Semua hal itu ada dalam pengalaman kita dari waktu ke waktu, terutama ketika dengan luka yang dalam, orang dibuat gentar dan tidak berdaya.
Mungkin di Indonesia, termasuk di Jakarta dan di Jawa Timur, itulah yang terjadi sekarang. Sebuah sejarah kekerasan telah terpendam di lapisan yang tak jauh--peristiwa pembunuhan yang meluas di tahun 1965-1966--dan jadi sedimen dalam ingatan kolektif yang tidak pernah diungkap. Potongan sejarah itu agaknya yang tertimbun di bawah-sadar mereka yang hidup, jadi unggunan cerita-cerita lisan yang sambung menyambung. Dari endapan itu, sesuatu pun tumbuh. Mungkin dongeng-dongeng tambahan yang mengerikan, mungkin rasa serba curiga yang diam-diam jadi wabah. Dan akhirnya: kekerasan baru.
Antara paranoia dan teror memang terdapat kaitan yang kuat. Paranoia, sebagai gejala kejiwaan yang gampang mencurigai apa saja, menimbulkan dua hal. Yang pertama adalah perasaan bahwa kita, justru dengan melihat diri sebagai sosok yang "terancam", menjadi sesuatu yang amat penting dan besar di tengah dunia yang centang perenang ini. Yang kedua adalah ketakutan.
Itu sebabnya kediktatoran--terutama kediktatoran yang lahir dan tumbuh kuat melalui kekerasan--gemar bertumpu pada kedua hal itu. Ada sebuah novel Miguel Angel Asturias, El Senor Presidente, yang melukiskan dengan bagus ihwal seperti itu dalam sebuah paragraf tentang pohon-pohon yang punya kuping. "Sebuah jaringan benang yang tak nampak, lebih tak nampak ketimbang kabel telegram, menghubungkan setiap lembar daun dengan sang Presiden, memungkinkannya untuk mengawasi pikiran yang tersembunyi dari para penghuni kota".
Benarkah ada benang yang tak nampak itu? Tidak penting. Mungkin juga tidak benar. Tapi yang nyata ada ialah efeknya. "Budaya-budaya teror", tulis Michael Taussig dalam sebuah esai panjang tentang bagaimana orang Indian di Amerika Selatan dikolonisasi oleh para pendatang Spanyol, "dipupuk oleh baurnya mitos dan kebisuan". Dalam perbauran antara mitos dan kebisuan itu, yang diberi tekanan yang amat kuat adalah "segi misterius dari yang misterius". Caranya: dengan kabar angin. Desas-desus itu menyebar dengan dijalin halus menjadi sebuah jaringan "realisme magis", cerita di mana yang nyata dan yang tak masuk akal bersatu.
Dalam esai Taussig itu--Shamanism, Colonialism, and the Wild Man--"realisme magis" itu pada mulanya adalah rimba raya. Atau lebih tepat, rimba sebagai disaksikan oleh para pendatang. Seorang penjelajah dari Columbia, Joaquin Rocha, membandingkan kengerian di hutan belantara Amerika Latin itu dengan Dewi Durga dalam mitologi Hindu: kecantikannya agung, tapi juga mengandung khianat yang membunuh. Di balik jajaran pohon raksasa, himpunan belukar buas, liang jurang yang garang, ada makhluk yang kemudian mereka sebut "Indian", yang diam, tetapi bisa menyerang dan membinasakan. Di samping itu, ada pula "Indian" yang rohnya masuk ke dalam tubuh macan yang mengendap-endap. Orang kulit putih menyebutnya tigre mojano.
Dari sini sudah terasa bagaimana para pendatang itu melihat dunia yang didatanginya. Sesuatu "yang lain", yang tak jelas apakah manusia atau bukan, mengitarinya. Sesuatu yang bisa memperdaya, sesuatu yang bisa tampak jinak tapi juga agresif, sesuatu yang kadang punya kekuatan yang ajaib--artinya tak bisa dipahami, di luar segala kategori.
Tapi ke sanalah, ke hutan dan "yang lain" itu, orang-orang Spanyol itu terus-menerus datang. Mula-mula mencari emas. Kemudian kina dan getah para. Kemudian juga atas nama Tuhan dan peradaban. Yang seterusnya diungkapkan oleh Taussig ialah bahwa dalam proses itu, cerita tentang tigre mojano kemudian berkembang menjadi juga cerita tentang suku-suku kanibal, dengan kebuasan yang seakan-akan sudah jadi bagian dari budaya yang primitif.
Seorang etnografer Jerman menulis (meskipun tidak jelas apakah ia menyaksikannya sendiri atau hanya mendengar cerita orang) bagaimana suku Huitoto memakan hati, rempela, jantung, dan serpih daging pada tulang manusia setelah dimasak setengah matang dan masih berdarah. Sebelum makan, mereka menenggak air perasan tembakau. Setelah makan, mereka pergi ke sungai untuk muntah. Siapa yang sudah makan daging manusia akan menjadi perwira yang gagah dan pandai, demikian mereka yakin. Dan demikian orang kulit putih melukiskannya, seakan-akan dengan penuh pengertian tentang "keberbedaan".
Pada saat yang sama, sebuah usaha untuk menaklukkan pun berlangsung. Pelbagai laporan kemudian ditulis bagaimana kisah kolonisasi itu seakan-akan sebuah usaha menghentikan kebuasan yang didongengkan itu. Caranya: dengan metode yang buas pula. Dalam cerita Rocha, ada seorang bernama Crisostomo Hernandez yang menaklukkan orang Huitoto yang hidup di dekat Sungai Igaraparana. Ketika mendengar bahwa sejumlah orang Huitoto di bawah kekuasaannya masih "mempraktekkan kanibalisme", Hernandez pun memenggal kepala mereka, perempuan, anak, termasuk bayi yang masih menetek.
Benarkah kekejaman ini? Cerita keganasan orang "Indian", juga keganasan orang putih terhadap mereka, agaknya sudah berada di luar persoalan "fakta" atau "bukan fakta" lagi. Keduanya menjadi bagian dari teror. Keduanya menjadi seakan-akan bagian dari "angin iblis", mal aires, yang bertiup sebagai pembalasan dari para leluhur "Indian" sebelum bangsa Spanyol dan agama Kristen datang mengalahkan mereka. Seperti santet atau begu ganjang, shamanisme atau perdukunan, pembalasan dan penyembuhan berlangsung dalam misteri: ada tangan yang tak terlihat.
Kenangan yang menyusun sepotong sejarah selalu bisa menuntut. Taussig berbicara tentang sejarah sebagai begu ganjang, history as sorcery, dan ia mengutip Walter Benjamin, "Bahkan yang mati pun tidak aman dari musuh-musuh yang dikalahkannya". Teror, teror?.