Sepekan terakhir, mata uang rupiah seperti limbung menghadapi berbagai gejolak dunia. Pada puncaknya, Rabu lalu, nilai rupiah sempat menyentuh angka 12.000 per dolar alias terendah dalam empat bulan belakangan. Krisis politik di Ukraina dan Irak, yang membuat harga minyak melambung menjadi US$ 123 per barel, tak pelak mempengaruhi pelemahan rupiah. Naiknya harga minyak dunia membuat angka subsidi bahan bakar di dalam negeri kian membengkak.
Di sisi lain, ada kekhawatiran di kalangan investor dunia bahwa pemerintah Amerika Serikat akan kembali mengurangi stimulus moneter alias tapering off karena situasi ekonomi Negeri Abang Sam kian membaik. Kebijakan itu akan membuat dana yang selama ini membanjiri pasar berkurang. Belum cukup, Bank Sentral Amerika juga akan menaikkan suku bunga sebesar 0,25 persen menjadi 1 persen. Dua kebijakan itu jelas akan membuat dolar berbondong-bondong kembali ke negara asalnya.
Gejolak dunia memang berpengaruh kuat terhadap rupiah. Tapi kita tak boleh menutup mata bahwa kuat-lemahnya nilai rupiah terhadap dolar sesungguhnya adalah cermin fundamental ekonomi Indonesia sendiri. Jika fundamental ekonomi kuat, rupiah tak akan gampang goyah. Sebaliknya, jika fundamental ekonomi lemah, rupiah akan mudah limbung menghadapi guncangan kecil sekalipun. Rupiah kita sesungguhnya merupakan refleksi wajah kita sendiri.
Sayangnya, harus kita akui bahwa fundamental ekonomi Indonesia saat ini memang sedang loyo. Penyebabnya terutama adalah triple deficit: defisit perdagangan, defisit transaksi berjalan, dan defisit anggaran. Dalam kondisi itu, upaya intervensi di pasar uang tak ubahnya "menggarami lautan". Bisa-bisa cadangan devisa yang kini mencapai US$ 107 miliar malah akan berkurang sia-sia.
Sialnya, melemahnya rupiah dan defisit anggaran seperti lingkaran setan. Tiap kali rupiah melemah 1.000, defisit anggaran membengkak sebesar Rp 3-4 triliun. Maka sudah tepat langkah pemerintah membuat Anggaran Perubahan 2014 yang lebih ramping. Asumsi nilai rupiah 10.500 per dolar pun diubah menjadi 11.700 per dolar. Dengan perubahan asumsi itu, defisit anggaran yang semula diperkirakan bisa mencapai Rp 472 triliun dapat dikempiskan menjadi Rp 251,7 triliun. Jumlah itu sesuai dengan amanah UU APBN.
Langkah BI tetap mempertahankan rezim suku bunga tinggi untuk mengerem defisit perdagangan juga patut diapresiasi. Kebijakan itu terbukti mampu menurunkan defisit perdagangan pada kuartal pertama 2014 menjadi 2,06 persen, dari sebelumnya 3,85 persen pada kuartal keempat 2013. Dalam situasi sekarang, memang tak banyak instrumen yang bisa dilakukan untuk memperkuat rupiah.
Agar rupiah tak gampang loyo, di masa depan pemerintah harus memperbaiki neraca perdagangan komoditas dan jasa agar surplus. Ekspor komoditas hasil sektor manufaktur harus ditingkatkan. Saat ini ekspor hasil manufaktur Indonesia hanya sebesar 15 persen, tertinggal jauh dibanding ekspor manufaktur Thailand, yang mencapai 59 persen dari total ekspornya. Dengan fundamental ekonomi yang lebih kuat, rupiah niscaya akan lebih berotot dan tahan guncangan.