Indonesia sulit memposisikan diri sebagai negeri ramah investasi. Raksasa elektronik Samsung batal membangun pabrik di sini. Padahal, sebelumnya produsen telepon seluler asal Korea Selatan itu sempat berucap akan mempertimbangkan Indonesia.
Batalnya pembangunan pabrik baru itu membuat Indonesia kehilangan banyak peluang. Di Vietnam, Samsung menanamkan US$ 2 miliar (Rp 23,3 triliun). Indonesia juga gagal menambah ribuan kesempatan kerja. Demikian juga dengan multiplier effect yang akan muncul dari aktivitas investasi tersebut.
Sayangnya, yang dilakukan pejabat Indonesia justru mengecam keputusan Samsung. Semestinya kejadian itu menjadi bahan introspeksi karena ini bukanlah kejadian pertama. Pada 2011, Research In Motion Limited (RIM), produsen BlackBerry, yang juga sempat memberi "angin segar" memilih Indonesia, akhirnya membangun pabrik di Malaysia.
Dari logika bisnis sederhana, dua perusahaan itu semestinya memilih Indonesia sebagai basis pabrik mereka. Sebab, di sinilah pasar terbesar telepon seluler produksi mereka. Selain itu, jumlah tenaga kerja yang berlimpah semestinya menjadi daya tarik tersendiri.
Setiap tahun, 70 juta keping gadget produk Samsung beredar di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, selama 2013, impor telepon seluler mencapai 16.470 ton dengan nilai US$ 2,8 miliar.
Telepon seluler merupakan produk impor terbesar setelah komponen minyak dan gas bumi. Tanpa kehadiran produsen di dalam negeri, barang impor tetap akan semakin deras membanjiri Indonesia.
Selain perhitungan tadi, batalnya pembangunan pabrik baru Samsung menjadi petunjuk kuat tim ekonomi pemerintah gagal menjadikan Indonesia sebagai negara ramah investasi. Para investor asing tidak tertarik menanamkan modalnya, meski negeri ini menjadi pasar terbesar produk mereka.
Ditarik ke belakang, para menteri ekonomi tidak kunjung bisa melahirkan kebijakan yang ramah investasi. Soal "kreativitas" ini, Indonesia tertinggal jauh dari negara tetangga, seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam.
Vietnam, misalnya, menjadi pilihan Samsung karena menyediakan insentif penghapusan pajak penghasilan alias tax holidays selama 30 tahun. Tawaran ini jauh lebih menarik daripada yang diberikan Indonesia, yang hanya memberi waktu 10 tahun.
Selain itu, banyak persoalan yang menghambat minat investor menanamkan modal di Indonesia. Sebut saja soal perizinan (termasuk soal lahan), infrastruktur penunjang, dan isu tenaga kerja kerap menjadi masalah yang mengganggu kemajuan ekonomi Indonesia.
Di antara tiga persoalan besar itu, isu tenaga kerja menjadi faktor terpenting pengganjal minat investor asing. Di Vietnam, misalnya, selain upah yang relatif murah, pemerintah bisa mengelola buruh dengan baik. Di Indonesia, setiap tahun selalu muncul tuntutan kenaikan upah disertai unjuk rasa yang kadang berlangsung kasar.
Beragam persoalan ini harus menjadi catatan penting bagi presiden baru mendatang. Pengelola ekonomi harus mampu melahirkan kebijakan yang mendorong ekonomi Indonesia tumbuh dengan basis industri yang kuat.