Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Mukjizat

Oleh

image-gnews
Iklan
Haruskah kita selalu menyalahkan harapan? Saya ada dalam arus manusia di jalan-jalan itu. Saya berada dalam sebuah kampanye politik yang tanpa kemarahan, tanpa kebencian, mirip sebuah Mardi Gras yang gembira dan berjela-jela. Di sebuah jalan di Jakarta Tengah, ribuan anggota PAN bersisipan dengan puluhan anggota Partai Republik, jubelan anggota PDI Perjuangan bersisipan dengan Partai Masyumi. Kendaraan bisa bersentuhan, tapi tak ada caci maki. Di sebuah sudut di Matraman, para pemuda kampung yang berbendera PPP menanti di tepi jalan, dan menyiramkan air ke orang-orang PAN dan Partai Keadilan yang naik kendaraan terbuka, tapi kedua pihak saling tertawa. Sebuah bus penuh dengan anggota PDI Perjuangan memberi tempat kepada seorang anggota PRD yang melambai-lambaikan bendera partainya, sendirian. Peserta kampanye partai yang satu tampak saling bertukar stiker dengan partisipan partai yang lain. Selama beberapa hari menjelang Pemilu 1999, dua tiga juta manusia tumpah ke jalan, hiruk pikuk, menabuh apa saja yang brisik, memakai topeng, mengecat wajah, berteriak-teriak seperti suporter tim bola menjelang sebuah pertandingan final. Tapi ada yang berbeda antara mereka dan, misalnya, suporter Persebaya. Di hari itu pendukung sebuah partai yang besar tak mengejek penyokong partai yang kecil, dan partai yang kecil tak gentar bersaing dengan partai yang pawainya lebih gemuruh. Saya lihat mobil berbendera PUDI atau Bulan Bintang yang hanya beberapa biji itu lalu-lalang, dengan semangat yang tak kalah seru. Saya menemukan sesuatu yang amat berarti: di jalanan ini, yang kecil pun punya harga diri, dan sama derajatnya untuk dilihat dan didengar. Ajaib. Justru dalam suasana kompetisi politik yang tinggi dan menentukan, Indonesia berada di satu momen liberte , egalite , fraternite …. Pernah saya kira peradaban mustahil lahir di jalanan Indonesia. Betapa keliru. Arief Budiman, yang mengikuti kampanye PAN dengan naik sepeda motor dan esoknya melebur diri dalam prosesi PDI Perjuangan, mencatat: di sela beratus ribu orang yang bergerak itu, para pedagang asongan berjualan air minum atau lambang partai. Tak ada seorang pembeli pun yang tak segera membayar. Di beberapa perempatan, konvoi bus dan truk yang penuh panji-panji gagah itu dengan tertib berhenti bila lampu merah menyala. Tak ada tiang jalan yang rusak, toko yang pecah kaca etalasenya, pot kembang yang hancur. Bentrokan memang terjadi, secara sporadis, di pelbagai tempat sepekan sebelum hari memilih, tapi jumlah orang yang tewas karena permusuhan dalam Pemilu 1999 hanya sekitar 5 persen dibanding dengan korban tahun 1997—ketika Presiden Soeharto mencoba mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara. Memang ada sejumlah orang yang menyerang parade Golkar di beberapa jalan Jakarta, ada sepeda motor yang dibakar, ada rumah yang dihanguskan di Ujungpandang, tapi kekerasan ini tak sampai memercikkan api onar yang merusak, seperti di sekian banyak peristiwa huru-hara. Peradaban ternyata lahir di jalanan Indonesia. Tapi haruskah kita percaya kepada harapan? Sejak Mei 1998, Indonesia terdiri dari sebuah deretan laporan tentang kekejian. Sejumlah perempuan diperkosa di Jakarta, sejumlah kepala orang Madura dipotong di Kalimantan Barat, beberapa puluh leher ditebas dan perut dirobek di Ambon, beberapa puluh rumah peribadatan dibakar di Jakarta atau Kupang. Kemudian, begitu pemilihan umum yang baru disiapkan, di Jawa Tengah orang PKB berhantam dengan orang PPP, di Bali orang PDI bentrok dengan orang Golkar. Suasana tegang, mencemaskan. Tiba-tiba, April 1999, sebuah bom meledak di Masjid Istiqlal. "Inilah saatnya Indonesia berakhir," kata seorang bankir asing yang tinggal di Jakarta. Ia menduga bahwa segera setelah perusakan itu akan ada gelombang pembalasan, dan gereja-gereja akan dibumihanguskan, dan di tempat lain, masjid akan dihabisi. Tetapi kekerasan itu tak ada. "Aku bangga jadi orang Indonesia," saya baca sebuah tulisan yang pendek tapi menyentuh di harian Republika. Sang penulis mencatat apa yang disaksikannya sehari-hari di sekitarnya menjelang kampanye mulai. Para tetangganya dengan riang datang mendaftar untuk jadi pemilih. Seorang kenalannya yang keturunan Cina jadi pendukung PKB yang dipimpin para ulama NU. Seorang temannya, seorang perempuan Kristen, jadi aktivis PAN, partai yang dipimpin seorang tokoh Muhammadiyah. Suasana beginilah yang terasa ketika umat Islam arif dan tenang ketika Masjid Istiqlal dirusak. Aku bangga jadi orang Indonesia—dan pada momen seperti yang saya alami di jalanan itu, ucapan itu tak terasa berlebihan. "Sejak itu," kata seorang muda kepada saya, mendengar bahwa tak ada huru-hara terjadi setelah bom meledak di Istiqlal, "saya tahu bahwa Indonesia tidak berakhir. Sejak itu saya tahu harapan mungkin." Bisakah kita menyalahkan harapan? Ada di antara kita yang membaca kisah tentang negeri yang bergolak dan berubah, ada di antara kita yang berpikir dan mendapatkan skenario tentang masa depan. Mereka umumnya akan memperingatkan kita: "Tunggu dulu. Harapan tidak bisa disalahkan, tetapi mukjizat di hari ini adalah nonsens". Mereka ini—yang meninjau sejarah dari luar—tak menghayati apa yang agaknya bisa disebut sebagai "detak Utopia" dalam sebuah aksi politik. Dalam detak itu, segala hal yang indah jadi benar. Mungkin inilah yang dimaksud Alain Badiou ketika ia mengatakan bahwa mukjizat bisa terjadi: dalam sejarah ada yang disebut "kejadian" (l'e ve nement), sesuatu yang kemudian memang bisa dianalisis sebab dan arahnya, tetapi pada saat terjadi, ia seakan-akan datang dari suwung, terutama bila kita mengalaminya dari dalam situasi (laku) itu sendiri. Revolusi Oktober adalah "kejadian" seperti itu. Yang kemudian sering jadi hambar dan mengecewakan ialah bila "kejadian" itu dibentuk sebagai wujud yang langgeng, seperti yang dilakukan Stalin. Para analis kemudian memandangnya sebagai kesia-siaan sebuah mimpi—dan mereka pun menyudahi tiap detak Utopia dari laku kita. Tapi, setelah hari itu, bisakah saya menyalahkan Utopia itu? Rasanya tidak. Tiap "kejadian" membentuk dalam diri kita sebuah subyek, yang tak lagi cair dan netral. Hari itu kita bisa mempraktekkan perbedaan dan persaingan dengan riuh-rendah tapi damai dan peradaban lahir dan yang indah jadi benar. Hari itu mengubah kita. Dan dari sini kita akan berjalan lagi—tahu bahwa dalam mukjizat bukan sesuatu yang hanya dinanti-nanti. Goenawan Mohamad
Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Demi Konten, Turis di Cina Mempertaruhkan Nyawanya Bergelantungan di Tebing

