Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Karnaval

Oleh

image-gnews
Iklan

Ada negeri yang berubah dari karnaval jadi pentas, dan ada yang dari pentas jadi karnaval. Saya cemas untuk hidup di salah satu di antaranya.

Karnaval kini telah jadi sebuah konsep, yang tiap kali diucapkan akan menyebabkan kita menengok ke gambaran yang disajikan Mikhail Bakhtin. Pemikir dan teoretikus kebudayaan dari Rusia ini selalu membersitkan antusiasme jika ia berbicara tentang hal yang jadi pokok tesisnya ini.

"Karnaval," tulis Bakhtin, "tak mengenal lampu sorot." Dengan kata lain, ia tak membedakan mana yang aktor dan mana yang penonton. Ia bukan pentas. Ia bukan pertunjukan. Sebab dalam karnaval, tiap orang ikut serta. Karnaval merangkum semuanya. Selama ia berlangsung, tak ada kehidupan di luarnya. "Selama masa karnaval, hidup tunduk kepada hukum karnaval itu," kata Bakhtin, dan itu adalah "dalil kemerdekaannya sendiri." Ada semangat "universal", yang berlaku untuk siapa saja, di mana berlangsung "kehidupan kembali dan pembaruan kembali dunia, yang diikuti semua."

Sangat memikat, kedengarannya—juga bila imajinasi tentang karnaval diterapkan ke dunia politik. Di sana kita bisa menemukan yang mirip dengan "rame-rame patah cengke", sebuah ekspresi yang bagus yang diambil dari sebuah nyanyian Maluku yang telah agak dilupakan.

Tapi lebih dari sekadar "rame-rame", ada sesuatu yang lebih berarti dalam karnaval sebagai paradigma: dalam proses itu, yang lumer bukan saja batas yang biasa memisahkan pentas dari penonton, tapi juga batas yang final tentang apa pun. Pangkat, privilese, norma, larangan, semua diabaikan. Karnaval "tak bersahabat dengan semua yang dikekalkan dan dilengkapkan," kata Bakhtin.

Dengan itu bisa kita bayangkan euforia penuh dari rakyat, para demos yang berkeringat, dengan bau yang beragam dan gerak seenaknya berjingkrakan. Sama rata, sama rasa.

Sangat memikat, tapi bisakah kita hidup dalam sebuah negeri yang seperti itu? Tidak, saya akan menjawab. Tidak, hampir semua pemilih dalam Pemilu 2004 akan menjawab. Sebab bagi mereka, demokrasi justru sebuah usaha untuk menemukan yang stabil: sebuah pemerintah yang didukung luas dan yang menjaga hukum.

Tapi memang ada yang kurang bergairah bila kita bayangkan sebuah kehidupan politik yang bagaikan pentas—tentu saja dalam bentuk sebuah panggung di gedung teater gaya baroque di sebuah kota Eropa yang tua. Para aktor menjalankan peran yang sudah ditetapkan. Mereka mengucapkan kata-kata yang sudah ditulis. Kita pun tak bisa berteriak, sebelum layar turun, agar tokoh yang buruk turun saja. Dalam pelbagai bentuknya, kehidupan politik seperti itu pada akhirnya bertumpu pada bentuk, pada prosedur formal—nun di seberang prosenium, tempat lampu sorot menentukan mana yang sedang jadi fokus dan mana yang berdiri di latar belakang.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Bakhtin, yang lulus dari Universitas St. Petersburg pada tahun 1918, memulai kariernya sebagai teoretikus bahasa dan penelaah sastra dalam masa Stalin berkuasa. Dengan kata lain, ketika revolusi yang meletus pada tahun 1917 sudah digantikan elannya oleh sebuah birokrasi yang mantap dan langkah yang berderap dikendalikan Partai. Dalam kontrol itu, di bawah kaca sorot sensor, Bakhtin menulis tesis-tesisnya dengan nama lain. Itu pun tak menyelamatkannya, akhirnya. Pada tahun 1929 ia ditangkap dan dibuang ke wilayah Kazakh.

