Aturan calon presiden yang memenangi pemilihan cukup membingungkan. Tak cukup memperoleh suara lebih dari 50 persen, tapi ada juga syarat tambahan. Jika syarat itu tidak dipenuhi, harus diadakan pemilu putaran kedua. Masalahnya, hal ini mubazir bila sejak awal jumlah calon presiden hanya dua.
Itu sebabnya, pengajuan uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden perlu dihargai. Permohonan itu disodorkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi serta Forum Pengacara Konstitusi. Mereka meminta Mahkamah Konstitusi memperjelas aturan main.
Ketentuan yang dipersoalkan itu diatur dalam Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945. Calon presiden yang memenangi pemilihan adalah kandidat yang memperoleh suara lebih dari 50 persen sekaligus mendapat 20 persen lebih suara di lebih dari separuh jumlah provinsi. Bila tak ada yang memenuhi persyaratan itu, diperlukan pemilihan lanjutan. Ada kesan bahwa ketentuan ini lebih diperuntukkan bagi pemilihan yang diikuti lebih dari dua calon presiden.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden tidak memperjelas aturan itu. Pasal 159 undang-undang ini tak membedakan pemilihan yang diikuti dua kandidat presiden dan yang lebih dari dua kandidat. Putaran kedua bagi pemilu yang sejak awal diikuti hanya dua calon presiden tentu amat kontroversial. Putaran kedua akan sulit mengubah perolehan suara dan sebarannya secara signifikan, kecuali bila diulang dari tahap awal dan memungkinkan perubahan kandidat.
Lain halnya bila pemilihan diikuti tiga atau lebih calon presiden. Jika tak ada pemenang yang memenuhi persyaratan dalam konstitusi, putaran kedua jelas akan mengubah perolehan suara. Soalnya, pada putaran kedua, jumlah peserta lebih sedikit karena hanya diikuti calon yang memiliki suara terbesar dan peringkat kedua.
Yang terjadi sekarang, calon presiden cuma dua: Prabowo Subianto dan Joko Widodo alias Jokowi. Tanpa perubahan aturan, Komisi Pemilihan Umum akan tunduk pada ketentuan undang-undang. Artinya, jika tak ada calon yang memenuhi syarat konstitusi, KPU akan menggelar putaran kedua. Pemerintah bahkan telah menyiapkan anggaran untuk mengantisipasi kemungkinan ini.
Secara teoretis, mungkin saja seorang presiden mendapat suara lebih dari 50 persen tapi tidak memiliki sebaran perolehan suara seperti yang dikehendaki oleh konstitusi. Jika seorang calon mendapat suara sekitar 80 persen saja dari setiap tujuh provinsi yang gemuk-Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Banten, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan-ia sudah mengumpulkan suara lebih dari 50 persen secara nasional.
Harus diakui bahwa kemungkinan itu kecil sekali. Sejauh ini dukungan terhadap Prabowo maupun Jokowi relatif merata di hampir semua provinsi. Kendati begitu, MK tetap harus mencari solusi atas aturan yang bermasalah itu. Tidak hanya untuk mengantisipasi pemilihan kali ini, tapi juga untuk pemilihan di masa mendatang. *