Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Byar

Oleh

image-gnews
Iklan
Pernah saya bertanya, di masa macam apa kita hidup. Seseorang mengirimkan jawab dalam sebuah kalimat: "Di masa ketika sejarah membangunkan kita dan membentuk huruf koma." Setelah itu? "Setelah itu ia membentuk koma lagi dan koma lagi dan koma lagiseribu koma untuk dirinya, atau dari dirinya, dengan kematian." Ada sesuatu yang belum selesai dalam koma. Ada sesuatu yang telah habis dalam kematian. Katakan, apa yang akan menyusul setelah koma dan kematian? Kali ini tak ada jawab. Tak demikian jelas sebenarnya, apakah jawaban mungkin. Seribu koma itu berdiri menjadi puing. Kematian ada dan dilupakan, tetapi yang tak selesai, yang belum rampung, menghadang kita bukan sebagai janji, melainkan sebagai bekas, dalam hidup sehari-hari, dalam imajinasi. Bekas dari apa yang pernah dicapai. Di Indonesia sekarang kita tak melihat pesimisme. Yang kita lihat adalah beberapa harapan yang seperti kembang api, byar, marak, melintasi kepala kita, dan jatuh dari langit, atau, setelah pendar yang memikat itu, tak kelihatan lagi di dalam gelap. Dan kita tahu, tanpa gelap itu segala kembang api tak akan menjadi kembang. Optimisme? "Hanya demi untuk orang-orang yang tak punya harap maka kita diberi harapan." Itu kalimat dari Walter Benjamin. Saya kira, dalam masa yang tak jelas ini, kita bisa berbicara sedikit panjang tentang Benjamin dan harapan. Dari biografinya kita tahu ia mencoba melarikan diri dari Jerman Nazi, untuk pindah ke Amerika, dan bunuh diri di perbatasan Spanyol dan Prancis, 26 September 1940. Bukan kebetulan, tentu, bahwa ia menjadi salah satu tokoh yang menarik dalam kumpulan esai Men in Dark Times Hannah Arndt. Arndt menyebut satu episode: Walter kecil membaca sebuah sajak dalam buku anak-anak, tentang manusia cebol yang bongkok yang menghadang anak-anak kecil di gudang anggur atau di dapur dan merebut botol atau memecahkan poci. Si Cebol Bongkok itu menghantuinya seumur hidup, seakan-akan demit yang senantiasa menghadangnya agar ia sial dan celaka. Ibu-ibu Jerman suka mengatakan kepada anaknya yang kesandung kursi atau menjatuhkan gelas ke lantai: "Pak Kikuk kirim salam"Ungeschickt lsst grssen. Dan Pak Kikuk, atau Si Cebol Bongkok, atau Sang Sial, seakan-akan senantiasa mengamat-amatinya, mengiriminya salam, bahkan menjerembapkan Walter Benjamin sampai di harinya yang terakhir. Ia melarikan diri, sesuatu yang memang harus dilakukan seorang cendekiawan Yahudi yang dekat dengan Marxisme, terutama setelah Gestapo menggeledah kamarnya. Hanya beberapa jam lagi ia akan bebas, hanya beberapa kilometer: ia tinggal melewati bukit-bukit dari wilayah Spanyol itu ke Port Bau yang tak dijaga polisi perbatasan. Tapi ia tahu jantungnya tak akan kuat untuk berjalan kaki mendaki, dan sebab itu ia membunuh diri. "Hanya demi untuk orang-orang yang tak punya harap maka kita diberi harapan." Janggal memang bahwa orang yang menuliskan kalimat itu menyebut dirinya seorang Marxis. Marxisme adalah sebuah iman tentang perubahan dunia dan sejarah yang akan berakhir dengan kebebasan. Dalam iman ini, sejarah, kalaupun membentuk seribu koma, membentuknya dalam sebuah garis lurus. Garis lurus itu, dibangun oleh dialektika, akan berujung di sebuah surga di bumi. Tetapi bagi Benjamin, "malaikat sejarah" melihat sesuatu yang tak kita lihat: "Di mana satu mata rantai peristiwa tampil kepada kita, [sang malaikat sejarah] melihat sebuah malapetaka yang tak henti-hentinya menimbun runtuhan demi runtuhan, dan melontarkannya di depan kakinya." Sang malaikat sebenarnya ingin tinggal, membangunkan mereka yang mati, dan bergabung bersama dengan yang telah dihantam sampai hancur. Namun "sebuah badai