Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Paranoia

Oleh

image-gnews
Iklan
SANTET dan tangan jahat yang tak terlihat. Paranoia yang selalu punya fantasi tentang teror. Teror yang menumbuhkan paranoia. Kisah tentang keganasan yang mungkin hanya sebuah bualan, tetapi menjadi kenyataan karena ramai dibicarakan?.

Semua hal itu ada dalam pengalaman kita dari waktu ke waktu, terutama ketika dengan luka yang dalam, orang dibuat gentar dan tidak berdaya.

Mungkin di Indonesia, termasuk di Jakarta dan di Jawa Timur, itulah yang terjadi sekarang. Sebuah sejarah kekerasan telah terpendam di lapisan yang tak jauh--peristiwa pembunuhan yang meluas di tahun 1965-1966--dan jadi sedimen dalam ingatan kolektif yang tidak pernah diungkap. Potongan sejarah itu agaknya yang tertimbun di bawah-sadar mereka yang hidup, jadi unggunan cerita-cerita lisan yang sambung menyambung. Dari endapan itu, sesuatu pun tumbuh. Mungkin dongeng-dongeng tambahan yang mengerikan, mungkin rasa serba curiga yang diam-diam jadi wabah. Dan akhirnya: kekerasan baru.

Antara paranoia dan teror memang terdapat kaitan yang kuat. Paranoia, sebagai gejala kejiwaan yang gampang mencurigai apa saja, menimbulkan dua hal. Yang pertama adalah perasaan bahwa kita, justru dengan melihat diri sebagai sosok yang "terancam", menjadi sesuatu yang amat penting dan besar di tengah dunia yang centang perenang ini. Yang kedua adalah ketakutan.

Itu sebabnya kediktatoran--terutama kediktatoran yang lahir dan tumbuh kuat melalui kekerasan--gemar bertumpu pada kedua hal itu. Ada sebuah novel Miguel Angel Asturias, El Senor Presidente, yang melukiskan dengan bagus ihwal seperti itu dalam sebuah paragraf tentang pohon-pohon yang punya kuping. "Sebuah jaringan benang yang tak nampak, lebih tak nampak ketimbang kabel telegram, menghubungkan setiap lembar daun dengan sang Presiden, memungkinkannya untuk mengawasi pikiran yang tersembunyi dari para penghuni kota".

Benarkah ada benang yang tak nampak itu? Tidak penting. Mungkin juga tidak benar. Tapi yang nyata ada ialah efeknya. "Budaya-budaya teror", tulis Michael Taussig dalam sebuah esai panjang tentang bagaimana orang Indian di Amerika Selatan dikolonisasi oleh para pendatang Spanyol, "dipupuk oleh baurnya mitos dan kebisuan". Dalam perbauran antara mitos dan kebisuan itu, yang diberi tekanan yang amat kuat adalah "segi misterius dari yang misterius". Caranya: dengan kabar angin. Desas-desus itu menyebar dengan dijalin halus menjadi sebuah jaringan "realisme magis", cerita di mana yang nyata dan yang tak masuk akal bersatu.

Dalam esai Taussig itu--Shamanism, Colonialism, and the Wild Man--"realisme magis" itu pada mulanya adalah rimba raya. Atau lebih tepat, rimba sebagai disaksikan oleh para pendatang. Seorang penjelajah dari Columbia, Joaquin Rocha, membandingkan kengerian di hutan belantara Amerika Latin itu dengan Dewi Durga dalam mitologi Hindu: kecantikannya agung, tapi juga mengandung khianat yang membunuh. Di balik jajaran pohon raksasa, himpunan belukar buas, liang jurang yang garang, ada makhluk yang kemudian mereka sebut "Indian", yang diam, tetapi bisa menyerang dan membinasakan. Di samping itu, ada pula "Indian" yang rohnya masuk ke dalam tubuh macan yang mengendap-endap. Orang kulit putih menyebutnya tigre mojano.

