Berkali-kali Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berjanji bahwa Istana akan bersikap netral dalam pemilihan presiden. Kini sikap Presiden dipertanyakan lagi setelah orang Istana hampir dapat dipastikan terlibat dalam penerbitan tabloid Obor Rakyat. Presiden semestinya menindak tegas stafnya yang melakukan perbuatan tercela itu.
Obor Rakyat adalah selebaran berformat tabloid yang isinya mendiskreditkan Joko Widodo alias Jokowi, yang sedang bersaing dengan Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden. Terbit tanpa mengindahkan Undang-Undang tentang Pers dan mengabaikan kode etik, tabloid Obor dinilai oleh Dewan Pers bukan merupakan produk jurnalistik. Tabloid ini dikirim gratis ke pesantren-pesantren di Pulau Jawa. Pemimpin redaksinya adalah Setyardi, Asisten Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Wanggai sejak 25 Februari 2010.
Menteri-Sekretaris Kabinet Dipo Alam menyatakan, untuk memberikan sanksi administratif kepada orang Istana itu, pihaknya masih menunggu proses hukum di kepolisian. Pernyataan Dipo malah menimbulkan kecurigaan, jangan-jangan kalangan Istana memang terlibat secara terselubung dalam kampanye kotor itu.
Obor Rakyat memang sudah dilaporkan oleh tim hukum Jokowi-Jusuf Kalla ke polisi. Namun, jika menunggu proses hukum, akan terlalu lama. Sedangkan pemilihan sudah di ambang pintu. Keengganan untuk segera memberikan sanksi karena menunggu langkah kepolisian juga tak memiliki dasar hukum. Sebab, sanksi administratif berbeda dengan sanksi pidana. Asisten staf presiden bukan termasuk pejabat tinggi atau pejabat negara, yang hanya bisa dinonaktifkan setelah resmi menjadi terdakwa.
Dipo semestinya menelaah secara teliti isi Obor Rakyat sebelum memberikan pernyataan yang janggal. Melalui pemeriksaan tersebut, Istana bisa mengukur sejauh mana bahaya bisa dipicu tabloid yang sudah terbit dua kali itu. Soalnya, tak hanya melanggar hak-hak pribadi, tabloid tersebut juga berbahaya bagi demokrasi. Tabloid ini juga bisa dianggap menyebarkan kebencian dan mengaduk-aduk hal yang berbau suku, agama, ras, dan antargolongan.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono seharusnya menyadari posisinya sebagai penyelenggara pemilu. Ia bertanggung jawab atas pelaksanaan pemilu yang bersih, jujur, dan adil. Memihak salah satu calon presiden, apalagi dengan menggunakan kekuasaan dan fasilitas negara, jelas bukan sikap yang bijak.
Baca Juga:
Benar, Yudhoyono juga merupakan Ketua Umum Partai Demokrat yang berhak bermanuver politik, bahkan memihak salah satu calon presiden. Tapi keliru bila pemihakan itu dilakukan secara terselubung dalam posisinya sebagai presiden dan melibatkan kalangan staf presiden. Hal ini akan menimbulkan konflik kepentingan dengan peran pemerintah sebagai penyelenggara pemilu.
Pada akhir masa jabatannya, Yudhoyono seharusnya menjaga kewibawaan Istana. Aneh bila ia membiarkan kalangan Istana menerbitkan tabloid Obor.