Beberapa hari yang lalu Satyagraha Hoerip meninggal. Saya datang ke rumahnya, malam itu, ketika seluruh keluarga berdiri dalam lagu doa yang sedih, dan teman-teman duduk-duduk di luar, berdiam atau bercakap berbisik. Tubuh itu dibaringkan: wajahnya gagah. Bukan seperti orang yang telah menderita sakit yang lama, tetapi seorang yang bisa bertahan melalui sebuah sejarah yang tak tenteram.
Di dalam ruangan, saya bertemu seorang kenalan, bekas tahanan politik. Di luar, seorang bekas menteri rezim Soeharto. Di sebelah sini, seorang sejarawan. Agak ke sebelah sana, seorang penyair. Sebuah himpunan duka cita yang jarang kombinasinya, tapi mungkin juga wajar bagi Almarhum. Bagaimanapun, ia seorang penulis yang bisa jadi saksi utama pergulatan intelektuil di Indonesiayang mau tak mau menyangkut banyak hal, dari cerita pendek sampai kekuasaan yang jatuh dan bangun.
Malam itu, kembali ke rumah, saya ambil di rak perpustakaan sebuah buku yang saya pinjam dari Almarhum dan belum saya kembalikan juga sampai ia meninggal. Karya Czeslaw Milosz, penyair Polandia yang mengasingkan diri setelah komunisme menang: sebuah esai panjang yang terkenal dalam versi bahasa Inggrisnya, The Captive Mind. Di halaman pertamanya ada tanda tangannya: "Satyagraha, Tjikini 9/7-1961".
Satyagraha Hoerip dan tahun 1961, seorang penulis di sebuah masa ketika memilih menjadi seorang intelektuil berarti menghadapi dilema yang tak mudah.
Saya coba ingat-ingat kembali masa itu. Saya lupa persis kapan saya bertemu dengan Satyagraha Hoerip, yang selalu memanggil saya "Dik Goen" dan selalu saya panggil, "Mas Oyik". Mungkin di tahun 1960. Tubuhnya yang kurus seperti lasak, kulitnya yang hitam seperti menyimpan sesuatu yang intens. Ia pasti seorang yang tak akan bisa patuh kepada disiplin. Ia seorang yang menyukai kenikmatan hidup tetapi juga orang yang mudah terharu dan tergerak oleh penderitaan.
Saya segera tahu ia anak priayi Jawa Timur, masih berkeluarga jauh dengan Bung Karno dan bangga akan hal itu. Tapi ia seorang pengikut Sjahrir. Ia tampak pas betul untuk menjadi "orang PSI", partai yang terdiri dari kaum intelektuil yang lebih dekat ke alam kecendekiaan Barat, dan pada saat yang sama menyatakan diri memperjuangkan "sosialisme kerakyatan". Di tahun 1961 itu, PSI telah jadi partai yang dimusuhi Bung Karno dan dilarang, dan Sjahrir dipenjarakan sampai meninggal. Ini mungkin yang mendorong Mas Oyik untuk kian menyadari pilihannya yang sulit. Dan ia mencari jawab.
Mas Oyik kagum betul pada novel Ignazio Silone, Roti dan Anggur. Saya kira-kira mengerti kenapa. Silone seorang sosialis Italia. Novelnya bercerita tentang seorang komunis yang punya komitmen besar kepada rakyat tapi kemudian, ketika bekerja di tengah kemiskinan, menjadi kecewa kepada Partai yang begitu
doktriner. Agaknya novel ini satu bagian dari keyakinan Silone akan jalan sosialisme yangseraya mengerahkan perjuangan politiktak hendak mengorbankan kebebasan manusia. Karena dengan kebebasan, bukan saja manusia tetap berharga, tetapi tetap bisa terus mencari dan memperbaiki, ketika dunia ternyata, pada akhirnya, tak bisa sempurna.
Saya lihat kembali goresan tangan itu: "Satyagraha, Tjikini 9/7-1961".
Di tahun itu, sebuah suasana politik baru sudah munculsuasana "demokrasi terpimpin". Indonesia sedang didorong untuk jadi sesuatu yang integral, yang tunggaldan yang waspada kepada apa saja yang mengganggu integralisasi itu. Ada satu doktrin yang harus diterima, ada satu pemimpin, ada satu gerak bersama. Di masa itu segala hal yang mengesankan kekuatan dan keutuhan jadi penting. Kata "massa" demikian menonjol dan kata "intelektuil" dicemooh.
Intelektuil pun jadi makhluk asing. Lebih malang lagi, ia merasa bersalah. Ada satu bagian dari buku Milosz yang menunjukkan coretan tangan Satyagraha Hoerip, dan saya kira bertautan dengan apa yang mengusik hatinya di awal tahun 1960-an itu. "Kita telah sampai ke suatu keadaan," tulis Milosz, "ketika tak cukup ada sistem pemikiran bersama yang dapat menyatukan petani yang memotong gandum, mahasiswa yang menelaah logika formal, dan montir yang bekerja di sebuah pabrik mobil."
Agama, tulis Milosz pula, telah digantikan oleh filsafat yang semakin lama semakin tak dapat dijangkau orang awam. Dan sementara para cendekiawan berbicara tentang filsafat Husserl, petani tetap bergayut kepada Gereja. Musik, seni rupa, dan puisi, semakin asing bagi orang banyak.
Dan sang intelektuil? "Untuk menjadi bagian dari massa, itulah kerinduan besar intelektuil yang 'terasing'," kata Milosz. The Captive Mind pun menggambarkan sejumlah inteligensia Poland yang bergabung dengan Partai yang berkuasapartai yang mengklaim diri sebagai mewakili proletariat (dan sebab itu selamanya benar). Pilihan ini tak seluruhnya gampang. Pada akhirnya di dalam kondisi itudalam suasana politik yang mengharamkan perbedaan (bukankah Partai selamanya benar?)mereka pun tumbuh dalam ketman, cara untuk tidak jujur berbicara, sebuah kelaziman yang sudah merasuk ke perangai seseorang dalam percakapan publik.
Dari coretan tangannya di buku lusuh itu, saya duga Mas Oyik membaca Milosz dengan bersemangat. Pernahkah ia terperangkap oleh ketman? Tidak agaknya. Meskipun, seperti kebanyakan kita, ia tak selamanya bebas dari dilema antara menjadi intelektuil yang "terasing" atau menjadi intelektuil yang "tidak jujur". Tapi mungkin inilah yang menolongnya: ia seorang yang ramah kepada siapa pun tetapi ia tetap tak ingin berkelompok. Mungkin itulah yang saya lihat dalam parasnya di peti mati: sendiri, gagah.
TEMPO, 26 Oktober 1998