Hampir enam tahun setelah disetujui, proyek mass rapid transit (MRT) Jakarta tak kunjung berjalan mulus. Pembangunan fisik jalur bawah tanah memang sudah dimulai tahun lalu. Namun bagian-bagian penting kelanjutan proyek ini justru masih terhambat. Anehnya, keterlambatan bukan karena terbatasnya dana, melainkan akibat lemahnya koordinasi dan rumitnya perizinan. Pemerintah Jakarta mesti lebih cergas dan tegas. Jangan sampai proyek berbiaya mahal dan sangat ditunggu khalayak ini tertunda, apalagi terbengkalai.
Proyek MRT sudah dimulai sejak 2008, ditandai dengan pembentukan PT MRT. Proyek ini sempat dikaji ulang saat Gubernur Jakarta berganti dari Fauzi Bowo ke Joko Widodo pada 2012. Direksi PT MRT kemudian dirombak total dan pada Oktober 2013 pembangunan fisik pertama (groundbreaking) resmi dimulai. Sepertinya tak ada masalah. Target beroperasi pada 2016 pun kelihatannya tak terganggu.
Nyatanya, yang terjadi tidak semulus rencana. Hambatan utama justru bukan soal pendanaan atau teknis, melainkan ihwal birokrasi. Salah satunya adalah belum berhasilnya pembongkaran bekas Stadion Lebak Bulus.
Seharusnya stadion ini sudah dibongkar Januari lalu untuk diubah menjadi depo kereta MRT. Namun, karena pihak Kementerian Pemuda dan Olahraga selaku pemilik stadion belum mendapatkan sertifikat tanah pengganti dari pemda DKI, izin pembongkaran tak bisa turun. Padahal tanah pengganti stadion sudah disediakan.
Masalah lalu merembet ke pembongkaran Terminal Lebak Bulus. Bekas terminal di sebelah stadion ini tak bisa dibongkar karena proses lelang belum selesai. Masalah bertambah dengan tak kunjung dibongkarnya beberapa halte Transjakarta yang bakal dilewati jalur bawah tanah. Lagi-lagi penyebabnya soal birokrasi: belum ada izin bongkar dari pemerintah Jakarta.
Sungguh aneh, pemerintah Jakarta yang memiliki proyek MRT, tapi birokrasi perizinan malah terhambat aparatnya sendiri. Hal seperti ini seharusnya tak boleh terjadi. Basuki, selaku pelaksana tugas Gubernur DKI, semestinya membuat terobosan dengan memotong kompas prosedur perizinan. Mengingat dana yang begitu besar dan vitalnya proyek, pembangunan MRT semestinya menjadi prioritas. Tidak pantas kerumitan birokrasi menjadi hambatan.
Keterlambatan pembangunan ini harus dibayar mahal. Gara-gara pembangunan yang tertunda, pemerintah DKI kehilangan dana hibah proyek MRT dari pusat sebesar Rp 2 triliun. Seharusnya dana hibah bernilai Rp 3 triliun dengan syarat proyek sudah dimulai pada awal 2013. Karena pembangunan baru dimulai pada Oktober 2013, dana hibah pun dipotong Rp 2 triliun. Pemerintah pusat harus memangkas besaran hibah karena tak mau dana tersebut gagal terpakai sesuai dengan alokasi anggaran.
Masih ada risiko kerugian lain gara-gara terlambat, yaitu denda dari Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA). Badan inilah yang membiayai sebagian besar proyek senilai Rp 15 triliun itu dengan bantuan berbunga rendah. Jika pembangunan proyek MRT molor, pihak PT MRT bakal terkena penalti Rp 800 juta per hari. Denda yang mahal, apalagi jika penyebabnya adalah kerumitan birokrasi.