1 detik lalu

Paiya Mountain, Cina (dpxq.gov.cn)
Demi Konten, Turis di Cina Mempertaruhkan Nyawanya Bergelantungan di Tebing

Warganet menyayangkan sikap turis di Cina tersebut karena tidak hanya membahayakan diri sendiri tetapi juga pihak lain.


Perludem: Capaian Keterwakilan Perempuan di DPR Periode 2024-2029 Tertinggi Sepanjang Sejarah

5 menit lalu

Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan melakukan aksi menolak PKPU 10 pasal 8 ayat 2 di kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, Senin, 8 Mei 2023. Dalam aksinya mereka menolak peraturan PKPU nomor 10 tahun 2023 itu dianggap dapat mengancam keterwakilan perempuan dalam berpolitik di masa pemilu yang akan datang, Mereka juga mendesak agar KPU mengembalikannya pada ketentuan pembulatan ke atas sesuai ketentuan sebelumnya. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Perludem: Capaian Keterwakilan Perempuan di DPR Periode 2024-2029 Tertinggi Sepanjang Sejarah

Angka keterwakilan perempuan di parlemen diproyeksikan meningkat di DPR RI pada periode 2024-2029. Anggota legislatif perempuan diperkirakan akan menempati 128 dari 580 kursi yang tersedia di Senayan atau 22,1 persen. Jumlah itu lebih tinggi 1,6 persen dari hasil Pemilu 2019.


