Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Proklamasi

Oleh

image-gnews
Iklan

Pada suatu malam di bulan Januari 1976, di Irlandia Utara, sebuah minibus disetop seregu orang bertopeng dan bersenjata. Para penumpangnya, buruh yang baru pulang dari pabrik, tahu bahwa sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Di negeri itu berlangsung saling bunuh antara milisi Katolik dan milisi Protestan, dan pembantaian pun akhirnya menghantam siapa saja—juga rombongan buruh itu.

Mereka dipaksa turun dari minibus. Di tepi jalan, satu demi satu mereka dideretkan berdiri berjajar. Para algojo sudah siap, senapan otomatis telah dikokang.

Salah seorang dari orang bertopeng itu pun berkata, "Siapa yang Katolik, maju ke depan."

Kebetulan para buruh itu semuanya Protestan, kecuali satu orang. Dengan ketakutan, orang ini mengikuti perintah. Tapi di malam gelap itu, sejenak, selintas, rekannya yang berdiri di sebelahnya memegang tangannya, seperti memberinya isyarat agar jangan, jangan ia menunjukkan diri, seakan-akan ia berkata, "Kami semua tak akan mengkhianatimu, tak akan ada yang tahu apa agamamu."

Tapi orang itu sudah telanjur melangkah. Semua sudah melihat. Langkah kecil itu, apa boleh buat, sudah sebuah proklamasi. Ia pun maju menjemput Maut.

Tembakan terdengar. Tapi ia terkejut. Tak ada peluru yang mengenainya. Ternyata yang jadi sasaran pembantaian adalah mereka yang di sana, yang tak melangkah ke depan, yang bukan Katolik, termasuk rekan yang tadi mencoba memberinya isyarat, "jangan, jangan kamu menunjukkan diri". Peluru menghajar, tubuh-tubuh itu roboh, tewas. Pembunuh bertopeng itu ternyata bukan milisi Protestan. Mereka gerilyawan Katolik.

Insiden ini, yang benar-benar terjadi, dikisahkan oleh Seamus Heaney, dalam pidatonya ketika sastrawan Irlandia itu menerima Hadiah Nobel pada tahun 1995. Agaknya Heaney hendak bertanya bagaimana ia, seorang penyair pada zaman ini, berhadapan dengan sejarah, yang bagi Heaney sama dengan "rumah jagal".

Tapi apa yang bisa dilakukan seorang penyair? Jawabannya pasti berhubungan dengan kata—predikat, penanda, identifikasi. Dari pembantaian di musim dingin itu kita bisa bertanya, kenapa gerangan orang perlu memilih definisi diri.

Katakanlah orang dalam cerita ini bernama Samuel. Seandainya saat tak begitu genting, mungkin ia akan sejenak berpikir, apa sebenarnya arti proklamasi langkah kecil itu: apa arti predikat "Katolik" itu bagi dirinya? Imannya yang kadang-kadang tak jelas? Keterpautannya dengan satu kaum semata-mata karena ia dilahirkan di kancah kaum itu? Ataukah "Katolik" di situ hanya tanda seleksi, dan dengan demikian artinya "bukan Protestan", karena peluru menghendaki sasaran yang persis? Ataukah itu berarti Samuel seseorang yang serta-merta "tak bersalah"?

Tak seorang pun bisa tahu mengapa manusia tak pernah bisa bebas dari impuls untuk meringkas arti yang berbeda-beda itu jadi sebuah identitas yang satu dan kompak. Sebuah cerita misterius dalam Perjanjian Lama berkisah tentang dua sosok yang berkelahi habis-habisan sepanjang malam. Tak ada yang menang. Adegan pun berakhir dengan memberikan nama. "Kaulah Israel," kata yang satu kepada yang lain, lawannya. Seakan-akan, dengan memberikan nama, sebuah titik final dicapai, dan satu tahap baru mulai. Nama memang bisa menghentikan ketidakpastian dan kekaburan yang merundung terus-menerus. Seperti halnya KTP dan SIM, tanda resmi pencegah kekaburan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi setelah kekaburan hilang, belum tentu ada perdamaian. Sebuah kata memang lahir dari kebersamaan: ketika para pembunuh itu memakai kata "Katolik", mereka berasumsi bahwa yang dimaksudkan dengan predikat itu (dari kata praedicare, "menyatakan secara publik") sama artinya bagi orang ramai, termasuk para buruh yang dideretkan di tepi jalan itu. Di ambang pintu kebengisan sekalipun, tiap kata tetap mengundang kepercayaan bahwa ada makna yang bisa didukung bersama-sama.

