Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

ZAHRA

Oleh

image-gnews
Iklan

SIAPA yang merasa tahu orang lain perlu bertanya, tahukah dia dirinya sendiri. Demikian pula sebaliknya. "Yang lain" bukanlah sesuatu yang mudah. Orang memang cenderung menyederhanakannya sekarang, ketika politik identitas menjadi hingar bingar, ketika perbedaan rasial, kelas, dan kelamin menjadi soal penting ditekankan (dengan keuntungan dan kerugiannya). Tapi bagaimana kita bisa mengatakan bahwa perjuangan atas nama perbedaan itu sama dan sebangun dengan rumitnya perbedaan itu sendiri?

Novel Tahar ben Jelloun, l'Enfant de Sable mungkin perlu dibaca kembali. Ia menyediakan sebuah alegori tentang apa artinya berbeda.

Tokohnya lahir sebagai bayi perempuan. Ayahnya, orang Maroko tua itu, masygul. Ia sudah punya delapan orang anak, tetapi tak seorang pun lelaki. Maka sang ayah mengambil keputusan yang luar biasa: ia ingin menyamarkan jenis kelamin bayi itu untuk selama-lamanya. Di dalam keluarga yang bertopang kepada sang bapak itu, keputusan sang ayah tak dipertanyakan, apalagi digugat. Dan si bayi pun dinamakan Ahmad.

Sebagai anak laki-laki, ia disunat: si ayah pura-pura memotong kulit penis kecil si bayi yang sebenarnya tidak ada dan hanya menusuk ibu jarinya sendiri agar darah keluar. Dengan itu diumumkanlah ke seluruh dunia bahwa seorang anak lelaki lahir dalam keluarga itu. Segera si bapak memasang iklan separuh halaman di sebuah koran nasional: "Kelahirannya akan mendatangkan kesuburan bagi tanah ini dan damai dan kemakmuran ke negeri ini. Hidup Ahmad! Hidup Maroko!".

Benarkah bayi itu mendatangkan damai? Tidak untuk dirinya sendiri. Buah dada anak itu dibedong agar tak tumbuh. Ayahnya membawanya ke tempat mandi laki-laki. Ahmad sendiri akhirnya tak tahu persis apa sebenarnya jenis kelaminnya. Ketika pada suatu pagi ia menemukan setitik warna merah di tempat tidurnya, ia pun tercenung "?darah mengotori sepraiku. Jejak sebuah fakta tentang tubuhku tergulung di kain lena putih." Darah itu datang dari menstruasinya yang pertama, tentu, tetapi Ahmad menyebutnya sebagai "percikan dari sebuah sunat yang terlambat".

Meskipun demikian, ia sebenarnya tak bisa sepenuhnya pasti. Secara intuitif ia tahu, noktah darah itu juga mengindikasikan sesuatu yang lain: "Sebuah pengingat, sebuah gerak wajah dari kenangan yang terbenam, sebuah ingatan tentang hidup yang tak aku kenal dan tak bisa aku miliki".

Ambiguitas itu--antara tanda kelaki-lakian dan tanda keperempuanan-- berlanjut. Makin lama jarak antara tubuhnya yang wanita dan identitas sosialnya sebagai pria makin tidak dapat ditutup dengan pas. Setidaknya dalam dirinya sendiri. Ahmad tak bisa berdamai terus dengan wujudnya yang dibentuk dan dikukuhkan oleh ayahnya. Ia pun meninggalkan rumah dan bergabung dengan sebuah rombongan sirkus yang berjalan dari kota ke kota. Agaknya di situlah tempatnya yang cocok, karena sirkus adalah kehidupan pengembara, tak berumah, tak menetap, gerak antara yang dibentuk dan yang alami. "Kita nomad", kata manajer sirkus itu, "ada sesuatu yang mengasyikkan dalam hidup kita?Segala-galanya palsu dan itulah sebenarnya kita. Kita tak menyembunyikannya".