Ramadhan Jazz Festival: Menyatukan Nada Harmoni Cinta Negeri dalam Sebuah Konser Amal untuk Palestina

6 menit lalu

Ramadhan Jazz Festival
Ramadhan Jazz Festival: Menyatukan Nada Harmoni Cinta Negeri dalam Sebuah Konser Amal untuk Palestina

Sederet artis papan atas mengisi line up Ramadhan Jazz Festival.


Film dan Drakor yang Dibintangi Jeon So Nee

12 menit lalu

Jeon So Nee dalam serial Parasyte: The Grey. Dok. Netflix
Film dan Drakor yang Dibintangi Jeon So Nee

Parasyte: The Grey akan tayang pada di Netflix, Jumat, 5 April 2024 di Netflix. Jeon So Nee menjadi pemeran utama serial ini


DPR Sahkan RUU DKJ Jadi Undang-undang, Jakarta Bukan Lagi Ibu Kota Negara

13 menit lalu

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menghadiri Rapat Paripurna ke-14 Masa Persidangan IV tahun 2023-2024 di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ) menjadi Undang-Undang (UU) yang terdiri atas 12 bab dan 73 pasal berisi ketentuan soal status Jakarta usai tak lagi menjadi ibu kota. TEMPO/M Taufan Rengganis
DPR Sahkan RUU DKJ Jadi Undang-undang, Jakarta Bukan Lagi Ibu Kota Negara

Mendagri mengatakan RUU DKJ adalah wujud komitmen mengupayakan Jakarta menjadi kota kelas dunia.


Kadin: Potensi Perputaran Uang Selama Libur Lebaran Capai Rp 157,3 Triliun

14 menit lalu

Ilustrasi uang rupiah. Shutterstock
Kadin: Potensi Perputaran Uang Selama Libur Lebaran Capai Rp 157,3 Triliun

Kadin Indonesia memprediksi adanya kenaikan perputaran uang selama libur Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran 2024 dibandingkan tahun lalu.


Fakta Menarik Nuuk Greenland, Salah Satu Kota dengan Durasi Puasa Terlama

16 menit lalu

Nuuk, Greenland (Pixabay)
Fakta Menarik Nuuk Greenland, Salah Satu Kota dengan Durasi Puasa Terlama

Selain jadi salah satu kota memiliki durasi puasa terlama di dunia, Nuuk, Greenland juga menyimpan beberapa fakta menarik. Simak artikel menarik ini.


Hikayat Dunia Distopia di Furiosa: A Mad Max Saga yang Akan Premier di Festival Film Cannes

16 menit lalu

Anya Taylor-Joy. Instagram.com/@greggoryrussellhair
Hikayat Dunia Distopia di Furiosa: A Mad Max Saga yang Akan Premier di Festival Film Cannes

Film terbaru dari George Miller yang berjudul Furiosa: A Mad Max Saga, akan tampil di Festival Film Cannes ke-77 bulan Mei 2024.


Ganjar-Mahfud Siapkan 8 Saksi Ahli di Sidang Sengketa Pilpres di MK

18 menit lalu

Deputi Hukum TPN Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis memberikan kketerangan pers di Media Center TPN Ganjar-Mahfud, Jakarta, Selasa, 30 Januari 2024. Konferensi pers tersebut membahas perkembangan kasus hukum Aiman Witjaksono atas dugaan Polisi tidak netral dalam Pemilu 2024. TEMPO/M Taufan Rengganis
Ganjar-Mahfud Siapkan 8 Saksi Ahli di Sidang Sengketa Pilpres di MK

Tim Hukum Ganjar-Mahfud menyiapkan delapan ahli yang akan dihadirkan sebagai saksi di sidang sengketa, termasuk ahli dalam berbagai bidang seperti tata negara, psikologi politik, dan ekonomi.


Serba-serbi Perayaan Tri Hari Suci Paskah di Gereja Katedral Jakarta Hari Ini

18 menit lalu

Umat Katolik mengikuti misa pertama ibadat Jumat Agung pada perayaan Tri Hari Suci Paskah di Gereja Katedral Jakarta, Jumat (29/3/2024). (ANTARA/Astrid Faidlatul Habibah)
Serba-serbi Perayaan Tri Hari Suci Paskah di Gereja Katedral Jakarta Hari Ini

Gereja Katedral Jakarta mempersiapkan perayaan Tri Hari Suci Paskah dengan dekorasi ruangan yang mengusung adat Betawi dan Dayak.