Tapi kita tak mungkin lupa, ia juga mengandung kekerasan. Ada sebuah sajak Heaney yang dua barisnya mengingatkan hal itu:

Between my finger and my thumb
The squat pen rests; snug as a gun.

Pena yang pendek kekar itu bersandar santai antara telunjuk dan jempol, seperti pistol….

Ya, kata tak hanya dituliskan rupanya, tapi juga bisa ditembakkan. Tentu saja harus diingat bahwa sebuah pistol bisa membunuh tapi juga bisa memberikan aba-aba untuk berlomba. Kata dan makna seakan-akan berkaitan dengan luka dan lari. Sebuah kata yang memasangkan identitas adalah ibarat sebuah jerat. Ketika seseorang disebut atau menyebut diri "Katolik", atau "Muslim", atau "Yahudi", ia masuk ke dalam sebuah kategori. Ia seperti macan terperangkap. Mungkin ia masih bisa melepaskan diri. Tapi tiap predikat selalu punya bekas luka, meskipun ia terus berlari sampai hilang pedih perih. Di tepi jalan di Irlandia Utara itu, Samuel bergerak dari mati ke hidup. Ia selamat, tapi ia meninggalkan teman-temannya yang dibantai.

Tentu bisa dikatakan bahwa kata dipakai dengan hasrat untuk bicara "benar". Hari itu Samuel memang tak jadi bunglon untuk melindungi diri. Ia memilih jadi "benar": apa yang dikatakan tentang dirinya cocok dengan dirinya.

Tapi bagaimana menguji kecocokan jika "diri" itu hanya bisa dihadirkan dalam bahasa? Bahasa selalu berlebihan tapi juga terlalu sedikit "menangkap" pengalaman yang terus-menerus mengalir, berubah, ruwet, silih berganti. Meskipun demikian, bahasa tak lantas dibuang, sebab dengan itu—dengan nama, predikat, identitas—manusia bisa merapikan pengalaman, dan tak kalang-kabut.

Bisa kita bayangkan ketika kata "Katolik" terdengar pada malam yang dingin itu: seperti vonis. Tiap vonis menghentikan proses, memberi batas, tertutup seperti tembok. Pada saat yang sama, juga sebuah pemisah. "Siapa yang Katolik, maju ke depan!"—dan dengan memaklumkan identitas, Samuel pun tak bersama lagi dengan rekan-rekannya, yang ingin melindunginya dan tak dapat dilindunginya.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Pola Makan yang Perlu Diperhatikan Pasien Parkinson

34 menit lalu

Ilustrasi makanan sehat. (Canva)
Pola Makan yang Perlu Diperhatikan Pasien Parkinson

Sejumlah hal perlu diperhatikan dalam pola makan penderita Parkinson, seperti pembuatan rencana makan. Berikut yang perlu dilakukan.


5 Tips Padu Padan Pakaian dengan Sepatu Kets

2 jam lalu

Padu Padan Pakaian dengan Sepatu Kets/Pexels-Antara
5 Tips Padu Padan Pakaian dengan Sepatu Kets

Ini beberapa tips fashion yang bisa dikombinasikan dengan sepatu kets yang membuat Anda terlihat berbeda.


