan ulangan undang-undang Musa, yang konon disusun pada abad ke-7 sebelum Masehi, melarang orang Yahudi menarik bunga dari pinjaman kepada "saudara"-nya. Empat abad kemudian Aristoteles menegaskan bahwa riba memang layak dibenci. Delapan ratus lima puluh tahun setelah itu, di sekitar abad ke-6 Masehi, Uskup Jakob dari Saroug, di Suriah, menulis bahwa bunga (rebitha) adalah hasil siasat Setan untuk memulihkan kembali kekuasaannya. Pada abad itu pula kemudian Islam datang, dengan pesan yang mirip.
Setelah Muhammad saw., mungkin yang layak disebut adalah Marx. Pada abad ke-19 Marx menggunakan kata Schaher, yang menurut mereka yang mengerti bahasa Jerman zaman itu berarti "seseorang yang siap mengambil laba dari apa pun dengan cara yang licik". Kata itu juga berarti "riba". Di sini tampak bahwa "riba" dan "laba" (yang dalam kata Arab konon disebut ribh) sangat dekat. Laba, bagi Marx, berasal dari kelebihan hasil dari memeras tenaga buruh. Ia buah pengisapan. Apalagi dari uang itu beranak pula uang, melalui bunga. Ketika terhimpun modal, lihat, kata Marx, modal itu sebenarnya "tenaga kerja yang telah mati" yang, "bagaikan vampir, hidup hanya dengan cara menyedot tenaga kerja yang hidup."
Tapi berangsur-angsur zaman melihat Tuan Kapital bukan lagi sebagai makhluk asing yang mengerikan. Jika Mao gagal menghapuskannya dari sejarah, jika Cina, yang secara resmi masih disebut "Republik Rakyat" itu, maju dan makmur secara mengagumkan setelah menjadi "Republik Pasar Besar", orang pun bersepakat bahwa tentu ada yang keliru dalam cerita vampir di jilid kedua Das Kapital. Modalyang menggerakkan pasar dan digerakkan oleh pasar, yang memuliakan milik dan menggairahkan kebebasan jual beli, yang mempertukarkan dengan giat barang dan jasasekarang terasa lumrah dan sekaligus modern. Ia ibarat sebuah generator listrik yang hanya terdengar derunya, tapi dari sana, lampu warna-warni dan roller coaster bergerak ramai di sebuah Pekan Malam.
Getar generator itu kini menyebar praktis ke seluruh muka bumi. Di mana pun tampaknya tak ada pilihan selain menerima kekuatannya. Pada akhirnya dialah makna modernitas itu sendiri. Apa boleh buat, dunia, dalam kata-kata Fredric Jameson, hidup dengan a singular modernity.
Pasti, Dasamuka itu telah berubah rupa. Ia telah menyulap dirinya dan berbareng dengan itu menyulap banyak hal lain. Kita tahu, dari Marx, bahwa dengan modal, barang bisa berubah menjadi komoditas, dan bersama itu memperoleh daya yang bisa memukau manusia, bagaikan sebuah azimat. Tapi tak hanya itu. Modal bisa membuat "riba" berhenti sebagai "riba". Seraya menggerakkan pasar, modal membuat perdagangan uang bersaing sengit, dan para peminjam tak lagi sepenuhnya bergantung pada seorang rentenir. "Riba" pun akhirnya diterima sebagai "ongkos modal". Artinya, sesuatu yang bisa dirancang (dan dikontrol) dalam anggaran.
Dalam mengubah diri itu pula, Tuan Kapital bisa muncul sebagai Coca-Cola, MTV, atau media Murdoch, suatu kekuatan yang bergerak memusat dan cenderung menyeragamkan. Tapi ia juga bisa menyulap diri sebagai pembawa variasi, dari jenis ayam goreng sampai dengan jenis komputer jinjing.
Dan ia bisa menghilang. Pada saat yang sama, ia menyusup ke mana-mana. Kini ada yang percaya bahwa zaman kapital sudah melenyap. Bahkan sebuah masa "pasca-kapitalis" telah tiba, sebab, kata mereka, kini bukan modal yang berkuasa, melainkan informasi. Dan informasi, dalam zaman netokrasi kini, kata mereka (mungkin seraya menghitung jutaan warung Internet di pelosok bumi), tak pernah tetap berada di satu pusat. Tapi benarkah? Bisakah netokrasi berkembang tanpa Bill Gates dan para pemodal sejenisnya? Tidakkah perbedaan kelas di sini juga ditentukan oleh siapa yang memiliki modal yangmeskipun Bourdieu mungkin akan menyebutnya sebagai "modal kultural"bermula dari basis ekonomi tertentu?
Jika dilihat demikian, Tuan Kapital memang bisa tampak gagah dan berubah-ubah dengan cerah. Ia bahkan bisa menampilkan diri sebagai pembebas. Penelaah kebudayaan populer Arswendo Atmowiloto baru-baru ini memperkenalkan satu dikotomi yang menarik: ada "siaga" dan ada "niaga". Yang pertama adalah kecenderungan kekuatan politik untuk menutup diri seraya curiga kepada yang "luar". Yang kedua adalah kecenderungan perdagangan untuk membangun pasar yang terbuka. Sebab pasar adalah tempat orang asing atau bukan asing bertemu, yang, untuk kepentingan mereka sendiri, menjaga agar pertemuan itu bukan sebuah konflik. Pada abad ke-18 orang Prancis menyebutnya sebagai un commerce doux.
Hari ini, memang lebih dipujikan untuk merayakan niaga ketimbang siagadan saya kira itulah maksud dikotomi Arswendo. Tapi tentu saja orang bisa mencatat bahwa niaga bisa membawa siaga: perang dagang bisa menjadi perang senjata. Perebutan wilayah di Nusantara antara Inggris dan Belanda adalah contohnya, dan tak salah jika Marx pernah mencemooh pengertian doux commerce itu. Kini, kalaupun perang macam itu tampak mustahil, ada yang tak mustahil: dalam siaga terdapat niaga. Pertumbuhan ekonomi AS belum lama ini, misalnya, banyak disumbang oleh perang, dengan segala perabot dan persiapannya.
Dengan kata lain, Tuan Kapital memang tak selamanya membujuk manusia untuk menarikan dansa macabre. Tapi ia, yang ada di siang, ada di malam, memang bisa mencemaskan kita.
Goenawan Mohamad