Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis terlalu ringan kepada Chaeri Wardana dalam kasus penyuapan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar. Peran penting Chaeri sebagai penyandang dana suap justru diabaikan hakim. Tidak digabungnya dakwaan penyuapan dan pencucian uang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi faktor lain jatuhnya vonis enteng itu.
Senin lalu Pengadilan Korupsi memberikan vonis 5 tahun penjara kepada Chaeri, adik mantan Gubernur Banten Atut Chosiyah. Wawan-begitu nama panggilan Chaeri-terbukti menyuap Akil. Penyuapan dilakukan agar MK memenangkan calon Bupati Lebak Amir Hamzah dalam kasus sengketa pemilihan bupati. Vonis bagi Wawan ini jauh dari dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni 10 tahun.
Ada dua pertimbangan hakim yang justru menunjukkan kelemahan argumen mereka. Pertama, menurut ketua majelis hakim Matheus Samiaji, vonis lebih ringan diberikan karena peran Wawan tidak lebih penting dibanding Susi Tur Andayani, pengacara Amir Hamzah. Wawan hanya dianggap meminjamkan uang kepada Amir. Sedangkan Susi, yang juga divonis 5 tahun bui, aktif menghubungi Amir dan meminta uang untuk menyuap Akil.
Argumen Samiaji ini aneh. Sebab, peran Wawan justru amat penting. Dialah tumpuan kubu Amir untuk bisa masuk ke Akil. Tanpa Wawan, penyuapan sulit terjadi. Bahkan perannya dalam mengotaki penyuapan ini jauh lebih besar daripada Susi.
Pertimbangan lain majelis juga aneh. Samiaji mengatakan Wawan juga mesti menjalani proses hukum dalam perkara dugaan korupsi alat kesehatan di Kota Tangerang Selatan dan Provinsi Banten, serta pencucian uang, yang perkaranya juga akan disidangkan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Dengan argumen itu, Samiaji seolah menyampaikan bahwa vonis ringan kali ini tak perlu dipermasalahkan, toh nanti ada tambahan hukuman. Ini pertimbangan aneh. Sebab, seseorang tidak bisa dihukum lebih ringan dengan alasan ia nanti akan dihukum dalam kasus lain. Sistem hukum di Indonesia tidak mengenal akumulasi jumlah hukuman dari perkara terpisah. Dalam sistem hukum kita, hanya hukuman tertinggilah yang diambil.
Selain faktor hakim, ringannya vonis semestinya bisa dihindari jika jaksa KPK menggabungkan dakwaan soal penyuapan dan pencucian uang dalam satu kasus. Penggabungan dakwaan lain dengan pencucian uang pernah dilakukan KPK saat menjerat Luthfi Hasan Ishaaq dalam kasus korupsi impor sapi. Luthfi dihukum berat, 16 tahun penjara, karena terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang. Pemisahan dakwaan justru memperlemah hukuman.
Kini kita hanya bisa berharap hakim akan menjatuhkan vonis lebih berat pada dua kasus yang belum disidangkan itu. Vonis berat ini penting karena, jika terbukti melakukan korupsi alat kesehatan, berarti Wawan adalah operator penting dalam berbagai penyuapan dan korupsi di Banten. Pelaku kejahatan secara terorganisasi dan bersama-sama seperti ini seharusnya dihukum lebih berat karena jejaring yang mereka bangun untuk melakukannya sudah begitu menggurita. Vonis berat bisa menjadi sinyal bagi jaringan koruptor bahwa kejahatan mereka tak bisa dihukum ringan.