Dari sini sudah terasa bagaimana para pendatang itu melihat dunia yang didatanginya. Sesuatu "yang lain", yang tak jelas apakah manusia atau bukan, mengitarinya. Sesuatu yang bisa memperdaya, sesuatu yang bisa tampak jinak tapi juga agresif, sesuatu yang kadang punya kekuatan yang ajaib--artinya tak bisa dipahami, di luar segala kategori.

Tapi ke sanalah, ke hutan dan "yang lain" itu, orang-orang Spanyol itu terus-menerus datang. Mula-mula mencari emas. Kemudian kina dan getah para. Kemudian juga atas nama Tuhan dan peradaban. Yang seterusnya diungkapkan oleh Taussig ialah bahwa dalam proses itu, cerita tentang tigre mojano kemudian berkembang menjadi juga cerita tentang suku-suku kanibal, dengan kebuasan yang seakan-akan sudah jadi bagian dari budaya yang primitif.

Seorang etnografer Jerman menulis (meskipun tidak jelas apakah ia menyaksikannya sendiri atau hanya mendengar cerita orang) bagaimana suku Huitoto memakan hati, rempela, jantung, dan serpih daging pada tulang manusia setelah dimasak setengah matang dan masih berdarah. Sebelum makan, mereka menenggak air perasan tembakau. Setelah makan, mereka pergi ke sungai untuk muntah. Siapa yang sudah makan daging manusia akan menjadi perwira yang gagah dan pandai, demikian mereka yakin. Dan demikian orang kulit putih melukiskannya, seakan-akan dengan penuh pengertian tentang "keberbedaan".

Pada saat yang sama, sebuah usaha untuk menaklukkan pun berlangsung. Pelbagai laporan kemudian ditulis bagaimana kisah kolonisasi itu seakan-akan sebuah usaha menghentikan kebuasan yang didongengkan itu. Caranya: dengan metode yang buas pula. Dalam cerita Rocha, ada seorang bernama Crisostomo Hernandez yang menaklukkan orang Huitoto yang hidup di dekat Sungai Igaraparana. Ketika mendengar bahwa sejumlah orang Huitoto di bawah kekuasaannya masih "mempraktekkan kanibalisme", Hernandez pun memenggal kepala mereka, perempuan, anak, termasuk bayi yang masih menetek.

Benarkah kekejaman ini? Cerita keganasan orang "Indian", juga keganasan orang putih terhadap mereka, agaknya sudah berada di luar persoalan "fakta" atau "bukan fakta" lagi. Keduanya menjadi bagian dari teror. Keduanya menjadi seakan-akan bagian dari "angin iblis", mal aires, yang bertiup sebagai pembalasan dari para leluhur "Indian" sebelum bangsa Spanyol dan agama Kristen datang mengalahkan mereka. Seperti santet atau begu ganjang, shamanisme atau perdukunan, pembalasan dan penyembuhan berlangsung dalam misteri: ada tangan yang tak terlihat.

Kenangan yang menyusun sepotong sejarah selalu bisa menuntut. Taussig berbicara tentang sejarah sebagai begu ganjang, history as sorcery, dan ia mengutip Walter Benjamin, "Bahkan yang mati pun tidak aman dari musuh-musuh yang dikalahkannya". Teror, teror?.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

38 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

42 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

43 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.


Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

12 November 2023

Budayawan Goenawan Mohamad hadiri pembukaan pameran 25 Tahun Reformas!h In Absentia di Yayasan Riset Visual mataWaktu, Jakarta, Rabu, 17 Mei 2023. Pameran yang menampilkan kumpulan foto arsip, seni instalasi dan grafis tersebut digelar dalam rangka merefleksikan seperempat abad gerakan reformasi di Indonesia, pameran berlangsung hingga 17 Juni mendatang. TEMPO/ Febri Angga Palguna
Goenawan Mohamad Sebut Banyak Kebohongan Diucapkan Presiden Jokowi

Goenawan Mohamad menyebut pilpres mendatang berlangsung dalam situasi mencemaskan karena aturan bersama mulai dibongkar-bongkar.