KEMENANGAN pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla dalam pemilihan presiden 2014 seharusnya diterima dengan legowo. Kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa tak perlu mengambil sikap yang membuat panggung pemilihan semakin heboh ripuh.
Kemenangan Jokowi-Kalla ini memang belum resmi. Angka tersebut baru terlihat dari hasil hitung cepat atawa quick count berbagai lembaga riset. Namun, seperti pada pemilu legislatif yang lalu, angka perolehan hitung cepat biasanya tak berbeda jauh dengan hasil resmi dari Komisi Pemilihan Umum. Dalam pemilihan kali ini, sejumlah lembaga survei tepercaya, seperti Indikator Politik Indonesia, Saiful Mujani Research & Consulting, dan Lingkaran Survei Indonesia, menempatkan pasangan Jokowi-Kalla sebagai pemenang pemilihan presiden. Mereka meraup sekitar 53 persen suara. Adapun Prabowo-Hatta meraih 47 persen suara.
Patut disayangkan, kubu Prabowo-Hatta kemudian tak menerima hasil hitung cepat di sekitar 2.000-an tempat pemungutan suara yang menjadi sampel survei tersebut. Alih-alih memberikan ucapan selamat kepada pemenang, mereka malah mengklaim menjadi pemenang pemilihan. Quick count itu dilawan dengan quick count tandingan. Bahkan Prabowo-Hatta juga mengumumkan "kemenangan" itu lewat stasiun televisi yang selama ini mendukung mereka.
Situasi ini menuntut sikap kenegarawanan Prabowo dan Hatta. Bukankah pada masa kampanye lalu mereka pernah menyatakan "siap untuk kalah"? Mengapa saat pemilu legislatif mereka bisa menerima hasil hitung cepat dari lembaga-lembaga yang kredibel, sedangkan sekarang tidak?
Belum pernah pemilihan presiden sebegitu riuh seperti sekarang dan membuat masyarakat terbelah. Sikap ngotot tak menerima kekalahan hanya akan membuat gejolak politik semakin panas. Prabowo tentu tak mau dicibir sebagai pemimpin yang tak memiliki sikap kenegarawanan, tidak seperti kandidat-kandidat presiden sebelumnya. Dalam pemilihan presiden 2009, Jusuf Kalla, yang kalah bersaing, tak memerlukan waktu lama untuk memberikan ucapan selamat kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Hal itu pula yang dilakukan George W. Bush, yang mengucapkan selamat kepada Barack Obama dalam pemilihan presiden Amerika Serikat.
Prabowo berkukuh kubunya belum kalah lantaran berpatokan pada hitung cepat yang digelar Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis). Padahal hasil hitung cepat lembaga ini kerap meleset. Beberapa hasil survei Puskaptis yang meleset di antaranya adalah dalam pemilihan Gubernur Sumatera Selatan, yang mengunggulkan Syahrial Oesman-Helmi Yahya, dan ternyata pemenangnya adalah Alex Noerdin-Eddy Yusuf. Hal serupa terjadi dalam pemilihan Gubernur Jawa Barat. Puskaptis menjagokan Agum Gumelar, tapi pemenangnya adalah Ahmad Heryawan. Dalam pemilu legislatif 2009, prediksi Puskaptis juga melenceng. Mereka meramal pemenang pemilu adalah PDI Perjuangan, ternyata yang menang adalah Partai Demokrat.
Di sinilah dituntut sikap kenegarawanan kandidat presiden dan wakil presiden. Selama berkampanye, mereka saling menonjolkan diri dan mencoba mengecilkan lawan. Tim sukses pun saling sikut mengungkap borok lawan hingga ke ranah media sosial, seperti Facebook, Twitter, YouTube, dan Path.
Kini, setelah pemilihan usai, pasangan Jokowi-Kalla dan Prabowo-Hatta harus duduk bersama mengakui keunggulan lawan dengan ikhlas. Yang menang merangkul yang kalah. Yang kalah pun ikhlas mendukung yang menang. Bukankah, saat maju sebagai calon presiden dan wakil presiden, mereka memiliki satu tujuan: sama-sama ingin membuat negeri ini maju dan sejahtera?