Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Sayu

Oleh

image-gnews
Iklan

Seseorang pernah mengatakan ia "sentimentil", dan ia sendiri mengakui itu "benar". Tapi saya tak yakin. Sampai ia meninggal karena kanker pankreas di Paris pekan lalu dalam umur 74, Jacques Derrida adalah pemikir yang bicara bukan lantaran ia mudah terharu. Bahasanya tak mendayu-dayu, bahkan kerap kali rumit. Pandangannya tak terasa murung. Tidak, ia bukan pemikir yang "sentimentil". Derrida adalah suara yang sayu.

Ia memang hidup di zaman ketika usaha untuk menjelaskan dunia kian terasa tak mungkin lepas dari haribaan bahasa, dan tak kunjung selesai pula. Ia hidup di zaman yang belum juga memecahkan lika-liku keadilan, belum menemukan cara ke pembebasan.

Ia juga hidup di zaman ketika makin disadari manusia ternyata tak berdaulat dan tegak utuh bertopang pada nalar yang terang-benderang. Di depan psikoanalisis Freud dan Lacan, tampak ada yang lain di samping itu: segumpal nafsu, syahwat atau bukan, bawah-sadar dan tubuh, dan kaitan yang rumit dengan dunia luar, sering berupa percaturan kekuasaan.

Tapi tak hanya di situ manusia bersua dengan "yang-lain" dalam dirinya. Derrida bahkan menunjukkan bahwa bahasa, yang membuat manusia berhubungan dengan dunia, tak selamanya dapat dibariskan seperti pramuka yang rapi oleh sang subyek. Bagi Derrida, makna kata tak berjalan lewat lorong yang lurus dari pikiranku, ke pikiranmu. Lorong lurus itu tak pernah ada. Makna dapat saja muncul macam-macam.

Sebab di tiap saat, bahasa?yang terdiri dari untaian "penanda", yakni paduan bunyi vokal dan konsonan?punya dinamikanya sendiri. Tiap penanda memproduksikan makna karena ia bergerak dalam lalu lintas penanda yang berlain-lainan. Sebagaimana seseorang disebut "abang" karena ada seseorang yang disebut "adik", sepatah kata menjadi berarti karena kata yang lain. Dalam bahasa Indonesia ada kata "kolong". Kita tahu "kolong" tak pernah hadir sendiri di ruang mana pun. Sebentuk bunyi vokal dan konsonan mengandung arti "kolong" karena dalam diri penanda itu ada jejak kata lain, yang berarti "meja", atau "kaki meja", dan "lantai".

"Kolong" dapat kita identifikasi, tapi tampak: tak ada identitas yang tanpa jejak "yang-lain". Tiap "kesatuan", sebuah totalitas, senantiasa jadi demikian justru karena ada tilas, mungkin gema, dari apa yang bukan bagian dari kesatuan itu. Maka tak ada identitas?sebagai sesuatu yang utuh dan total?yang lahir secara alamiah. Tak ada identitas yang lahir dari asal-usul yang esa dan suci murni.

Ketika Derrida berbicara tentang "dekonstruksi", pandangan tentang "yang-lain" itulah yang tersirat. Kata "dekonstruksi" memang kemudian diartikan sebagai metode penafsiran sebuah teks. Tapi sebenarnya bukan cuma itu. Ia sangat terkait dengan sesuatu yang etis dan politikal. "Dekonstruksi adalah keadilan," kata Derrida.

Sebab sungguh tak adil untuk menampik mereka yang tercecer dan terbungkam ketika kesatuan dibentuk. Akan bertambah tak adil bila kesatuan/identitas itu dianggap abadi. Kesatuan/identitas yang bergeming adalah sebuah kekerasan. Ia mengetam siapa saja, juga diri sendiri.

Maka masalah keadilan pada akhirnya adalah masalah pembebasan. Dalam hal ini Derrida berdiri dalam tradisi yang sama dengan Marx. "Emansipasi," katanya dalam sebuah simposium di Paris pada tahun 1993, "? jadi persoalan yang luas hari ini." Lalu katanya pula, "Harus saya katakan saya tak bisa berlaku toleran kepada mereka? yang bersikap ironis dalam memandang wacana besar emansipasi."

Suara tajam ini agaknya ia tujukan kepada pemikir liberal seperti Richard Rorty, yang cenderung melihat Derrida sebagai seorang "ironis". Umumnya orang memang akan menduga begitu bila membaca karya-karyanya, Glas, misalnya, yang seperti main-main mengambil jarak dari sebuah keyakinan yang serius.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mungkin itu sebabnya Rorty memasukkan Derrida ke dalam golongan pemikir yang karyanya "untuk memenuhi tujuan privat". Pengaruhnya secara politik akan tak berarti atau amat tak langsung. Dalam pandangan Rorty, Derrida berbeda dari filosof seperti John Stuart Mill atau John Rawls (tentunya juga Marx), yang berpikir untuk "tujuan publik".

Tapi begitu jelaskah batas yang "privat" dan yang "publik" dalam Derrida? Bagi Derrida sendiri, yang hendak ia kemukakan bukanlah sesuatu yang menghindari arena publik. Yang dikemukakannya adalah "yang-rahasia". Baginya, "yang-rahasia" ada di sebuah zona yang tak dapat disentuh yang berkuasa bahkan dalam sistem totaliter sekalipun. Tapi justru dengan mengakui "yang-rahasia", dan menghargainya, akan terbukalah wilayah publik itu bagi "yang-lain".

Di sini Derrida bicara tentang demokrasi. Bagi Derrida, demokrasi mati bila "yang-rahasia" diletakkan semata-mata sebagai persoalan privat.

Dengan kata lain, demokrasi adalah sebuah usaha dari "yang-rahasia" untuk membebaskan diri dari sebuah bangunan politik yang mau merengkuhnya?seperti ketika Stalin menginjak sajak Pasternak dan gereja atau ulama mengusut kemurnian doa. Di situ, yang-rahasia dihabisi. Di situ, yang-rahasia adalah yang-lain yang lemah. Di situ, ia yang dicampakkan.

Demokrasilah yang menyambutnya. Itulah l'hospitalite: pintu yang dibukakan oleh si empunya rumah bagi yang kalah dan terbuang.

Tak berarti si empunya rumah sebuah subyek yang mampu dan otonom seperti manusia Pencerahan dalam gagasan Kant. Ia justru subyek yang lulut pada titah. Tapi titah itu tak berasal dari Yang Maha Kuasa. Titah itu justru yang memanggil kita dari ia yang dilukai, dihina, tak berdaya, dan ditinggalkan.

Memang tampak mustahil kuasa seperti itu akan mengubah dunia. Tapi Derrida tak bicara tentang utopia, melainkan "ke-messiah-an", sebuah janji di hari ini?hari yang selalu tak lengkap?bahwa la democratie venir, bahwa demokrasi selalu "akan datang".

Di sini sang filosoflah yang menggetarkan kita. Suaranya sayu.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

4 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

45 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

50 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

50 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.