Perempuan itu digantung sepanjang malam di sebuah pohon. Hampir seharian opsir itu menginterogasinya dan tak berhasil mendapatkan sepatah pengakuan apa pun. Perempuan setengah baya itu, seorang anggota SOBSI, selama beberapa jam telah ditelanjangi dan dipukuli di depan para tahanan lain, tapi ia tetap diam, dan ketika hari menjelang malam ia digantung. Tangannya diikat ke pohon, kakinya terjuntai hampir menyentuh tanah. Ia merasakan kesakitan yang amat sangat.
Malam itu Sri Ambar pasti tak tahu bahwa itu belum siksaan yang paling mengerikan yang akan dialaminya. Beberapa hari kemudian, setelah di depan para tahanan lain ia ditelanjangi lagi dan dipukuli berkali-kali, atas perintah sang opsir TNI pantat kiri Ambar ditusuk dengan sebilah pisau komando. Ketika ia tetap tak mengaku, pantat kanannya dicubles. Ia jatuh pingsan karena begitu banyak darah keluar.
Malam itu ia belum tahu semua itu akan terjadi. Tergantung kedinginan di pohon itu, yang diingatnya hanya ini: ketika tak ada seorang tentara pun tampak di halaman tengah kamp itu, seorang pegawai sipil yang sudah tua datang mengendap-endap mendekatinya. Ia membawa secangkir teh manis panas, dan ditolongnya Ambar minum. Lalu pak tua itu mengambil dari dalam sakunya sebotol kecil balsam, yang diusapkannya ke tubuh yang tergantung itu. "Maaf, saya menyentuhmu," ujarnya berbisik.
Apa gerangan yang mendorongnya berbuat demikian? Tak seorang pun menyuruhnya. Ia mempertaruhkan keselamatan dirinya. Ia hanya seorang pegawai sipil di tengah kamp yang dikuasai para interogator militer yang ganas, di masa ketika ribuan orang ditangkap dan dibunuh hanya karena diduga jadi pendukung PKI. Bila ia ketahuan menolong tahanan politik seperti yang dilakukannya itu, ia pasti akan disiksa. Apa yang menggerakkan hatinya, padahal tak dikenalnya Ambar, dan tak ada yang akan memberinya upah dan pujian?
Buku Carmel Budiardjo, Bertahan Hidup di Gulag Indonesia, mengisahkan semua itu, tanpa menanyakan dan menjawab pertanyaan apa pun, dan memang buku ini bertugas merekam peristiwa yang mengerikan pada tahun 1960-an itu. Tapi adegan di rumah penyiksaan di Jalan Gunung Sahari, Jakarta, itu tetap mengusik hati. Sejarah Indonesia punya noda hitam yang sampai hari ini tak diakui: ternyata di antara kita ada yang tega untuk jadi amat jahat, bukan pada saat mereka menggarong, tapi pada saat merasa berbuat baik.
Para interogator di kamp itu mungkin bisa tidur nyenyak setelah menghalalkan kebiadaban mereka sendiri dengan mengatakan, "Ini untuk Republik kita". Para komandan kamp itu mungkin bisa makan malam dengan anak dan istri setelah 24 jam mereka mengelola kebengisan, karena mereka yakin bahwa mereka tengah membereskan "orang komunis yang tak bertuhan itu". Mereka menyediakan buku agama untuk para tapol, menyuruh orang-orang yang dikurung itu beribadat?seraya sampai hati menelanjangi si tak-berdaya untuk dinista dan dicederai, dipukuli payudaranya, digigit kupingnya sampai putus, disiksa anak-anaknya di depan mata sang ibu, disetrum kemaluannya, dicabut kukunya dengan tang?.
Tuhan, agama, tanah air?saya tak tahu lagi apa hubungan semua itu dengan kedurjanaan di satu pihak dan perbuatan mulia di lain pihak. Si petugas tua di rumah siksa di Jalan Gunung Sahari itu mungkin seorang yang saleh: akankah ia masuk surga karena mencoba mengurangi rasa sakit seorang perempuan yang dianiaya? Atau ke neraka, karena menolong seorang atheis? Berpikirkah ia tentang surga dan neraka, atau hanya inilah yang mendorong hatinya: "Aku harus lakukan ini untuk seseorang yang kesakitan, aku harus lakukan ini?"?
Kesewenang-wenangan manusia sangat merisaukan, terutama jika dilakukan oleh orang-orang dekat kita, atas nama "kebaikan". Tapi di sisi lain ada sesuatu yang selalu membuat kita takjub: "bintang-bintang di angkasa raya dan hukum moral di dalam hati".
Kata-kata Kant dari abad ke-18 ini berbicara tentang kenyataan sehari-hari yang sebenarnya ajaib: begitu kecilnya tubuh dan tempat manusia di alam semesta, tapi begitu kuatnya "hukum moral" yang tersimpul dalam dirinya, yang membuat manusia dengan ikhlas menolong dan menjabat tangan sesama, dan menjalankan "keharusan kategoris" seperti yang dilakukan pak tua itu: mempertaruhkan keselamatan diri untuk membawa segelas teh kepada seorang perempuan yang tergantung sepanjang malam, tanpa bertanya kenapa ia dihukum, percayakah ia kepada Allah, atau dari mana ia berasal.
Hari ini saya teringat itu semua, ketika orang ramai menyebut Tuhan dan Islam?terkadang untuk menyejukkan hati, terkadang untuk mencurigai?tapi lupa, jangan-jangan yang penting adalah "hukum moral di dalam hati". Ribuan orang mati di Aceh, bencana alam itu begitu dahsyat, dan dunia terkejut. Dari hampir tiap sudut Indonesia, juga dari hampir setiap pojok bumi, dari Kuwait sampai Timor Leste, dari Meksiko sampai Tokyo, orang menghimpun bantuan. Beratus-ratus manusia?berseragam atau tidak, beragama atau tidak, punya dosa atau tidak?datang untuk meringankan penderitaan. Seorang tentara Amerika berkata, ia lebih senang bekerja menolong Aceh ketimbang berperang di Bagdad; seorang sopir taksi di Finlandia tiba-tiba menghentikan mobilnya untuk mengheningkan cipta; sejumlah perempuan Prancis tiba dari Paris untuk mengangkut jenazah yang membusuk di pojok-pojok Aceh. Apa yang menggerakkan hati mereka?
Pasti ada pamrih, kata sebagian orang. Mungkin. Tapi bagaimana kita menduga pamrih? Sejauh mana kita tak memproyeksikan dengki dan pamrih kita sendiri kepada orang lain ketika berkata, "Awas, ada pamrih"? Tak akan ada jawab, selain mengira-ngira. Sebab itu, di tengah kesakitannya yang sangat, Sri Ambar tak bertanya kenapa. Ia hanya tahu laki-laki itu menggosokkan balsam ke tubuhnya dengan lembut, dan berbisik, "Maaf, saya menyentuhmu"?sebuah sikap hormat, bukan hanya belas.
Goenawan Mohamad