bertiup dari Surga," tulis Benjamin pula, dan "tak tertahankan, mendorongnya ke masa depan." Tapi ia bergerak ke masa depan dengan menghadap ke belakang, "sementara unggunan puing tumbuh kian lama kian menjulang ke langit." Menurut Benjamin, "badai itulah yang kita sebut 'kemajuan'." Barangkali itukah sebabnya ada sebuah jawaban: bunuh diri? Kita bisa menjawab ya atau tidak, tapi dengan itu kita mengakui bahwa bunuh diri di sini bukan hanya persoalan psikologis ataupun sosial. Seorang pemikir lain menulis sebagai kalimat pembuka dari sebuah esai yang kemudian terkenal: "Hanya ada sebuah persoalan filsafat yang benar-benar serius, dan itu adalah bunuh diri." Albert Camus menulis Le Mythe de Sisyphe persis di tahun ketika Benjamin memilih untuk tak hidup terus dalam sebuah periode ketika optimisme guncang: demokrasi dan kemerdekaan manusia tampak melintas setelah Perang Dunia I, tapi segera diganti totalitarianisme dan pembantaian. Membaca kembali esai panjang yang memukau itu kita akan tahu apa yang menyamakan Camus dengan Benjamin. Bagi keduanya, filsafat, konsep, teori bisa mempunyai logika yang lurus, dan membentuk sesuatu yang padu, tetapi ada hal-hal yang mengatakan bahwa tak semuanya bisa tertangkap dengan itu. Ada momen-momen pemberontakan dari yang "karnal" dan yang tak terduga. Absurditas bukanlah kegilaan. Yang absurd adalah kepekatan dan keganjilan dunia. Pada suatu saat kita sadar bahwa selama ini sebenarnya alam semesta kita pahami sebagaimana kita meletakkannya dalam kerangka dan syarat kita. Rancangan, utopia, dan iman tentang kemajuan menjadi guyah ketika dunia ternyata senantiasa luput, menjadi tak tertembus lagi dan terasa asing, dan kecerdasan tak memuaskan lagi. Yang kemudian jadi persoalan ialah, jika arah ke depan itu tak bisa selesai diperikan, dan sebab itu bisa dikatakan tak ada, sejarah bisa tak punya arti apa-apa. Dan hidup? Dan harapan? Camus tak menyimpulkan bahwa logika ini harus ditarik sampai ke ujung yang pahit, dan itu artinya kematian yang dipilih. Ia mengambil ibarat, dan itulah mitos Sisiphusnya yang terkenal itu. Tokoh dongeng Yunani ini dihukum para dewa untuk mengangkat sebuah batu besar ke puncak gunung. Begitu ia sampai di sana, batu itu jatuh berguling kembali ke bawah, dan ia harus kembali mengangkatnya. Tanpa akhir. Tapi ia bertahan, dan dengan itu dewa dan batu ia nafikan. Alam semesta tanpa Tuan. Pergulatannya menjadi sesuatu yang memenuhi dirinya. "Orang harus membayangkan Sisiphus berbahagia." Jika harapan adalah sesuatu yang relevan, mungkin itu terjadi ketika, "byar", kita tahu: kita toh bisa melawan yang paling menindas, yaitu Nasib. Kita bisa menertawakan Pak Kikuk yang menguntit kita. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

18 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

23 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

23 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

48 hari lalu

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

49 hari lalu

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

55 hari lalu

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.


Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

12 November 2023

Budayawan Goenawan Mohamad hadiri pembukaan pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, 17 Mei 2023. Pameran yang menampilkan kumpulan foto arsip, seni instalasi dan grafis tersebut digelar dalam rangka merefleksikan seperempat abad gerakan reformasi di Indonesia, pameran berlangsung hingga 17 Juni mendatang. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

Goenawan Mohamad menyebut pilpres mendatang berlangsung dalam situasi mencemaskan karena aturan bersama mulai dibongkar-bongkar.