Seruan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono soal netralitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI layak diperhatikan. Tentara dan polisi tak boleh memihak salah satu calon presiden. Membawa tentara dan polisi masuk dunia politik hanya akan merugikan TNI dan korps kepolisian.
Presiden mengeluarkan imbauannya karena mengaku mendapat informasi bahwa ada kekuatan yang berusaha menarik-narik perwira TNI terjun ke kancah pemilihan presiden. Maka dia memerintahkan tentara tetap pada perannya sebagai penjaga keamanan. Mengikuti tarikan kekuatan politik adalah subordinasi terhadap Panglima Tertinggi TNI.
Sinyalemen ketidaknetralan TNI itu kian menguat dengan adanya laporan kegiatan politik seorang petugas Bintara Pembina Desa (Babinsa) di Jakarta. Dia dilaporkan mengarahkan warga memilih pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan modus melakukan pendataan warga. Dalam pendataan itu, masyarakat akan diarahkan memilih Prabowo.
Posisi tentara dan polisi sebetulnya sudah jelas, masing-masing diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI dan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Kedua UU itu menyatakan bahwa anggota TNI dan Polri agar tetap netral dalam pemilihan umum. Kalangan internal TNI sendiri juga pernah menegaskan bahwa netralitas adalah amanah pelaksanaan reformasi internal TNI. Netralitas dimaknai sebagai tidak berpihak, tidak ikut, atau tidak membantu salah satu pihak.
Kecemasan bahwa militer bisa berpengaruh dalam pemilihan presiden itu cukup beralasan. Maklum, TNI merupakan institusi dengan kekuatan operasional dan kelembagaan paling solid. Mereka dapat menjangkau seluruh wilayah Indonesia dengan gampang. Apalagi kalangan tentara memiliki pengalaman berpolitik selama Orde Baru (saat itu masih bernama ABRI). Dengan doktrin dwi-fungsi ABRI, tentara mampu mengontrol aspirasi rakyat.
Para perwira militer semestinya paham, menarik tentara ke pertarungan politik justru akan merugikan TNI. Institusi yang dikenal solid ini bisa retak. Itu sebabnya, amat penting bagi TNI untuk berfokus pada peningkatan kinerja dan keahlian. Saat ini, kekuatan militer Indonesia berada di peringkat ke-15 dalam skala dunia (berada di bawah Pakistan, Mesir, dan Israel). Di Asia Tenggara, Indonesia memang negara terkuat, tapi TNI tetap perlu kerja keras meningkatkan kemampuan. Dan itu tidak bisa disambi dengan bermain politik.
Tak bisa dimungkiri, kalangan tentara yang terlibat dalam permainan politik sulit dideteksi. Seorang petinggi militer bisa melakukan pertemuan rahasia dengan elite politik menyusun kesepakatan dengan tokoh sipil. Di level bawah, seorang Babinsa juga bisa melakukan kegiatan politis berkedok pembinaan.
Netralitas tentara bisa dijaga bila Presiden Yudhoyono ikut turun tangan. Tak sekadar mengimbau, ia mesti memerintahkan petinggi TNI memberikan tindakan tegas bagi para perwira yang melanggar. Jangan sampai orang menganggap hal itu sebagai pernyataan basa-basi. *