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ahmad, dalam sirkus itu, menjadi aktor yang memainkan peran perempuan dan dipanggil sebagai Zahra. Pada penampilannya yang pertama ia menjadi seorang laki-laki yang berpura-pura jadi perempuan. Tapi kemudian, Ahmad atau Zahra mengembangkan cerita yang lucu, begini: ada seorang laki-laki yang berlagak jadi perempuan dan akhirnya membuka tabirnya: ia memang perempuan.

Yang terjadi di pentas sirkus dan di dalam dunia Ahmad/Zahra adalah bahwa ia kini bisa bergerak antara keperempuanan dan kepriaan, seseorang yang dipaksa menjadi "banci" oleh seorang ayah untuk kepentingan sang ayah, tapi kemudian menjadi "banci" sebagai pembebasan dan cemooh atas kekuasaan si bapak. Ia sendiri pernah mengatakan, bahwa jalan ke dirinya sendiri makan waktu. "Pengunduran diriku saja tak cukup, sebab itulah kuputuskan untuk membuat tubuh ini menghadapi petualangan, di perjalanan, di kota lain, di tempat lain."

Tetapi tak dengan sendirinya ia menemukan sebuah tempat berlindung. Manajer sirkus itu, Abbas, seorang yang punya luka jiwa ketika anak-anak, melampiaskan kekerasan ke mana saja. Beberapa kali ia memperkosa Zahra. Menurut Salim, seorang pencerita dalam novel yang punya beberapa pencerita itu, Zahra akhirnya membunuh Abbas. Perempuan itu kemudian membunuh diri. Bagi Salim, yang ayahnya seorang budak dari Senegal, akhir seperti itu wajar. Dunia toh selalu terdiri dari dua kubu, yang menguasai dan yang dikuasai.

Tetapi yang menarik dalam novel Ben Jelloun ini, cerita Salem bukanlah satu-satunya. Amar punya versi yang sama sekali lain. Menurut Amar, Ahmad pergi menyendiri, menjadi semacam orang zuhud yang menelaah agama. Ia meninggal di tengah unggunan naskah Arab dan Persia kuno. Ahmad (menurut kisah Amar) menyadari kesalahan hidupnya dan berhenti jadi seorang banci. Amar memilih akhir itu, karena baginya dunia hanya bisa diselamatkan oleh tradisi agama dan akar budaya,

Yang agak lebih menarik bagi saya adalah versi Fatouma. Perempuan ini mengisahkannya seakan-akan ia adalah Ahmad/Zahra sendiri. Ia pengembara yang tak pernah berhenti. "Aku datang dari jauh, sangat jauh. Aku telah menempuh jalan yang tak berujung?Pelbagai negeri dan abad telah melintas di depan mataku. Kakiku masih mengenang mereka".

Tetapi pada saat yang sama, perjalanan itu telah menyebabkannya merasa sendirian. Kecuali suatu saat ketika ia masuk ke sebuah desa dan melihat anak-anak yang tanpa kerja dan tanpa harapan turun ke jalan melawan polisi kolonial Prancis. Tetapi di sini pun, agaknya, ketika ia merasa punya sebuah komunitas, pada akhirnya ia pun tak bisa kita identifikasikan. Ia bergerak senantiasa sebagai sesuatu yang berbeda, dan kita mungkin tak perlu menjeratnya dalam satu cap, satu kategori. Toh kita merasakan rasa sakitnya--dan merasa berada di sisinya dalam pergulatan mengatasi rasa sakit itu.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

40 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

44 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

45 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.


Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

12 November 2023

Budayawan Goenawan Mohamad hadiri pembukaan pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, 17 Mei 2023. Pameran yang menampilkan kumpulan foto arsip, seni instalasi dan grafis tersebut digelar dalam rangka merefleksikan seperempat abad gerakan reformasi di Indonesia, pameran berlangsung hingga 17 Juni mendatang. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

Goenawan Mohamad menyebut pilpres mendatang berlangsung dalam situasi mencemaskan karena aturan bersama mulai dibongkar-bongkar.