Iklan
Jasad Lenin terbaring di bawah cahaya. Wajahnya tampak lebih pucat dari yang biasa kita lihat dalam poster Revolusi Oktober. Mungkin karena sinar lampu itu jadi terlampau terang dan seluruhnya membentuk sebuah kontras: jenazah itu didandani jas yang hitam dan dibaringkan di tengah-tengah kegelapan musoleum itu, sebuah bangunan yang praktis tanpa ornamen, seperti sebuah hangar yang salah tempat, di tepi Lapangan Merah. Tak ada piramid, tak ada Fiir'aun, meskipun Lenin juga dibalsam dalam sebuah ritus keagungan. Berbeda dengan mumi Mesir, di ruang hening itu Lenin terbujur tanpa takhayul, tanpa benda-benda kebesaran yang akan dibawa ke alam baka—bahkan tanpa ide alam baka itu sendiri—dan mungkin sebab itu juga tanpa aura setengah-dewa. Prajurit penjaga tak akan mengizinkan kita berlama-lama tegak memandangi jasad pendiri Uni Soviet itu (terutama jika banyak orang antre), tetapi Lenin pasca-aura yang hanya bisa ditatap satu menit ini mengingatkan saya akan patung lilin di Museum Madame Tussaud: sebuah pameran yang menarik, tetapi tak membuat kita tergetar dan khidmat. Pada akhirnya kita tahu ini hanya sebuah reproduksi; dengan keterampilan dan peralatan, Lenin disemayamkan kembali untuk dihadap ribuan penziarah. Mumi atau patung lilin—kehadiran Lenin yang direproduksi itu akhirnya adalah sebuah pesan yang paradoksal. Di satu sisi sebuah mitos dikibarkan tapi sekaligus mitos diperlakukan sebagai sesuatu yang ganjil. Tubuh yang dibalsam itu hendak menegaskan keabadian, tapi kekuasaan yang meletakkan tubuh itu di sana adalah kekuasaan yang justru tak punya ide bagaimana layaknya keabadian. Itulah sebabnya Lenin di ruang gelap itu nampak seperti patung lilin, dan seluruh pemujaan yang hendak dibangun di sana berakhir—atau bisa berakhir—dengan menggelikan. Marxisme memandang manusia—bukan dewa, bukan Tuhan—sebagai akar segalanya. Marxisme adalah sebuah humanisme. Tetapi Lenin di musoleum itu memperlihatkan bagaimana humanisme itu mengandung pertanyaan yang belum terjawab: ketika manusia membuat sejarah, dia bukan dewa. Di sini mitos terasa haram. Tapi benarkah manusia, yang mampu menaklukkan alam dan melawan nasib, sebenarnya sebuah wujud yang bisa dianggap menggantikan dewa? Dan sebab itu mitos baru pun layak dikibarkan? Lenin pun bukan dewa, tapi apa salahnya bila ia dihadirkan seakan kekal: ia mendirikan Uni Soviet yang kemudian jadi negeri pertama yang mengirimkan manusia ke angkasa luar. Bahkan proyek mendirikan sosialisme itu sendiri meletakkan manusia—di sini diwakili oleh Partai Komunis—dalam keunggulan yang menakjubkan. Sebab yang dilakukan Lenin di tahun 1917 adalah pemaksaan terhadap nasib: ia memulai sebuah revolusi kelas buruh di sebuah negeri yang belum cukup mengenal kapitalisme dan sebab itu sebenarnya belum sampai di ambang lahirnya sosialisme. "Karena sejarah tak membawa bantuan yang diharapkan oleh Revolusi 1917," kata Merleau-Ponty dalam Humanisme et Terreur, yang ditulisnya di tahun 1947 untuk mengecam kaum antikomunis di awal Perang Dingin, "maka perlulah untuk memaksa dan melakukan kekerasan terhadap jalannya sejarah." Dengan kata lain, sebuah kisah tekad besar manusia. Tak mengherankan bila Penyair Ilya Ehrenburg melukiskan pembangunan Uni Soviet ibarat proses yang terlukis dalam Kitab Kejadian, ketika Tuhan menciptakan alam semesta. Nampak bahwa di sini mitos dengan tema keabadian mau tak mau juga dikumandangkan. Tetapi bukan tanpa ongkos. Yang tak diduga dan tak diakui oleh Marxisme-Leninisme sebagai humanisme ialah bahwa proletariat dan "wakil"-nya, Partai Komunis—sebagai pengejawantahan konkret manusia—bisa salah secara dahsyat. Uni Soviet punya prestasi gemilang, tetapi ia juga sebuah negeri di mana semua barang dan jasa diproduksi dan didistribusikan dengan kontrol Negara, dan hidup bergerak antara barisan ideologi, barisan meja birokrasi, dan barisan rakyat antre. Juga terali besi. Sejumlah besar gulag didirikan untuk menyekap mereka yang berpikiran lain. Akhirnya Partai Komunis, yang punya kebenaran mutlak, juga yang melakukan kekeliruan mutlak. Tujuh puluh tahun lebih setelah Lenin mendirikan kekuasaan Bolsyewik di tahun 1917, ekonomi macet total dan revolusi akhirnya gagal. Ketika Tembok Berlin diruntuhkan rakyat Berlin Timur di tahun 1989, tabir dan lambang pemaksaan itu pun habis. Marxisme mendapatkan pukulannya yang terakhir, Lenin makin tampak seperti patung lilin, tapi akhirnya juga humanisme tampak seperti film kartun. Bahkan di negeri macam Prancis, bahkan semenjak dasawarsa setelah Perang Dunia II. Di sana Marxisme punya daya pikat yang besar di kalangan pemikir dan penyair, dan eksistensialisme pernah jadi mode, tapi pemikiran alternatif mulai diterima. Manusia bukan lagi nampak sebagai kehadiran yang utuh. Subyek adalah sebuah kebutuhan tata bahasa, atau konsep pemikiran modern semata-mata. Jika semua ini dibongkar, pengertian "manusia"—yang berlaku untuk kapan saja dan di mana saja—akan runtuh. Strukturalisme kian berkembang jadi antihumanisme yang radikal. Di tahun 1966 Michel Foucault mengumumkan kalimatnya yang kemudian termasyhur: manusia hanyalah penemuan yang belum lama, dan akan musnah seperti wajah yang terlukis di atas pasir. Foucault, tentu saja, berlebih-lebihan. Pada akhirnya antihumanisme ini akan mengalami jalan buntu, terutama ketika kita—seperti di Indonesia kini—dihadapkan dengan soal pembebasan dan keadilan. Menjadi atau bertemu dengan yang disiksa, yang dibunuh, yang menuntut hak dan mengharapkan hukum yang adil, kita bukan saja harus berpegang kepada standar kemanusiaan yang berlaku umum, tapi kita masuk ke dalam keterlibatan politik. Manusia hadir kembali, mau tak mau. Meskipun pertanyaannya: dengan jalan pembebasan yang mana, dengan asas keadilan yang bagaimana, dan segagah perkasa apa? Sampai hari ini, jawabnya belum selesai tersedia. Atau mungkin tak akan pernah tersedia. Tak ada Messiah piningit, dan kalaupun ada, siapa pun tahu ia di seberang sana dan tak akan datang. Jikapun kita mencangkul menyiapkan jalannya, tiap kali cangkul membuka tanah, datang jawaban tersendiri. Setelah itu: sebuah proses baru kembali. Dan keabadian? Di musoleumnya, Lenin kini seakan-akan hanya sebuah parodi. Goenawan Mohamad