Pemerintah tak perlu mempertahankan Merpati Nusantara Airlines. Pesawat milik maskapai pelat merah ini sudah hampir lima bulan tak terbang. Sekitar 1.500 karyawan dirumahkan tanpa gaji. Pada saat yang sama, utang sebesar Rp 6,7 triliun belum dibayar.
Selain menyengsarakan karyawan, penghentian operasi ini membuat utang Merpati kepada pemerintah dan kreditor lain, seperti Bank Mandiri, Pertamina, dan Angkasa Pura II, tak terbayar. Yang dihadapi Merpati bukan sekadar masalah finansial. Lebih jauh dari itu, banyak persoalan lain yang tak kalah pelik.
Kendati demikian, pemerintah rupanya masih saja berupaya agar Merpati bisa terbang lagi. Seolah-olah, dengan menyelesaikan persoalan finansial plus suntikan modal kerja baru, maskapai yang sudah berusia 52 tahun itu bakal bisa kembali mengangkasa. Asumsi tersebut terlalu menyederhanakan persoalan.
Utang memang masalah terbesar Merpati. Jika piutang pemerintah sebesar Rp 2,4 triliun plus utang pajak Rp 873 miliar bisa dikonversi menjadi modal, sebagian besar masalah keuangan Merpati bakal selesai. Namun, untuk itu, pemerintah mesti mendapatkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Sialnya, anggota DPR selama beberapa bulan ini sibuk berkampanye, sehingga masalah Merpati seperti dibiarkan berlarut-larut.
Andai pun DPR setuju, tak otomatis persoalan Merpati selesai. Ia masih perlu suntikan modal kerja Rp 200 miliar. Merpati juga perlu tambahan pesawat baru, minimal tujuh pesawat sekelas Boeing 737, untuk mencapai keekonomian. Dengan hanya 15 pesawat, Merpati tak akan mampu mencapai balik modal. Tapi siapa yang mau mendanai? Dua Boeing diambil kembali oleh lembaga pembiayaan pada Desember tahun lalu karena Merpati tak mampu membayar sewa.
Rute-rute Merpati sebagian besar merupakan rute perintis. Maskapai lain tak sudi mampir karena tak menguntungkan. Pemerintah konyol karena memaksa Merpati menerbangi rute-rute itu meskipun hanya menambah kerugian terus-menerus. Celakanya, pemerintah tak lagi memberikan kompensasi atas "penugasan" ini dengan skema public service obligation (PSO).
Belum lagi, dengan jumlah karyawan yang begitu besar, Merpati memiliki rasio karyawan per pesawat yang sangat tinggi, yakni 98. Angka itu jauh lebih besar dibanding maskapai lain, misalnya Air Asia. Pada akhir 2013, maskapai asal Malaysia ini memiliki 30 pesawat dengan 2.000 karyawan, sehingga rasionya hanya 67.
Walhasil, cita-cita mulia menghidupkan kembali Merpati dipastikan akan muspra karena masalah yang dihadapi Merpati seperti sumur tanpa dasar. Sebagai gambaran, pemerintah sudah lebih dari 50 kali menyuntikkan modal. Pemerintah juga sudah berkali-kali mengganti direktur utama, tapi toh masalah Merpati tak pernah tuntas.
Pada kondisi saat ini, opsi pemailitan jauh lebih masuk akal. Biaya pembangkrutan memang sangat besar, tapi setelah itu pemerintah tak perlu dipusingkan oleh persoalan yang sama yang telah menghantui bertahun-tahun. Yang kemudian harus dipikirkan pemerintah adalah bagaimana rute-rute perintis eks Merpati tetap dipertahankan.*