Dari sini agaknya kita tahu betapa karnaval—dan bukan parade—merupakan model yang dirindukannya. Tapi dari sini bukan hanya ketertiban Stalinis yang dinafikan. Di luar Soviet, terutama justru setelah Bakhtin meninggal pada tahun 1975, datang para pengagum, khususnya mereka yang mempertanyakan kembali pola kehidupan modern, dengan label "pasca-modernis" atau tidak. Hidup di bagian dunia di mana "negara" adalah tauladan kerapian tersendiri, di mana proses demokrasi hanya menghasilkan kompromi yang selalu memilih "jalan-tengah", politik sebagai buah modernitas seakan-akan membenarkan ramalan Max Weber yang termasyhur: sebuah "kandang besi".

Zygmunt Bauman menulis Modernity and Ambivalence dan menunjukkan betapa mengungkungnya kehidupan politik modern. "Perilaku yang menunjukkan ciri modern," tulis Bauman, "substansi politik modern, intelek modern, kehidupan modern, adalah ikhtiar untuk menghabisi ambivalensi: sebuah ikhtiar untuk memberikan definisi yang persis—dan menekan serta menghapus setiap hal yang tak dapat dan tak hendak didefinisikan secara persis. Perilaku modern bukanlah ditujukan untuk menaklukkan tanah asing, tapi mengisi titik-titik kosong dalam compleat mappa mundi.

Siapa yang sering mengikuti kritik kepada modernitas akan menganggap analisis Bauman mulai usang, dan seperti acap kali terjadi di kalangan "pasca-modernis", ia tergoda oleh hiperbol. Dalam arti yang sama, karnaval ala Bakhtin adalah juga sebuah hiperbol. Atau lebih tepat barangkali: sebuah utopia. Seperti layaknya setiap gambaran yang utopistis, perannya adalah sebagai penampikan. Juga, sebagai awal pencarian pilihan-pilihan lain yang baru.

Tapi memang di setiap periode, ada saat-saat di mana diperlukan sebuah karnaval. Politik, sementara tetap berada sebagai pentas, beberapa saat perlu berubah menjadi ketoprak humor—sebuah bentuk baru dari teater yang formal dan tak mengejutkan lagi. Dalam ketoprak humor, yang tampak menggelikan adalah justru mereka yang saat itu begitu bersungguh-sungguh dan tak henti-hentinya ingin "berarti".

Itulah yang terjadi dalam acuan Stalinis. Itu pula yang terjadi dalam acuan "Orde Baru". Maka demokrasi penting: ia bukan sebuah kisah para pahlawan dalam perang yang panjang, yang berlengan besar dan tak bisa menertawakan dunia dan diri sendiri. Mungkin sebab itu karnaval menawarkan ketawa—ketawa yang tak mencemooh orang lain agar bisa merasa diri lebih tinggi.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Demi Konten, Turis di Cina Mempertaruhkan Nyawanya Bergelantungan di Tebing

1 detik lalu

Paiya Mountain, Cina (dpxq.gov.cn)
Demi Konten, Turis di Cina Mempertaruhkan Nyawanya Bergelantungan di Tebing

Warganet menyayangkan sikap turis di Cina tersebut karena tidak hanya membahayakan diri sendiri tetapi juga pihak lain.


Cara Mencegah Wasir Kambuh Saat Mudik dan Arus Balik

13 menit lalu

Ilustrasi pemudik di Stasiun Senen, Jakarta. REUTERS/Darren Whiteside
Cara Mencegah Wasir Kambuh Saat Mudik dan Arus Balik

Ambeien adalah pembengkakan dan peradangan di area pembuluh darah sekitar anus. Berikut tips mencegah wasir kambuh saat mudik lebaran.


Kejati Jambi Periksa Kasus TPPO Berkedok Magang di Jerman, Tunjuk 5 Jaksa Peneliti

31 menit lalu

Universitas Jambi. Dok. ANTARA
Kejati Jambi Periksa Kasus TPPO Berkedok Magang di Jerman, Tunjuk 5 Jaksa Peneliti

Polda Jambi sedang menyelidiki kasus dugaan TPPO ferienjob dengan tiga orang terlapor.


