Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Pulung

Oleh

image-gnews
Iklan

Di masa lalu orang sering melihat harapan. Bentuknya pulung: seberkas cahaya yang jatuh dari langit di malam hari, isyarat bahwa seseorang telah dipilih untuk punya kelebihan, dan dengan itu mengatasi dunia yang ruwet.

Dengan kata lain, harapan adalah sesuatu yang luar biasa. Itu juga yang sampai sekarang terjadi. Pulung memang tak tampak turun di Cikeas, di bubungan rumah presiden Indonesia yang baru. Tapi di Cikeas dan di luarnya, tiap kali kita "meng-harap" kita selalu "ber-harap". Kita melakukan sesuatu untuk mengadakan harap, tapi pada saat yang sama kita bersikap bahwa kita berada dalam keadaan sudah mempunyainya (tersirat dari awalan "ber"). Artinya, ada sebuah loncatan ajaib antara belum dan sudah ada. Harap seakan-akan tercipta dari ketiadaan, datang dari creatio ex nihilo.

Tapi "harap" disebut juga "harap-an". Dalam bahasa Indonesia, akhiran "an" (seperti dalam "temu-an", "minum-an", "pakai-an") menunjukkan sesuatu yang ada setelah sebuah laku. Pulung itu sebenarnya bukan datang dari ketiadaan. Cahaya yang luar biasa itu tak akan tampak seandainya orang tak menantikannya dengan cemas, dengan doa dan tirakat. Apa yang kelihatannya creatio ex nihilo pada hakikatnya sebuah hasil ikhtiar.

Dan itu tak hanya terjadi dalam pengalaman Indonesia. Di Rusia, Nadezhda Mandelstam menulis sebuah memoar tebal, yang kemudian dalam bahasa Inggris disebut Hope Against Hope. Ia melukiskan suasana putus asa setelah suaminya, penyair Osip Mandelstam, dibuang dan tak pernah kembali. Osip adalah korban yang dibabat karena puisinya tak mengikuti doktrin "realisme sosialis", juga karena ia dianggap menghina Stalin, setelah menulis sebuah epigram tentang seorang penguasa pembunuh yang berjari seperti cacing dan berkumis bak kecoak.

Selama tujuh tahun, sampai dikabarkan Osip mati di pembuangan, Nadezhda menunggu?seperti beribu-ribu orang lain yang sanak keluarganya ditangkap dan tak pulang.

Di tahun 1930-an itu Stalin memang memenjarakan siapa saja yang dituduh "kontrarevolusioner". Umum tahu dan berbisik-bisik bahwa orang-orang yang tak bersalah telah dibuang atau ditembak mati. Dalam ketakutan, ribuan orang melakukan semacam doa yang ganjil: mereka menulis surat. Alamatnya para pejabat yang umumnya jauh tak terjangkau. "Siapa di antara kami yang tak pernah menulis surat ke para penguasa luhur, yang dialamatkan ke nama yang kukuh berkilau bagai logam? Dan apa isi surat itu selain meminta mukjizat?"

Mukjizat hampir tak pernah datang. Tapi toh doa yang ganjil itu, tirakat yang menulis dengan tangan gemetar itu, cukup untuk menemani hidup yang kehilangan. Seakan-akan tiap orang berkata, "Aku berharap, maka aku ada."

Sejak zaman purba manusia memang tak gentar masuk ke rimba meskipun begitu banyak bencana menanti. Optimisme itulah yang diwariskan di dalam genos generasi selanjutnya. Dari itu agaknya kita tahu, seperti kata Lionel Tiger yang menulis sebuah buku tentang "biologi harapan", bahwa manusia adalah "sejenis hewan dengan bakat besar? untuk berharap", an animal with a gorgeous genius for hope.

Kita memang tak bisa lepas dari berharap. Percaya pada surga di langit dan surga di bumi adalah bagian kesadaran yang membuat sejarah berubah. Memang, abad ini datang dengan sikap ragu. Orang mulai melihat bahwa utopianisme adalah campuran amarah, angan-angan, dan sikap angkuh. Marxisme-Leninisme, sumber insipirasi yang begitu kuat, ternyata gagal di abad ke-20. Tapi optimisme baru muncul, dan kita dengar Francis Fukuyama memaklumkan rasa syukur bahwa kita telah tiba di akhir sejarah: ekonomi pasar ternyata tak bisa dikalahkan, demokrasi liberal ternyata menang di mana-mana.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi bukankah itu juga ketakaburan? Di "akhir sejarah", manusia menghadapi soal yang timbul ketika kelak dua miliar lebih manusia di Cina dan India memasuki ekonomi pasar seperti disambut Fukuyama?dengan dinamika yang dilecut oleh hasrat berjuta-juta orang untuk makan, bermobil, bepergian sepuas-puasnya. Siapkah alam untuk itu? Seorang pengkritik Fukuyama, Perry Anderson, memperkirakan dengan muram, seperti nabi Al-Kitab memperingatkan tamaknya kota-kota: bila gelombang konsumsi itu terus, "separuh dari spesies manusia akan mesti punah". Yang lemah juga yang akhirnya harus tenggelam.

Kita yang tak sampai hati akan berkata, "Mari kita berikhtiar meminta pulung jatuh lagi!"

Jangan-jangan benar: dunia perlu bertirakat, berpuasa?tapi bukan puasa seperti yang diramaikan iklan sebagai sejumlah siang yang mempersiapkan jamuan besar. Juga, bukan puasa dalam pengertian ahli fikih yang hanya mengukur kesalihan dengan jarum jam. Puasa yang akan menyelamatkan kita adalah puasa yang terus-menerus, tak siang tak malam, untuk menghentikan hasrat sebelum kenyang, hingga "kenyang" sama artinya dengan hasrat yang berhenti. Pada saat yang sama, puasa itu bukan untuk surga yang disiapkan untuk diri sendiri.

Tapi kita juga mafhum: pesan macam itu tak akan memikat banyak orang. Banyak orang akan menampik surga yang tak bersungai susu dan dihuni bidadari berpuluh ribu.

Tapi bukankah manusia bisa mulia ketika ia bukan hanya hewan yang pintar berharap, tapi makhluk pembawa harapan, saat ia memberikan dirinya untuk yang lain yang butuh?

Saya ingat adegan penutup novel Grapes of Wrath John Steinbeck: Rose of Sharon, gadis sulung keluarga Joad yang miskin dan malang itu, melahirkan bayi ketika air bah menghantam. Sisa keluarga itu pun naik ke tanah yang lebih tinggi, dan masuk ke sebuah gubuk. Seorang anak tampak sendiri bersama ayah yang terhampar hampir mati kelaparan. Rose juga lapar, ia juga tak punya apa-apa. Tapi gadis yang dulu acuh tak acuh itu membungkuk bagi si sakit. Dengan air teteknya ia coba selamatkan orang yang tak dikenalnya itu, dan saya ingat kisah muram itu berakhir dengan senyum.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

4 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

45 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

50 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

50 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.