Hati-hati, Asap Rokok Tingkatkan Risiko Kanker Paru hingga 20 Kali Lipat

3 jam lalu

ILustrasi larangan merokok. REUTERS/Eric Gaillard
Hati-hati, Asap Rokok Tingkatkan Risiko Kanker Paru hingga 20 Kali Lipat

Hati-hati, asap rokok dapat meningkatkan 20 kali risiko utama kanker paru, baik pada perokok aktif maupun pasif. Simak saran pakar.


Bos Apple Tim Cook Kunjungi Apple Developer Academy Binus di Tangerang

4 jam lalu

CEO Apple, Tim Cook (kiri) melambaikan tangan setibanya di  Apple Developer Academy di Green Office Park, BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu 17 April 2024. Kunjungan tersebut dalam rangka rencana Apple membuat pengembangan (offset) tingkat komponen dalam negeri atau TKDN untuk produk-produk buatan Apple. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
Bos Apple Tim Cook Kunjungi Apple Developer Academy Binus di Tangerang

CEO Apple Tim Cook kunjungi Apple Developer Academy Binus di BSD City, Tangerang. Sudah memiliki 1.500 lulusan.


Erick Thohir Buka Peluang Naturalisasi Emil Audero, tapi Tak Ingin Memaksa

4 jam lalu

Ketua Umum PSSI Erick Thohir dan penjaga gawang Inter Milan Emil Audero. Sumber Instagram @erickthohir.
Erick Thohir Buka Peluang Naturalisasi Emil Audero, tapi Tak Ingin Memaksa

Erick Thohir memberi sinyal positif soal rencana naturalisasi penjaga gawang keturunan Indonesia, Emil Audero Mulyadi.


ITB Gelar Bursa Kerja, Diikuti Perusahaan dari Dalam dan Luar Negeri

5 jam lalu

Kampus ITB Jatinangor. Dokumentasi: ITB.
ITB Gelar Bursa Kerja, Diikuti Perusahaan dari Dalam dan Luar Negeri

Institut Teknologi Bandung (ITB) menggelar bursa kerja selama dua hari 19-20 April 2024 di gedung Sasana Budaya Ganesha.


Ini Prediksi Setlist Konser TVXQ 20&2 di Jakarta, Siap-siap Nyanyi Bareng!

5 jam lalu

Grup idola K-pop TVXQ yang beranggotakan Yunho dan Changmin.  Foto: Instagram/@tvxq.official
Ini Prediksi Setlist Konser TVXQ 20&2 di Jakarta, Siap-siap Nyanyi Bareng!

Prediksi setlist konser TVXQ 20&2 di Jakarta, Sabtu, 20 April 2024 di ICE BSD.


Film Dokumenter Celine Dion akan Tayang di Prime Video

6 jam lalu

Celine Dion menghadiri Grammy Awards 2024 di Los Angeles, California, 4 Februari 2024. Foto: Instagram/@recordingacademy
Film Dokumenter Celine Dion akan Tayang di Prime Video

Film dokumenter I Am: Celine Dion akan tayang di Prime Video pada 25 Juni 2024


Jawab Protes Warga Soal Penutupan Jalan Serpong-Parung, BRIN Akan Sediakan Sentra UMKM di Jalan Lingkar

6 jam lalu

Ratusan warga Kabupaten Bogor dan Kota Tangerang Selatan menutup akses menuju kantor BRIN, Kamis 18 April 2024. TEMPO/Muhammad Iqbal
Jawab Protes Warga Soal Penutupan Jalan Serpong-Parung, BRIN Akan Sediakan Sentra UMKM di Jalan Lingkar

Warga Bogor dan Tangsel memprotes rencana BRIN menutup jalan yang selama ini berada di kawasan lembaga riset itu.


Ingin Jadi Pusat Seni dan Budaya, Hong Kong Dirikan Museum Sastra

6 jam lalu

Wan Chai, Hong Kong. Unsplash.com/Letian Zhang
Ingin Jadi Pusat Seni dan Budaya, Hong Kong Dirikan Museum Sastra

Museum Sasta Hong Kong akan dibuka pada Juni