Pecat Philippe Troussier setelah 2 Kali Dikalahkan Timnas Indonesia, Federasi Sepak Bola Vietnam Bayar Kompensasi Rp 2,8 M

37 menit lalu

Philippe Troussier. vnexpress.net
Pecat Philippe Troussier setelah 2 Kali Dikalahkan Timnas Indonesia, Federasi Sepak Bola Vietnam Bayar Kompensasi Rp 2,8 M

Federasi sepak bola Vietnam (VFF) harus membayar kompensasi karena memecat Philippe Troussier dari posisi pelatih Timnas Vietnam.


Diam-diam, Ganjar Pranowo Sudah Resmi Jadi Warga Sleman, Yogyakarta

40 menit lalu

Ganjar Pranowo dan Atikoh berjalan kaki menuju masjid untuk salat isya dan tarawih. Foto: Instagram.
Diam-diam, Ganjar Pranowo Sudah Resmi Jadi Warga Sleman, Yogyakarta

Calon presiden nomor urut 03 Ganjar Pranowo diam-diam sudah menjadi warga Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).


Keamanan dan Kelancaran Jalur Mudik, Begini Pengecekan yang Sudah Dilakukan Kemenhub

43 menit lalu

Pemudik bersiap memasukkan barang bawaannya kedalam bagasi bus di Terminal Penumpang Tipe A Baranangsiang, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu 27 Maret 2024. Sebagian warga memilih untuk mudik lebih awal untuk menghindari kemacetan dan lonjakan penumpang serta tingginya harga tiket saat puncak arus mudik Lebaran 2024. ANTARA FOTO/Arif Firmansyah
Keamanan dan Kelancaran Jalur Mudik, Begini Pengecekan yang Sudah Dilakukan Kemenhub

Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menyebut telah melakukan pengecekan jalur mudik darat, laut, dan udara menjelang lebaran tahun ini.


Respons Tim Hukum Prabowo-Gibran atas Panen Gugatan Pemilu 2024

43 menit lalu

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy'ari berbincang dengan Komisioner KPU Mochammad Afifuddin saat menghadiri Pemeriksaan Persidangan Penyampaian Jawaban Termohon, Keterangan Pihak Terkait, dan Keterangan Bawaslu pada sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. Mahkamah Konstitusi memberi kesempatan kepada KPU sebagai termohon. TEMPO/Subekti.
Respons Tim Hukum Prabowo-Gibran atas Panen Gugatan Pemilu 2024

Bagaimana respons para pengacara THN Prabowo-Gibran saat kubunya sedang dibanjiri gugatan pasca-Pemilu 2024


Vladimir Putin Tak Ingin Serang Negara Anggota NATO

43 menit lalu

Presiden Rusia Vladimir Putin.  Sputnik/Gavriil Grigorov/Pool via REUTERS
Vladimir Putin Tak Ingin Serang Negara Anggota NATO

Vladimir Putin memastikan Rusia tidak punya rencana apapun pada negara anggota NATO dan tidak akan menyerang.


Deretan Manfaat Minyak Atsiri, Bisa Meningkatkan Kualitas Tidur hingga Mengurangi Stres

43 menit lalu

Minyak Atsiri
Deretan Manfaat Minyak Atsiri, Bisa Meningkatkan Kualitas Tidur hingga Mengurangi Stres

Minyak atsiri atau minyak esensial merupakan senyawa yang diekstrak dari bagian tumbuhan dan diperoleh melalui proses penyulingan.


Disebut Biarkan Kucing Tak Makan Berhari-hari, Niko Al Hakim: Demi Allah, Enggak Terima

1 jam lalu

Niko Al Hakim dan kucingnya. Foto: Twitter.
Disebut Biarkan Kucing Tak Makan Berhari-hari, Niko Al Hakim: Demi Allah, Enggak Terima

Alih-alih memahami klarifikasi Niko Al Hakim, netizen menilai mantan suami Rachel Vennya itu justru playing victim kala disebut menelantarkan kucing.