Lonjakan beban subsidi listrik sampai 50 persen tak bisa ditoleransi lagi. Pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014, subsidi setrum dipatok sebesar Rp 71,4 triliun. Namun anggaran sebesar itu ternyata tak mencukupi dan pemerintah mesti menambah subsidi listrik menjadi Rp 107,1 triliun.
Lonjakan subsidi itu terjadi karena harga bahan bakar minyak sebagai salah satu sumber energi untuk pembangkit listrik naik. Kenaikan tersebut dipicu oleh harga minyak mentah internasional. PLN selama ini membeli solar dengan harga komersial. Selain itu, porsi penggunaan solar untuk pembangkit masih tinggi sepanjang triwulan pertama tahun ini.
Kenaikan subsidi sampai 50 persen jelas merupakan bukti kegagalan pemerintah dan PT PLN mengendalikan konsumsi BBM untuk pembangkit listrik. Pada mulanya, PLN menargetkan penurunan porsi penggunaan pembangkit BBM pada tahun ini dari 12,3 persen menjadi 9,7 persen. Namun target itu agaknya akan sulit dicapai.
Solusi atas masalah tersebut harus dicari di hulu dan hilir. Di hulu, pemerintah mesti terus mendorong PLN menaikkan porsi pembangkit listrik non-BBM, terutama gas. Selain bersih, harga gas jauh lebih murah. Saat ini, harga solar 4-5 kali lebih mahal daripada harga gas. Namun hambatan justru sering datang Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Lembaga itulah yang mengatur alokasi gas. Celakanya, PLN sering tidak mendapatkan pasokan gas. Di Sumatera Utara, misalnya. Pada tahun lalu, pembangkit di provinsi ini masih menggunakan gas sebanyak 16 mmbtu per hari. Tahun ini, pasokan gasnya nol, sehingga Sumatera Utara mesti membakar solar sampai 3 juta kiloliter. Bali dan Indonesia timur juga menghadapi masalah yang sama.
Semestinya perubahan komposisi penggunaan bahan bakar untuk pembangkit merupakan solusi yang paling masuk akal. Sayangnya, kendati pasokan gas di Indonesia melimpah, pemerintah melalui SKK Migas tak mampu menjamin konsistensi pasokan gas. Padahal, jika program pengurangan pembangkit BBM berhasil, Indonesia akan mampu menjual listrik kepada konsumen dengan harga lebih murah dan subsidi listrik bisa dikurangi.
Harapan itu kini menguap. Kegagalan di hulu itu akhirnya mesti dibayar konsumen. Di bagian hilir, pemerintah mau tak mau harus menaikkan tarif listrik. Pemerintah sudah mengajukan skema kenaikan tarif. Konsumen rumah tangga yang menggunakan daya listrik 1.300 kVA dan 2.200 kVA menjadi target. Selain itu, tarif listrik industri non-bursa juga naik. Total penghematan listrik ini mencapai Rp 8,5 triliun.
Penghematan sebesar itu jelas tak memadai. Salah satu usulan yang patut dipertimbangkan adalah menaikkan tarif listrik pelanggan 450-900 kVA. Kelompok ini menikmati 50 persen subsidi listrik. Tarif kelompok ini juga sudah 10 tahun tidak naik.
Dengan kombinasi di hulu dan hilir, serta membuat skema kenaikan yang lebih merata, tambahan beban subsidi listrik itu semestinya bisa ditekan. Pemerintah juga tak perlu memangkas anggaran lain yang justru lebih penting bagi hajat hidup orang banyak. *