Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

November

Oleh

image-gnews
Iklan

November mungkin awal musim dingin harapan kita, jika 2004 adalah tahun penentuan Amerika. Negeri itu telah jadi begitu penting, hingga ia kini hadir sebagai pusat yang membuat kita cemas. Hidup beribu-ribu mil dari Amerika Serikat, kita memandang ke sana dengan waswas: apa yang akan terjadi pada November ini bila ternyata sebagian besar orang Amerika mendukung terus kekuasaan Presiden Bush?

Kita tak berhak memilih, tapi kita juga akan terhenyak. Kita bagian dari negeri lain, tapi kita akan kecewa, marah, dan bertanya kepada jutaan pemilih dari Hawaii sampai dengan Alaska itu: apa sebenarnya yang terjadi dengan diri Tuan-tuan?

Kita tahu, "11 September" telah tumbuh jadi kata yang menandai korban dan ketakutan, setelah ribuan orang tak bersalah terbunuh oleh terorisme. Kita mengerti ada amarah dan dendam dalam kata itu, karena selama bertahun-tahun ribuan orang di bagian dunia lain juga binasa oleh kesewenang-wenangan yang sama. Tapi kita masygul kenapa hal itu tak menyebabkan orang Amerika merasa jadi bagian yang senasib dengan orang lain; kenapa yang muncul adalah sikap angkuh ke seluruh dunia? Sikap angkuh yang menyebabkan Irak diserbu meskipun tanpa alasan yang sah, dan ribuan manusia, juga anak-anak, mati? Benarkah hal itu menyebabkan orang Amerika jadi aman di mana-mana? Kenapa tak dilihat betapa wabah kekerasan justru berjangkit?

Jika Bush dapat mandat kembali dan ia terus, semua itu tak akan terjawab. Dan kita akan tetap heran, karena di Amerika sendiri pertanyaan itu menyebabkan negeri itu praktis terbelah. Perang, paranoia dan retorika yang pantang mundur menjalar ke mana-mana. Dari Gedung Putih dan Pentagon sebuah kehidupan politik yang enggan berkompromi telah lahir.

Kenapa? Barangkali karena Tuhan dan kemenangan.

Setelah Perang Dingin usai, dan Amerika keluar unggul, tampaknya hanya satu kesimpulan yang dipegang: Tuhan memilih Amerika dalam sejarah. Tuhan memberinya kekuatan yang menakjubkan. Dari sana lahir kekuasaan, dan kekuasaan itu tak membutuhkan negosiasi, apalagi persetujuan orang lain. Politik bukan lagi dilakukan dengan kemungkinan melihat kesalahan diri sendiri, dan sebab itu memungkinkan kompromi. Politik, ke dalam dan ke luar negeri, adalah imperialisme. Beda berarti benci, kemenangan berarti penaklukan.

Belum pernah rasanya Amerika terpecah semendalam seperti sekarang sejak perang di Vietnam 40 tahun yang lalu.

Dengan itu pula kita memang tahu, tak semua orang Amerika memilih kembali Bush. Keputusan sebuah bangsa memang bukan berarti tanda final sebuah konsensus. Pemilihan umum adalah sebuah mesin yang kompleks dengan hasil yang bersahaja: seperti snapshot. Apa yang tampak sebenarnya menyembunyikan apa yang merupakan proses?ada kemarin, kini, dan esok, dengan kemungkinan yang lain-lain. Pada akhirnya, sebuah mufakat politik adalah sebuah bentuk hegemoni?satu corak mengalahkan dan menguasai yang lain?tapi tiap hegemoni selalu bersifat sementara.

Kita sadar akan semua itu. Tak semua orang Amerika bisa dianggap bersalah. Ada ratusan ribu orang Amerika yang dengan sepenuh hati mencegah Bush jadi pilihan bangsa itu lagi. Tapi pada saat yang sama kita juga dapat bertanya, setelah November 2004, apa yang akan jadi sikap mereka yang kalah karena tak memilih Bush?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Demokrasi yang telah berjalan berpuluh tahun memang membutuhkan dekorum: si kalah harus mengakui kekalahannya, seperti dalam sebuah turnamen tenis. Jika ia kalah, John Kerry akan melakukan itu. Dalam dekorum ini tersirat pandangan, bahwa pemilihan umum adalah mesin yang berjalan rutin, netral, tanpa didahului penilaian bahwa hasilnya akan "baik" atau "buruk" bagi manusia.

Lambat-laun orang pun menganggap bahwa, dalam proses politik, yang "baik" dan "buruk" itu soal sementara, tak harus dicantolkan kepada nilai-nilai yang kekal, tak usah dipegang habis-habisan. Perbedaan, kompetisi, dan sengketa telah dijinakkan. Akhirnya semua itu dianggap hanya soal pilihan. Pilihan itu, seperti di AS kini, dilambangkan dalam sosok dua tokoh. Keduanya tak dimaksudkan sebagai tauladan kesempurnaan. Demokrasi bertolak dari pandangan bahwa tak satu pihak pun yang tanpa dosa.

Tapi apa yang terjadi jika politik telah cenderung melihat yang lain berdosa?khususnya kepada Tuhan dan tanah air? Bagaimana jika masyarakat telah terbelah karena apa yang "baik" dan "buruk" begitu menajam dan begitu mendalam? Bisakah yang kalah akan mengatakan bahwa semua ini hanya sebuah pertandingan yang rutin dan normal?

Tapi tahun 2004 adalah tahun Amerika: kini di sanalah dipertaruhkan hal-hal yang bukan sekadar soal bagaimana pertumbuhan ekonomi diperbaiki, perang diselesaikan, dan pendidikan disebarkan. Yang kini dipertaruhkan adalah hal-hal yang akan punya efek ke seluruh dunia bagi masa depan demokrasi: sejauh manakah kebebasan boleh dilindas untuk membuat orang merasa aman? Bolehkah hukum berlaku berbeda bagi orang asing dan pihak musuh? Benarkah Amerika sebuah keistimewaan dengan berkat Tuhan, dan sebab itu imperialismenya justru sebuah tauladan? Dapatkah manusia mengklaim posisi seperti itu, dan menjadikan Tuhan (dalam versi yang ada di kepalanya) sebagai hakim di tengah bumi yang majemuk?

Pemerintahan Bush mewakili mereka yang dengan yakin menjawab "ya"?dan yang ingin mengubah dunia dengan suara "ya" itu.

Maka, jika Bush dipilih kembali, November ini, sebuah musim dingin yang muram akan bermula: matahari tak akan bersinar lagi bagi mereka yang percaya bahwa demokrasi bukanlah sesuatu yang mengkhawatirkan, karena demokrasi mengandung sikap yang lebih rendah hati, karena demokrasi mengakui bahwa yang berperan adalah orang dan agenda yang tak pernah sempurna.

Bahwa kini demokrasi di Amerika?yang telah dua ratus tahun umurnya?membuat kita begitu cemas, itu sendiri sesuatu yang membuat kita cemas.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

18 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

23 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

23 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

48 hari lalu

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

49 hari lalu

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

55 hari lalu

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.


Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

12 November 2023

Budayawan Goenawan Mohamad hadiri pembukaan pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, 17 Mei 2023. Pameran yang menampilkan kumpulan foto arsip, seni instalasi dan grafis tersebut digelar dalam rangka merefleksikan seperempat abad gerakan reformasi di Indonesia, pameran berlangsung hingga 17 Juni mendatang. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

Goenawan Mohamad menyebut pilpres mendatang berlangsung dalam situasi mencemaskan karena aturan bersama mulai dibongkar-bongkar.