Dunia tak ingat lagi siapa Dhanu. 21 Mei 1991, pukul 10:20 malam, perempuan berkulit gelap dengan bibir tebal itu mendekat ke pusat upacara. Ia membawa
karangan daun cendana. Di lapangan Kota Sriperumbudur (48 kilometer dari Madras) itu, hadir Perdana Menteri Rajiv Gandhi. Ia sedang mendengarkan seorang gadis membacakan sajak.
Dhanu mendekat terus. Tiba-tiba ledakan terdengar. Rajiv Gandhi tewas seketika. Juga sekitar 14 orang lain. Di antaranya adalah Haribabu, seorang juru potret se- tempat. Tubuhnya hancur tapi kameranya masih utuh.
Dari sinilah polisi dapat menemukan 10 buah foto. Empat di antaranya merekam kejadian hari itu: Dhanu yang membawa daun cendana, Gandhi yang sedang mendengarkan sajak, dan saat ledakan. Di samping itu, ada wajah-wajah lain yang kemudian diketahui sebagai anggota tim pembunuhan. Menurut keterangan polisi, sebelumnya Haribabu telah dihubungi oleh Tamil Eelamgerakan bersenjata yang menginginkan negeri tersendiri di Sri Lankauntuk merekam kejadian bersejarah yang mereka rencanakan itu. Ia berhasil. Seperti Dhanu sendiri: pengebom bunuh diri pertama pada abad ke-20.
Dunia kini tak ingat lagi siapa Dhanu, dengan atau tanpa rekaman. Tapi agaknya tindakannya bergema terus, dengan atau tanpa memakai namanya. Dua tahun kemudian, dalam upacara 1 Mei, seorang lain meledakkan dirinya dan membunuh Presiden Sri Lanka, Premadasa, di sebuah jalan di Kota Kolombo.
Sejak itu, berpuluh ledakan sudah terjadi, berapa ratus orang mati di pelbagai negeri. Seakan-akan sebuah kekerasan rutin. Ketika pukul 7:42 pagi, 5 Desember pekan lalu, sebuah kereta api yang baru meninggalkan Stasiun Yessentuki, di kaki perbukitan Kaukasus, tak jauh dari Chechnya, meledak, kita masih tersentak sebentar, tapi tak limbung. Meskipun lebih dari 40 orang tewas, meskipun sebagian besar mereka pelajar yang akan berlibur. Setelah gelegar itu, hanya ada suara geram resmi. "Bumi akan terbakar di bawah kaki mereka," kutuk Menteri Dalam Negeri Gryzlov kepada para teroris yang sejak Juni 2000 sudah membunuh hampir 300 orang itu.
Tapi bumi terbakar di bawah kaki siapa saja. Dan tak semua orang mengutuk. Pada awal Juni 2001, Hassan Hotary, seorang ayah Palestina, mengatakan kepada wartawan AP ia bangga bahwa anaknya yang berumur 22 tahun, Said, telah meledakkan diri sendiri di sebuah diskotek di Tel Aviv dan membunuh 20 anak muda Israel. Dua tahun kemudian seorang perempuan Palestina melakukan hal yang sama dan membunuh 19 orang di sebuah restoran di Israel Utara. Hanadi Tayssir Jaradat, 29 tahun, dari kota Jenin, pernah menyaksikan saudara kandung dan sepupunya dibunuh pasukan Israel. Hari itu ia menuntut balas. Ibunya menangis, tapi berkata, "Saya bahagia ia membunuh mereka yang membunuh anak saya."
Dendam dan pembalasan selalu punya alasan dan membuat hidup tak gampang. Lebih rumit lagi: tiap alasan tak selamanya dapat dibandingkan. Maka bisakah kita sepakat tentang patut dan tak patut, untuk menilai tindakan Dhanu dan Hanadi? Ketika seorang manusia berniat melakukan sesuatu yang mengerikan, dengan korban yang tewas, tapi dilakukannya karena keyakinan yang kukuh untuk tujuan yang luhur, dengan apakah kita akan menghukumnya?
Tentang korban dan keyakinan, contoh yang besar ada dalam khazanah agama. Bagaimana kita menghakimi Ibrahim yang bersedia membunuh seorang anak yang tak bersalah untuk sesuatu yang luhuryakni untuk Tuhan?
Tiap penghakiman bertolak dari sesuatu yang universal, yang sebenarnya bersua dengan yang partikular. Di situlah dilemanya, di situlah tampak ada yang kurang dalam kemampuan manusiawi kita. Antara aturan yang berlaku di mana saja (dan kapan saja) dan kejadian pada seseorang dalam situasi khusus, kita sering hanya termangu.
Kini kita memang dengan ringan mengikuti kisah Ibrahim, sebab kita tahu akhirnya adalah sebuah happy-ending. Kita tak lagi ingat horor yang berkecamuk dalam dirinya, ketika ia bersua dengan mysterium tremendum. Derrida, dalam Donner la mort, sebuah naskah yang terbit pada awal 1990, menggambarkan Ibrahim pada saat itu mengalami Ia yang "seluruhnya beda", tout autre, Yang Maha Lain, yang tak memberikan alasan sebagaimana manusia memberikan argumen. Pada saat yang sama, Ia menggerakkan Ibrahim untuk melakukan sesuatu di mana "ethika harus dikorbankan atas nama kewajiban".
Maka, sejak ia mendapat perintah itu, Ibrahim pun diam. Rasa gentar dan gementar Ibrahim memang tak terucapkan. Bahasa, seperti halnya hukum, seperti halnya moralitas ala Kant dan komunitas kasih sayang ala Hegel, adalah sesuatu yang "sosial". Padahal apa yang hendak dilakukannya di Gunung Moriah itu, dengan pisau yang siap menyembelih putranya sendiri, tak akan bisa dimengerti dan dimufakati orang pada umumnya. Di sini aturan tentang baik buruk yang berlaku secara universal tak bisa diterapkan. Tapi itulah yang menurut Derrida terjadi tiap kali: ada selalu korban, yang tiap saat harus diakui. "Siang dan malam, di tiap saat, di atas semua Gunung Moriah di dunia, aku melakukan ini, mengangkat pisauku di atas apa yang kucintai dan seharusnya kucintai." Kita tiap kali, sadar atau tak sadar, sebenarnya mengorbankan mereka, tempat kita berutang kesetiaan yang dalam: manusia atau makhluk yang lain.
Tapi benarkah tiap kali yang "ethis" harus diabaikan? Ataukah sebenarnya peristiwa terpenting dalam cerita Ibrahim berlangsung pada saat lain, yakni, seperti diungkapkan Emannuel Levinas, ketika Ibrahim mendengarkan suara malaikat, agar pisau tak jadi dihunjamkan, dan ia merasa Tuhan telah melepaskannya dari beban tugas yang absurd itu, dan ia merasa lega: di hadapannya tergeletak seekor domba? Jika demikian, agaknya ada sebuah momen ketika titah tak mutlak dan Ibrahim tak seutuhnya tegar.
Saya tak tahu haruskah kita dengan demikian mengatakan Ibrahim lemah. Dhanu dan orang yang serupa akan menganggapnya begitudan itu sebabnya kita hidup dengan keyakinan, bom, dan kematian.
Goenawan Mohamad