BASUKI RESOBOWO meninggal. Tak banyak orang di Indonesia sekarang yang tahu siapa dia. Hanya ini: seorang berumur 82 tahun yang mati di negeri asing, tak termasyhur. Berapa yang ingat ia seorang pelukis dan saksi sebuah sejarah panjang--bukan hanya sejarah seni rupa, bukan sejarah yang datar dan nyaman?
Resobowo mengalami masa ketika seni rupa identik dengan kanvas tentang sawah dan lembah. Eksotis tapi tak seram: imajinasi tentang "Hindia Molek", cerminan dari suatu keadaan ketika yang "normal"--di bawah kolonialisme--adalah permukaan datar yang menutupi gejolak di bawah. Basuki, bersama yang lain, terutama S. Soedjojono, menampik semua itu. Mereka ingin tampilnya sesuatu yang "riil", dengan asumsi (atau harapan?) bahwa yang "riil" itu sama dengan yang "benar". Ia ikut gerakan seni rupa modern pertama Indonesia, Persagi. Dari sejak mula tampak: seni rupa bukan sekadar menorehkan cat pada kanvas. Seni rupa adalah membuat sebuah dunia yang terus-menerus bersitegang dengan bingkai.
Itu sebabnya, mungkin, ia ikut dalam pergerakan politik kiri di Indonesia, bergabung dengan Lekra, bahkan dengan Partai Komunis Indonesia. Ini bagian dari pergulatannya untuk menemui yang "riil" yang tak diwakili oleh konstruksi dari sebuah pigura dari atas. Saya tak tahu apa yang akan terjadi dengan Basuki seandainya PKI menang dan berada di atas dan membentuk konstruksinya sendiri atas realitas. Yang pasti, di tahun 1966 Partai dihancurkan dan berantakan, Lekra dihabisi. Basuki pun memutuskan untuk hidup sebagai eksil di Eropa Barat. Terakhir ia tinggal di Oosterpark 63, Amsterdam.
Seorang temannya, seorang sastrawan, Hersri, menulis sebuah kenangan untuk sang pelukis: suatu hari datang dua teman, berkunjung ke tempat kediaman Resobowo. Inilah deskripsi Hersri: "Kelder 4 x 4 meter kira-kira luasnya. Penuh buntalan koran berlepotan cat, kaleng-kaleng cat, alat-alat lukis, satu meja kecil penuh muatan: rokok, tembakau, bir, nasi bungkus. Satu kursi rotan reot agak ke tengah, cukup berjarak untuk memandangi lukisan-lukisan yang masih di kanvas; satu ranjang tak keruan bentuknya, bersitentang dengan kamar kecil--yang benar-benar kecil tapi berfungsi ganda dan tak keruan baunya."
Salah seorang dari temannya bertanya kapan ia berulang tahun. "Apa?" tanya Basuki kembali seperti heran. Ketika ia ditawari kado--sebuah kursi baru dan membersihkan kamar itu--Basuki menjawab: "Untuk apa itu? Nanti aku malah tidak melukis, duduk saja. Seperti borjuis!"
Kursi baru - lantai bersih - borjuis .? "Borjuis", bagi Resobowo, adalah penamaan tentang yang nyaman dan sekaligus memualkan. Tak mengherankan, ia seorang komunis. Yang menarik ialah bahwa Basuki cenderung mengidentikkan "anti-borjuis" dengan asketisme. Ia seakan menolak kenikmatan jasmani. Ia menunjuk ke sebuah tulisan di tembok: "La vie est la misere". Hidup adalah kesengsaraan.
Ia mengatakan ia bukan pengikut Buddha, tapi ia pasti seorang Marxis yang ganjil. Atau barangkali ia seorang Marxis jenis lain, Marxis macam Walter Benjamin, yang melihat malaikat sejarah terbang dengan menghadap ke belakang, dan di bawahnya unggunan puing makin lama makin tinggi--dan itulah yang disebut "kemajuan". Di mana kelak masyarakat tak berkelas? Di mana, menurut Benjamin dan Basuki, kehidupan masa depan yang dilukiskan Marx itu--masa depan ketika orang "menghabiskan waktu siang hari untuk mancing dan berenang-renang dan malam harinya berbicara tentang seni dan filsafat?"
Kita tak tahu sejak kapan Resobowo berangkat atas dasar "kehidupan-itu-samsara". Tubuhnya yang tinggi, hidungnya yang kuat, dan ceruk matanya yang dalam mirip orang dari Madras, memang bisa memberikan impresi ia seorang brahmin. Basuki sendiri anak seorang mantri ukur dari Jawa yang dikirim ke Sumatra Selatan. Tapi ia menampik apa yang disenangi kebanyakan orang (yang juga disebut "orang kebanyakan"), dan itu memang semacam ke-brahmana-an tersendiri: menampik kenikmatan jasmani, kursi, lantai yang bersih?.
Tetapi mungkin ia sebenarnya seperti kita semua: gamang dengan dunia yang kini hadir. Kita harus bergulat dengan pertanyaan yang berbaris dan belum terjawab setelah Tembok Berlin runtuh di tahun 1989. Tembok itu, kita tahu, sebuah lambang dari sebuah masa, ketika dunia dibangun oleh dua arti: yang sebelah sini sosialisme, yang sebelah sana kapitalisme. Di masing-masing sisi "arti" itu dibentuk dari sebuah dasar, sebuah kesatuan, dan tujuan akhir. Tapi dinding itu tumbang dan sebuah perubahan dahsyat terjadi, meskipun tak selamanya kita sadari.
Zaki Ladi, seorang cendekiawan Arab-Prancis, menulis sebuah analisis yang cemerlang dan berpengaruh tentang masa setelah Tembok Berlin runtuh. Kita hidup, menurut Ladi, di "dunia yang kehilangan arti" ("un monde prive de sens"). Robohnya tembok itu tak hanya menguburkan komunisme. Ikut terkubur pula dua abad Pencerahan. Masa yang disebut "Perang Dingin"--antara setelah Perang Dunia II dan tahun 1989--hanyalah masa yang paling intens dari dua abad Pencerahan itu. Di masa itulah ideologi menemukan wujudnya yang paling utuh. Dan ketika "Perang Dingin" itu berakhir, kita pun menemukan diri dalam "sebuah makam semantik yang raksasa, di mana kata-kata, bahkan yang belum lagi dipakai dan jadi menyebar, kehilangan makna dan jatuh kabur".
Resobowo meninggal, seperti ribuan yang lain, sebelum kata-kata menemukan dasar, berdiri, tegak, bisa membentuk wacana bersama. Dulu arti itu, bagi Basuki, diberi wujud oleh ideologi, oleh partai, oleh cita-cita sosialisme. Kini arti itu bagaimana? Juga di pihak sana dari Tembok yang sudah hilang, yang mendengung kencang adalah pasar. Pasarlah yang merayakan apa yang instan, mengalir, sementara, darurat, dan kata-kata pun seperti somnabulis yang bergerak, berjalan, terus, seraya tidur?.
Apakah ia seorang yang kecewa? Bebas? Percaya diri? Menurut Hersri, di kamarnya Resobowo menulis P-K-I sebagai "Perkumpulan Kematian Indonesia". Dan ia pernah melukis sebatang pocongan mayat. Teks di bawah lukisan pocongan mayat itu berbunyi: "Kalau aku mati, jangan ada orang PKI melayat aku."
Goenawan Mohamad