Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Giosue

Oleh

image-gnews
Iklan
Di kota Arezzo yang kecil, Giosue tak tahu apa-apa tentang kebencian yang besar. Umurnya baru empat tahun. Ayahnya, seorang pemilik sebuah toko buku sederhana, sangat menyayanginya; ibunya sangat merawatnya. Pada suatu hari di tahun 1939 itu anak itu melihat sebuah tulisan di toko kue kota itu: "Anjing dan Yahudi Dilarang Masuk". Ia bertanya kepada ayahnya kenapa begitu. Si ayah menjawabtentu saja dengan berbohongbahwa tiap orang dapat membuat aturan apa saja yang dimauinya. Misalnya, kata sang ayah, ada toko yang memasang tanda larangan masuk bagi "Kuda dan orang Spanyol". Toko mereka sendiri bisa saja bikin aturan melarang masuk, misalnya, "Laba-laba dan orang Visigoth". Giosue percaya. Tetapi sampai sejauh mana ketidakadilan dan kekejaman, sebagai kenyataan hidup, harus ditutup dari mata seorang anak? Sejauh mana cinta mengizinkan kita berdusta, dan bohong bisa bersifat protektif? Film La Vita e Bella ("Hidup itu Indah") memberi jawaban yang ekstrem: sampai sejauh jauhnya. Bahkan di ambang liang kubur orang banyak. Guido, sang ayah, seorang keturunan Yahudi. Seluruh keluarganya, juga Giosue kecil, akhirnya ditangkap. Penguasa Fasis Italia yang bekerja sama dengan Nazi Jerman mengangkut mereka ke kamp konsentrasi. Ibunya, Dora, seorang Kristen, tidak masuk dalam daftar yang harus dibasmi. Perempuan ini toh memutuskan untuk ikutmeskipun sebenarnya agak sia-sia: sejak di kereta api yang mengangkut orang-orang Yahudi itu ia terpisah dari suami dan anaknya. Ribuan orang berhimpitan. Tapi sejak awal sampai akhir, Guido memutuskan untuk tidak memberi tahu Giosue bahwa mereka sedang berada di ambang pembantaian. Guido dan Giosue kecil dimasukkan ke sebuah bedeng bersama sekitar 30 orang tahanan lain. Si bapak sangat cepat menemukan akal. Ketika datang seorang opsir Nazi yang dengan paras ganas memberi pengumuman, dalam bahasa Jerman, tentang aturan hidup dalam kamp, Guido menawarkan diri sebagai interpreter. Ia pun menerjemahkan, ke dalam bahasa Italia, keras-keras, sesuatu yang tak ada dalam pengumuman resmi: bahwa yang sedang dilangsungkan di kamp itu adalah sebuah pertandingan. Bahwa tiap orang harus mengumpulkan nilai sebanyak-banyaknya. Bahwa nilai itu akan hilang karena tiga alasan: "Pertama: bila si peserta menangis. Kedua: bila si peserta ingin ketemu ibunya. Ketiga: bila si peserta lapar dan minta kue-kue". Opsir Jerman itu tidak tahu bahwa Guido tidak menerjemahkan satu kata pun dari mulutnya. Tapi yang penting Giosue tidak menangis. Ia percaya kepada ayahnya bahwa di akhir pertandingan itu si pemenang akan mendapatkan sebuah tank, dan ia sangat mengharapkan itu. Maka di tempat tidur ia hanya berbisik-bisik menanyakan di mana mamanya dan mengeluhkan rasa laparnya. Ia melihat ayahnya dan orang-orang di kamp itu hidup dalam kerja paksa yang mengerikan; ia tahu bahwa kakeknyayang tua dan sebab itu dibunuh di kamar gassudah tak pernah kelihatan lagi. Tapi Giosue kecil terlindung dari kenyataan yang sebenarnya. Ia diproteksi, dan ia selamat, sampai akhinya kamp itu dibebaskan pasukan Amerika. Guido, si ayah, ditembak mati di malam terakhir. Tetapi Giosue tak tahu. Yang ia tahu hanya bahwa beberapa tank datang, dan oleh prajurit pendatang yang ramah itu ia diizinkan naik. Yang buas, yang penuh kebencian, berlangsung, tetapi Giosue tetap tak luka tubuh dan luka jiwa. Kita pun lega dan senang. Bahkan selama menonton kita bisa tertawa terkekeh-kekeh. Roberto Benigni (ia menyutradarai dan juga memainkan Guido) memang sedang mencoba sebuah film komedi yang orisinal: mencari yang lucu di latar kekuasaan yang menghancurkan manusia. Ia berhasil, meskipun karyanya bukan sesuatu yang luar biasa. Benigni tidak seperti Chaplin atau Keaton. Kedua komedian ini, sebagai badut dengan gerak tubuh, menjadi lucu karena tetap tampak santai dalam keadaan yang jumpalitan. Benigni tidak santai. Ia jumpalitan. Tapi La Vita e Bella mau tak mau menggugah. Mungkin karena kita hidup di akhir abad ke-20 dengan sejumlah pertanyaan yang tetap merundung sebelum dan sesudah kita meninggalkan gedung bioskop: di dunia yang mempunyai jutaan Giosue, benarkah hidup, juga keindahan dan kekejamannya, pada akhirnya adalah persoalan bagaimana ia diterjemahkan kepada kita? Benarkah teks yang diterjemahkan itu, kalaupun ada, memang sesuatu yang harus diikuti? Jangan-jangan "kenyataan-sebagaimana-adanya" tak bisa kita dapat. Jangan-jangan hidup yang "indah" atau "kejam" itu hanya masalah tafsir dan negosiasi. Proses dan hasilnya terjadi berkat kekuasaan dan kekuatan yang berlaku dan saling bertemu. Guido bisa menghadirkan di dalam mata anaknya sebuah hidup yang seru, dan anaknya berbahagia. Tapi bukankah kita tetap mengatakan bahwa Guido tahu dan kita tahu ia berbohong: kamp konsentrasi itu bukanlah tempat di mana la vita e bella? Menyadari bahwa Guido telah berbohong berarti menyadari ada yang benar. Beberapa ribu kilometer dari tempat kita membaca filsafat Foucault atau Derrida, membahas tentang das Ding an sich yang tak ada, kita memang menemukan Sambas atau Ruwanda, Kosovo atau Aceh. Realitas mengeluarkan darah dari jangat yang kesakitan, kenyataan adalah payudara yang dipotong bayonet dan nadi leher yang ditebas. Tapi bukannya tanpa persoalan. Di akhir abad ke-20, realitas bertimbunan dengan realitas yang lain, yang dibawakan oleh media, terkadang lebih tajam di penglihatan. Di depan layar film dan televisi kita tahu pembasmian itu terjadi. Kita tahu ada yang benar di sana, tapi tak putus-putusnya kita pun bertanya seberapa jauh ia benar dan apakah artinya bagi kita. Kita melihat kamp konsentrasi dalam La Vita e Bella dan kita tertawa, meskipun Guido semestinya takut dan kesakitan. Kita melihat kepala yang dipancung di Sambas di layar televisi dan kita bingung: kita tak akan ketawa tapi haruskah kita mengetahui detail itu, horor itu? Terkadang kita ingin ada seorang Guido yang sebaiknya mengelabui kita. Tapi benar perlukah kita akan sebuah dusta yang bisa membuat kita tak putus harap? Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

4 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

45 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

50 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

50 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.