Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai syarat pemenang pemilihan presiden amat disesalkan. Hakim konstitusi bersikap pragmatis sekaligus menghilangkan roh konstitusi. Tak selayaknya syarat sebaran suara dihapuskan untuk pemilihan yang diikuti hanya oleh dua calon presiden.
Penghapusan syarat sebaran suara itu dilakukan dalam uji materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden. Hakim konstitusi mengabulkan permohonan yang diajukan oleh Muhammad Asrun dan kawan-kawan. Dengan putusan ini, pemilihan presiden mendatang dipastikan hanya berlangsung satu putaran. Syarat sebaran suara tidak diperhitungkan lagi.
Isi Pasal 159 ayat 1 Undang-Undang Pemilihan Presiden yang diuji itu sebetulnya amat gamblang. Bunyinya: pasangan calon terpilih adalah yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Nah, hakim konstitusi kemudian menyatakan bahwa aturan ini hanya berlaku bagi pemilihan dengan lebih dari dua calon presiden.
Putusan itu aneh karena pasal tersebut sebenarnya hanya disalin persis dari ketentuan dalam Pasal 6A ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Jadi, mengoreksi pasal itu sama saja dengan mengoreksi konstitusi. Benar, hakim konstitusi berwenang menafsirkan UUD. Tapi penafsiran kali ini amat gegabah dan bertentangan dengan semangat konstitusi.
Syarat sebaran suara dibuat bukan tanpa tujuan. Konstitusi ingin memastikan presiden dan wakil presiden terpilih memiliki legitimasi yang kuat dan merata di seluruh Tanah Air. Bagaimanapun, presiden mencerminkan dan mewakili keragaman penduduk Indonesia. Pasangan yang tampil diharapkan pula memperoleh dukungan luas dan merata.
Putusan MK berimplikasi jauh. Syarat pemenang dalam pemilihan yang diikuti hanya dua kandidat presiden kini jauh lebih ringan dibanding yang diikuti oleh lebih dari dua kandidat. Dalam kondisi terakhir, putaran kedua harus digelar bila kandidat yang memperoleh suara terbanyak tak memenuhi syarat sebaran suara.
Akibat putusan itu, kelak kalangan partai politik bisa menempuh jalan pintas. Mereka tak perlu repot lagi mencari pasangan yang bisa meraup dukungan luas. Cukup mengumpulkan suara sekitar 80 persen dari tujuh provinsi gemuk-Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DKI Jakarta, Sumatera Utara, Banten, dan Sulawesi Selatan-pasangan calon presiden dan wakil presiden akan menang.
Pendapat dua hakim konstitusi yang menyampaikan dissenting opinion justru lebih masuk akal. Salah satu hakim konstitusi itu, Wahiduddin Adams, bahkan dengan tegas menolak permohonan uji materi tersebut. Menurut dia, penghapusan syarat sebaran akan membuka kemungkinan pemenang pemilihan hanya populer di segelintir provinsi.
Mahkamah Konstitusi seharusnya tak membuat putusan yang mengingkari ketentuan konstitusi, sekaligus memunculkan masalah baru.