Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Oyik

Oleh

image-gnews
Iklan

Beberapa hari yang lalu Satyagraha Hoerip meninggal. Saya datang ke rumahnya, malam itu, ketika seluruh keluarga berdiri dalam lagu doa yang sedih, dan teman-teman duduk-duduk di luar, berdiam atau bercakap berbisik. Tubuh itu dibaringkan: wajahnya gagah. Bukan seperti orang yang telah menderita sakit yang lama, tetapi seorang yang bisa bertahan melalui sebuah sejarah yang tak tenteram.

Di dalam ruangan, saya bertemu seorang kenalan, bekas tahanan politik. Di luar, seorang bekas menteri rezim Soeharto. Di sebelah sini, seorang sejarawan. Agak ke sebelah sana, seorang penyair. Sebuah himpunan duka cita yang jarang kombinasinya, tapi mungkin juga wajar bagi Almarhum. Bagaimanapun, ia seorang penulis yang bisa jadi saksi utama pergulatan intelektuil di Indonesiayang mau tak mau menyangkut banyak hal, dari cerita pendek sampai kekuasaan yang jatuh dan bangun.

Malam itu, kembali ke rumah, saya ambil di rak perpustakaan sebuah buku yang saya pinjam dari Almarhum dan belum saya kembalikan juga sampai ia meninggal. Karya Czeslaw Milosz, penyair Polandia yang mengasingkan diri setelah komunisme menang: sebuah esai panjang yang terkenal dalam versi bahasa Inggrisnya, The Captive Mind. Di halaman pertamanya ada tanda tangannya: "Satyagraha, Tjikini 9/7-1961".

Satyagraha Hoerip dan tahun 1961, seorang penulis di sebuah masa ketika memilih menjadi seorang intelektuil berarti menghadapi dilema yang tak mudah.

Saya coba ingat-ingat kembali masa itu. Saya lupa persis kapan saya bertemu dengan Satyagraha Hoerip, yang selalu memanggil saya "Dik Goen" dan selalu saya panggil, "Mas Oyik". Mungkin di tahun 1960. Tubuhnya yang kurus seperti lasak, kulitnya yang hitam seperti menyimpan sesuatu yang intens. Ia pasti seorang yang tak akan bisa patuh kepada disiplin. Ia seorang yang menyukai kenikmatan hidup tetapi juga orang yang mudah terharu dan tergerak oleh penderitaan.

Saya segera tahu ia anak priayi Jawa Timur, masih berkeluarga jauh dengan Bung Karno dan bangga akan hal itu. Tapi ia seorang pengikut Sjahrir. Ia tampak pas betul untuk menjadi "orang PSI", partai yang terdiri dari kaum intelektuil yang lebih dekat ke alam kecendekiaan Barat, dan pada saat yang sama menyatakan diri memperjuangkan "sosialisme kerakyatan". Di tahun 1961 itu, PSI telah jadi partai yang dimusuhi Bung Karno dan dilarang, dan Sjahrir dipenjarakan sampai meninggal. Ini mungkin yang mendorong Mas Oyik untuk kian menyadari pilihannya yang sulit. Dan ia mencari jawab.

Mas Oyik kagum betul pada novel Ignazio Silone, Roti dan Anggur. Saya kira-kira mengerti kenapa. Silone seorang sosialis Italia. Novelnya bercerita tentang seorang komunis yang punya komitmen besar kepada rakyat tapi kemudian, ketika bekerja di tengah kemiskinan, menjadi kecewa kepada Partai yang begitu

doktriner. Agaknya novel ini satu bagian dari keyakinan Silone akan jalan sosialisme yangseraya mengerahkan perjuangan politiktak hendak mengorbankan kebebasan manusia. Karena dengan kebebasan, bukan saja manusia tetap berharga, tetapi tetap bisa terus mencari dan memperbaiki, ketika dunia ternyata, pada akhirnya, tak bisa sempurna.

Saya lihat kembali goresan tangan itu: "Satyagraha, Tjikini 9/7-1961".

Di tahun itu, sebuah suasana politik baru sudah munculsuasana "demokrasi terpimpin". Indonesia sedang didorong untuk jadi sesuatu yang integral, yang tunggaldan yang waspada kepada apa saja yang mengganggu integralisasi itu. Ada satu doktrin yang harus diterima, ada satu pemimpin, ada satu gerak bersama. Di masa itu segala hal yang mengesankan kekuatan dan keutuhan jadi penting. Kata "massa" demikian menonjol dan kata "intelektuil" dicemooh.

Intelektuil pun jadi makhluk asing. Lebih malang lagi, ia merasa bersalah. Ada satu bagian dari buku Milosz yang menunjukkan coretan tangan Satyagraha Hoerip, dan saya kira bertautan dengan apa yang mengusik hatinya di awal tahun 1960-an itu. "Kita telah sampai ke suatu keadaan," tulis Milosz, "ketika tak cukup ada sistem pemikiran bersama yang dapat menyatukan petani yang memotong gandum, mahasiswa yang menelaah logika formal, dan montir yang bekerja di sebuah pabrik mobil."

Agama, tulis Milosz pula, telah digantikan oleh filsafat yang semakin lama semakin tak dapat dijangkau orang awam. Dan sementara para cendekiawan berbicara tentang filsafat Husserl, petani tetap bergayut kepada Gereja. Musik, seni rupa, dan puisi, semakin asing bagi orang banyak.

Dan sang intelektuil? "Untuk menjadi bagian dari massa, itulah kerinduan besar intelektuil yang 'terasing'," kata Milosz. The Captive Mind pun menggambarkan sejumlah inteligensia Poland yang bergabung dengan Partai yang berkuasapartai yang mengklaim diri sebagai mewakili proletariat (dan sebab itu selamanya benar). Pilihan ini tak seluruhnya gampang. Pada akhirnya di dalam kondisi itudalam suasana politik yang mengharamkan perbedaan (bukankah Partai selamanya benar?)mereka pun tumbuh dalam ketman, cara untuk tidak jujur berbicara, sebuah kelaziman yang sudah merasuk ke perangai seseorang dalam percakapan publik.

Dari coretan tangannya di buku lusuh itu, saya duga Mas Oyik membaca Milosz dengan bersemangat. Pernahkah ia terperangkap oleh ketman? Tidak agaknya. Meskipun, seperti kebanyakan kita, ia tak selamanya bebas dari dilema antara menjadi intelektuil yang "terasing" atau menjadi intelektuil yang "tidak jujur". Tapi mungkin inilah yang menolongnya: ia seorang yang ramah kepada siapa pun tetapi ia tetap tak ingin berkelompok. Mungkin itulah yang saya lihat dalam parasnya di peti mati: sendiri, gagah.

TEMPO, 26 Oktober 1998

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

2 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

43 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

48 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

48 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.