Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kejadian

Oleh

image-gnews
Iklan

Tidakkah kita akan bosan? Demokrasi tanpa mukjizat. Bila "akhir sejarah" adalah sebuah keadaan hidup ketika manusia menerima kemerdekaan dirinya sebagai sesuatu yang normal, tak akan perlu sedu sedan lagi: marah dan kesedihan kita bawa sendiri, sendiri?atau kita letakkan di ruang terbatas. Huru-hara tak dibutuhkan. Ketika kita tahu bahwa revolusi pada akhirnya akan berakhir?dan kita mendapatkan cara merdeka yang lebih murah?buat apa perubahan yang mengguncang kita dari bulu kaki sampai ke ulu hati? Kita pun akan membuat prosedur, juga untuk berteriak.

Kini pun, di jalanan tak ada teriak. Orang berdesak-desak. Dari jendela bus, masing-masing memandang ke luar, tak sabar, atau tidur dan menyerah ke dalam kemacetan rutin, dan berbisik, (mengingatkan kita akan lakon Utuy Tatang Sontani), "Sayang ada orang lain?."

Orang lain tentu tak akan musnah. Kelangkaan, dari mana ekonomi lahir, akan tetap ada. Kita tetap harus berbagi. Tapi kita akan enggan berkelahi habis-habisan untuk mengubah distribusi itu. Di "akhir sejarah", kapitalisme telah diterima sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Manusia tak perlu membuat tangan gigantis sendiri. Ada "tangan yang tak terlihat" yang mengatur benda, jasa, kekayaan, kesenangan.

Tentu, kita tak akan jadi mesin otomat yang bangun tidur, bekerja, makan, ngobrol dengan tetangga atau nonton TV dan sebenarnya hampa. Kita masih bisa tergugah melihat kesewenang-wenangan (misalnya di berita malam atau sinetron). Kita masih bisa bergabung dalam keranjingan Persebaya atau Manchester United dan datang ke konser Slank. Kita masih bertarung habis-habisan dalam turnamen tae-kwon-do. Kita masih mencoba menang dalam festival tari, di pasar saham atau di laboratorium yang mencari obat baru untuk rambut rontok.

Tapi itu semua adalah gairah dalam sebuah tertib. Ukuran dan juri disepakati?mirip kehidupan politik di atas kita. Dan kita akan menyebutnya "zaman normal".

Mungkin membosankan. Sebab tidakkah terasa ada sesuatu yang kurang, sebuah defisit yang tak bisa kita hitung? Di negeri di mana demokrasi-tanpa-mukjizat telah berlangsung lama, orang mulai melihat ada sesuatu yang "salah" dalam gerak-tanpa-keharuan ini. Orang pun bicara, dengan setengah mencemooh, tentang "republik prosedural".

Dan orang pun mulai menyidik bahwa batas antara yang "normal" dan "abnormal" sebenarnya semu. Seperti halnya jiwa manusia sendiri: normalitas adalah sesuatu yang mengandung luka dan lupa. Dalam keteraturan hari ini kita bukan saja meletakkan khaos dan ketidakpastian di hari kemarin. Kita juga tak mengakui ada represi pada jam ini juga di satu sudut kota. Seperti lotere: prosedur yang teratur untuk menentukan pemenang sebenarnya justru bagian dari ritual untuk terkejut, sebuah upacara ketidakpastian. Probabilitas dapat diperkirakan oleh statistik. Tapi para pakar tahu hasilnya selalu mengandung deviasi.

Maka tatkala "politik" jadi prosedur, orang memang patut bertanya: tidakkah ini hanya ilusi? Begitu gampangkah proses membuat prosedur itu diterima sebagai prosedur? Tidakkah pada mulanya ada isi, yang bermakna, yang menyangkut "keadilan", "kebebasan", dan "kebenaran", hal-hal yang sebenarnya begitu penting bagi kelanjutan hidup (di) sebuah negeri?

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di Indonesia, tahun ini, kita memang belum lupa bahwa dalam "politik" (sebagai prosedur), sebenarnya terkandung "kejadian". Ketika Alain Badiou menyebut "l'evenement" dalam sejarah?misalnya Revolusi Prancis?argumen filosof itu kita terima sebagai pengingat bahwa memang ada yang gerowong dalam tiap ketertiban. Ke sana masuk sebuah gebrakan yang mengguncang keadaan (atau tata) yang ada. Otoritas dan kepatuhan berdiri, tapi dalam situasi itu sebenarnya berlangsung juga sesuatu yang suwung?kosong tapi penuh dengan entah?sesuatu yang sarat dengan inkonsistensi tapi tak (hendak) diketahui. Ketika huru-hara meledak, bagaikan sebuah mukjizat transformasi pun terjadi. Para pelakunya menyebutnya "Revolusi". Melalui "intervensi tafsir" itu, sang "Kejadian" jadi "Kebenaran"?sesuatu yang universal.

Politik sebenarnya mengandung cita-cita ke arah yang universal itu. Kini hal itu jadi penting, sebab kita hidup dalam masa yang bertanya: jangan-jangan yang "universal" sebenarnya sesuatu yang hanya dicekokkan ke kepala kita oleh suara yang paling kuat. Dengan kata lain, kita hidup tanpa pegangan bersama yang mantap. Sang "Kejadian" adalah yang memantapkan apa yang tak mantap.

Tapi tidakkah Badiou sebetulnya sebuah suara nostalgia, ketika politik terasa begitu-begitu saja dalam "republik prosedural"? Sebenarnya ia memang menghendaki "mukjizat": teorinya bukan hanya satu deskripsi, tapi acuan untuk membuat sebuah langkah besar, yakni sebuah Keputusan di tengah hal yang tak dapat diputuskan, dalam ketidakmantapan nilai-nilai. Dari Keputusan itu akan hidup kembali persoalan "keadilan" dan "kemerdekaan" yang kita simpan di bawah kasur prosedur.

Namun acuan Badiou masih membuat saya waswas: Keputusan dalam ketidakmantapan itu juga pada dasarnya hanya "prosedur", meskipun dramatis. Tidakkah "intervensi tafsir" dapat membuat kekerasan dari siapa pun jadi Kebenaran?juga dari Hitler? Saya bayangkan seorang Jerman yang pada tahun 1930-an menonton film Leni Riefenstahl, Triumph des Willens. Di sana tampak rapat akbar Partai Nazi di Nrnberg pada tahun 1934?parade yang dahsyat, ribuan barisan dalam desain yang agung. Ia akan mudah dengan yakin menyatakan, "Inilah Kejadian! Inilah Kebenaran!"

Artinya masih ada yang kosong dan menakutkan, bukan membosankan atau tidak. Soalnya kemudian kapan politik memberi isi dan prosedur hanya menjadi bentuk? Sekarang juga, saya kira. Bahkan di "akhir sejarah" isi itu, makna itu, masih mengimbau?selama di luar pintu itu ada seorang yang tergeletak, lapar, luka, dan kita tak berpaling.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

17 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

22 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

22 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

48 hari lalu

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

48 hari lalu

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

55 hari lalu

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.


Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

12 November 2023

Budayawan Goenawan Mohamad hadiri pembukaan pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, 17 Mei 2023. Pameran yang menampilkan kumpulan foto arsip, seni instalasi dan grafis tersebut digelar dalam rangka merefleksikan seperempat abad gerakan reformasi di Indonesia, pameran berlangsung hingga 17 Juni mendatang. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

Goenawan Mohamad menyebut pilpres mendatang berlangsung dalam situasi mencemaskan karena aturan bersama mulai dibongkar-bongkar.