Di sekitar Bagdad, siapa yang berdosa? Rasa bersalah telah jadi muskil. Kini tiap hari orang dibunuh, tapi tiap jam selalu ada dalih untuk membunuh.
Sekelompok gerilyawan memenggal kepala Kim Sun-il, orang Korea yang mereka sandera. Tubuhnya ditinggalkan di antara Bagdad dan Kota Falujah. Dunia mengutuk. Tapi para gerilyawan itu akan mengatakan: "Benar, Kim tak berdosa, tapi pemerintah Republik Korea?"
Mereka akan mengatakan bahwa yang berkuasa di Seoul sesungguhnya dapat membebaskan warga negara Korea itu. Tapi tindakan itu tak mereka pilih. Sang presiden lebih perlu mendukung Amerikadan kian terlibat dengan sesuatu yang kotor: menyerang Irak secara tak sah dan mendudukinya sampai hari ini.
Tapi Presiden Republik Korea pasti punya jawab: Kim adalah sesuatu yang bisa disebut "korban" (victim) dan juga "kurban" (sacrifice). Ia biarkan Kim terbunuh agar lebih banyak orang selamat. Republiknya selama ini dilindungi kekuatan Amerika Serikat, dan sebab itu hubungan dengan negeri itu harus dirawat. Juga dari Seoul hendak ditunjukkan betapa sia-sianya siasat gertak para gerilyawan. Jika hari ini tak ada yang takut pada mereka, mereka akhirnya akan berhenti menyandera.
Maka siapa yang benar, siapa berdosa? Ataukah di sini berkecamuk sebuah kekacauan batas dalam nilai? Mungkin justru sebaliknya.
Kini Irak adalah tanah berdarah yang terbelah tegas. Tiap konflik seperti ini memang mengubah ruang jadi sebuah dunia Mani: sebuah pergulatan antara dua kubu, yang diterjemahkan sebagai perang antara Gelap dan Terang. Pergulatan itu kini tak ada dalam batin. Ketika aku bertikai tajam dengan dia, perang itu keluar dari diri, dan akulah sepenuhnya mewakili Terang, dia Gelap.
Maka jika banyak yang hilang di Irak kini, salah satu yang penting adalah rasa tragis. "Rasa" di sini berarti kesadaran yang merasuk ke hati. Yang tragis timbul ketika kita menyadari posisi manusia di tengah Terang dan Gelapsebuah posisi yang genting.
Izinkan saya bicara panjang tentang ini. Saya ingat Milan Kundera pernah mengutarakan kembali apa yang konon dikatakan Hegel: "bersalah, itulah kelebihan karakter tragis yang agung." Ia benar, meskipun tak sepenuhnya meyakinkan.
Ia membawa kita ke dalam Antigone, karya Sophokles yang termasyhur itu, yang di Indonesia, 30 tahun yang lalu, dipentaskan Bengkel Teater Rendra dengan mempesona. Dalam kisah ini, Antigone, putri Oedipus yang membuang diri dari takhta Thebes itu, menyaksikan bagaimana kedua adiknya saling membunuh. Keduanya gugur.
Kreon, Raja Thebes yang baru, melarang salah satu di antara pangeran yang tewas itu dikuburkan. Mendengar ini, Antigone menentang sekuat tenaga. Diam-diam dimakamkannya tubuh yang dihinakan sebagai pengkhianat itu. Mengetahui ini Kreon pun menghukum mati perempuan muda itu.
Dalam tafsir Kundera, baik Kreonyang hendak menjaga ketertiban hukum Thebesmaupun Antigone, yang tergerak untuk melawan ketertiban itu karena hukum Kreon melawan rasa keadilan dan aturan dewa-dewa, tampil bukan sebagai Terang kontra Gelap. Keduanya bersalah, tapi juga tak bersalah. Yang penting ialah pengakuan, bahwa ada dosa di kedua belah sisi. Hanya dengan mengakui dosa itu, sebuah karakter menjadi karakter agung dan berbaik kembali pun jadi mungkin.
Itu sebabnya Kundera mencemooh versi Antigone yang pernah dilihatnya di Praha, ketika Partai Komunis berkuasa di Cekoslowakia. Menurut ajaran resmi "realisme sosialis", kelompok teater waktu itu mementaskan Antigone sebagai teladan "hero positif" Komunismesepenuhnya kebaikanmelawan Kreon, "si jahat" Fascisme.
Betapa menyesakkan, betapa dangkal. Jika kita lepaskan konflik manusia dari penafsiran sebagai perang antara kebaikan dan kejahanaman, kata Kundera, dan jika kita pahami sengketa itu dalam sorotan tragedi, akan tampak betapa nisbinya kebenaran manusia. Akan tampak pula "keperluan untuk bersikap adil kepada musuh".
Kundera benar, tapi tesisnya berlaku terbatas. Di luar karya Sophokles, sebenarnya tak banyak tragedi yang mengisahkan rasa berdosa. Hamlet dan Raja Lear dalam lakon Shakespeare mati menyedihkan, mungkin bersalah, tapi yang menyentuh kita bukan itu. Sebab itu saya punya tesis lain. Bagi saya, "berdosa" bukanlah inti "rasa tragis". Intinya adalah kesadaran tentang "tepi".
"Tepi" bukanlah "batas". Kata ini tak berkaitan dengan keterbatasan. "Tepi" mengandung sesuatu yang sepi, juga menunjukkan keadaan genting sebab siapa pun akan sendirian ketika ada pelbagai sisi yang dihadapi, ketika seseorang tak berada di satu pusat yang mantap. Bukan saja karena Terang dan Gelap ada di mana-mana, tapi juga karena kedua-duanya mengandung bahaya.
Pernah saya temukan sebuah kutipan, yang selalu saya ingat, konon dari Nelson Mandela, yang mengatakan bahwa yang perlu kita takuti bukanlah Gelap diri kita ("our darkness") melainkan justru Terang diri kita ("our light").
Bagi saya kutipan itu menarik dan mengagumkan. Mandela, tentu saja, tak akan masuk dalam kategori Gelap di buku sejarah. Bertahun-tahun ia disekap oleh pemerintahan kulit putih Afrika Selatan yang dikecam dunia. Ia bisa dengan mudah menyatakan dirinya benar dan lawannya 100 persen berdosa, tapi ia sadar betapa berbahayanya sikap seperti itu. Angkuh karena benar akan menghilangkan "rasa tragis", dan tanpa rasa ini, seseorang akan merasa berdiri di pusat. Kesewenang-wenangan akan terjadi. Juga atas nama kebenaran.
Irak kini adalah akibat dari kesewenang-wenangan itu. Irak adalah hasil sebuah kekuasaan besar yang meringkus peta dunia hanya dalam konflik antara Terang dan Gelap, antara Axis of Goodness dan Axis of Evil. Kekerasan dimulai dari Washington dan London, dari Bush dan Blair, yang seraya mengira di dekat Tuhan, tak merasa bahwa sebenarnya mereka juga berada di tepi. Maka di sekitar Bagdad kini rasa berdosa pun jadi muskil, dan para pembunuh hadir.
Goenawan Mohamad