Akhirnya bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dijatuhi hukuman penjara seumur hidup. Ganjaran berat ini pantas diberikan kepada terdakwa yang dijerat dengan delik suap sekaligus pencucian uang itu. Tapi vonis serupa semestinya juga diberlakukan pada petinggi lain.
Akil terbukti menerima duit sekitar Rp 57,78 miliar dan US$ 500 ribu dalam kaitan dengan pengurusan perkara sengketa pemilihan kepala daerah di sejumlah wilayah. Atas kejahatan suap ini, ia dijerat dengan Pasal 11 dan 12 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar ini juga dijaring dengan Undang-Undang Pencucian Uang.
Majelis hakim yang diketuai Suwidya juga membeberkan dua alasan yang memberatkan terdakwa. Pertama, Akil merupakan pejabat lembaga tinggi negara. Ia memimpin institusi yang menjadi benteng terakhir bagi masyarakat untuk mencari keadilan. Kedua, perbuatan terdakwa membuat integritas MK tercemar dan memerlukan waktu lama untuk memulihkannya.
Pertimbangan itu pantas diapresiasi. Inilah hukuman terberat untuk terdakwa korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Reaksi terdakwa yang sama sekali tidak menunjukkan penyesalan--ia bahkan ingin terus mengajukan banding "hingga ke malaikat"--justru semakin menguatkan penilaian bahwa Akil layak mendapat ganjaran itu.
Vonis atas Akil diharapkan membuat para koruptor ciut nyali. Putusan tersebut semestinya pula menjadi acuan bagi hakim lain dalam menangani kasus korupsi. Hukuman berat harus diberikan kepada pelaku kejahatan luar biasa ini. Kali ini, hakim memang menekankan pada posisi Akil yang memimpin lembaga penegak hukum sebagai faktor pemberat hukuman. Tapi, dengan pertimbangan berbeda, penyelenggara negara yang lain seharusnya bisa dihukum berat.
Kejahatan suap dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sebetulnya tidak membedakan jenis penyelenggara negara. Bukan hanya penegak hukum yang bisa dijatuhi hukuman berat. Sesuai dengan pasal 12 (kejahatan suap), pegawai negeri atau penyelenggara negara juga terancam hukuman maksimal penjara seumur hidup. Dengan kata lain, vonis berat seharusnya dijatuhkan pula pada anggota parlemen, kepala daerah, atau menteri yang terjerat kasus korupsi.
Daya rusak yang ditimbulkan oleh tindakan seorang anggota DPR melakukan korupsi tak kalah dahsyat dibanding sepak terjang Akil. Politikus Senayan sanggup melakukan korupsi secara sistematis, melibatkan pengusaha sekaligus pejabat pemerintah. Mereka jelas menghambat upaya membangun pemerintahan yang bersih, merugikan keuangan negara dan masyarakat luas. Perilaku mereka juga merusak demokrasi.
Ganjaran bagi Akil merupakan acuan penting. Sudah saatnya para penyelenggara negara yang korup diberi hukuman seberat-beratnya. Tak perlu hukuman mati, karena tidak sesuai dengan penghormatan kepada hak asasi manusia, melainkan cukup penjara seumur hidup.