Ini bahaya kampanye terbuka apabila dijadwalkan di satu wilayah dan berlangsung pada hari yang sama untuk tim dua pasangan calon presiden. Pecahnya bentrokan di antara pendukung para calon tak bisa dihindarkan. Insiden saling melempar batu serta perusakan mobil, pertokoan, dan rumah penduduk harus dipastikan tak terulang. Komisi Pemilihan Umum seharusnya memastikan kesalahan fatal, seperti jadwal kampanye yang bentrok.
Kampanye dengan jadwal yang sama itu berlangsung di Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa lalu. Tim pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla berkampanye kirab budaya di Alun-alun Utara. Sedangkan kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menggelar kampanye di Bantul. Karena jarak Bantul dengan Yogya dekat dan akses jalan yang dilintasi sama, massa kedua kubu pun sulit untuk tidak berpapasan.
Sentimen di antara kedua kubu juga dipicu oleh identitas mencolok masing-masing. Massa pro-Jokowi-JK sebagian besar memakai kaus dan bendera PDI Perjuangan. Adapun massa kubu Prabowo-Hatta mengenakan atribut Partai Persatuan Pembangunan. Mereka berkonvoi dengan sepeda motor dan mobil. Sebagian besar massa berangkat dari Sleman dan Bantul menuju Yogya. Tak sedikit massa yang berbondong-bondong dari Yogya dan Sleman menuju Bantul. Mereka kemudian berpapasan di sejumlah tempat.
Keributan diawali saling ejek saat mereka bertemu di jalan. Dari perang mulut itulah berlanjut bentrokan fisik. Di Ngabean dan di Jalan Hayam Wuruk, massa dari kedua kubu saling melempar batu setelah cekcok. Peristiwa ini cepat menyebar, ditambah merebaknya isu bahwa salah satu kubu bakal melakukan serangan.
Pada hari itu bentrokan pecah sedikitnya di sembilan lokasi. Selain di Ngabean, kerusuhan meletus di Jalan Bantul kilometer 5, kawasan Brontokusuman, Muja Muju Umbulharjo, hingga daerah Saudagaran, Tegalrejo. Kepolisian sepertinya kecolongan dalam insiden itu.
Begitu pula KPU, gagal mendeteksi kekacauan kampanye di jalanan tersebut. Petugas tidak hadir di tengah-tengah massa yang hatinya terbakar demi kemenangan pasangan calon presiden yang diusung. Absennya aparat ini, selain tak bisa mencegah bentrokan, memberi ruang kepada provokator yang menginginkan kampanye kacau.
Faktanya, aparat baru tiba di lokasi keributan setelah mobil, toko, dan rumah berantakan. Kepolisian sepertinya lalai melakukan pengamanan atas setiap kampanye yang sudah dijadwalkan bersama KPU. Dengan jadwal yang sudah tersusun, semestinya kepolisian siaga maksimal, memetakan kerawanan gerakan massa hingga soal teknis mengatasi kemungkinan kerusuhan. Kerawanan yang sudah diantisipasi harus dijaga ketat. Jika perlu, dilakukan blokade jalan agar massa yang berbeda haluan tidak melintas di satu titik. Kepala Polri Jenderal Sutarman mesti memastikan jajarannya bekerja secara maksimal. Janji akan mengawal masa kampanye sejak keberangkatan hingga kembalinya para pendukung pasangan calon presiden harus dibuktikan.
Yang lebih penting lagi, KPU menyusun ulang jadwal apabila ada kampanye dua kubu berlangsung di daerah dan waktu yang sama. Salah satu kubu mesti rela mengalah dengan menggelar kampanye pada hari berikutnya. Hanya dengan cara inilah kampanye yang berpotensi menimbulkan huru-hara bisa dicegah.