Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Soeharto

Oleh

image-gnews
Iklan

Soeharto seperti sebuah sphinx: ia diam seperti tak kena apa-apa. Mahasiswa berteriak agar dia diadili, surat kabar menyengat, para pemimpin politik mengaum, tetapi otokrat berumur 77 tahun itu duduk di rumahnya di Jalan Cendana tanpa omong, tanpa terkejut, dan jangan-jangan tanpa harapan, sekaligus tanpa ketakutan. Ia kadang-kadang muncul ke mata umum, seperti bayang-bayang masa silam yang tidak enak, kemudian menghilang kembali ke tempatnya tetirah.

Saya tak pernah mengenal tokoh ini. Wajah pemain poker. Topeng Jawa yang tersenyum tapi tertutup. Apa yang ada di balik itu? Mungkin tak ada apa-apa, mungkin juga bahkan tak ada raut muka apa pun yang asli. Ia senantiasa mengambil jarak, dan kita tak akan pernah membaca yang tersirat di paras itu. Setidaknya bagi orang yang hanya bisa berada di radius beberapa puluh meter dari singgasananya.

Saya beberapa kali ikut meliput perjalanannya sebagai presiden ke negeri-negeri lain. Selalu ada rombongan menteri, pengawal, petugas penghubung, wartawan, dan pembawa barang. Berhari-hari kami bepergian bersama, satu pesawat, tapi hanya dua kali ia akan menemui kami: sekali setelah pesawat tinggal landas, dan yang kedua menjelang Garuda itu turun di Tanah Air kembali. Ia akan berjalan dari kursi ruang kepresidenannya ke ujung belakang pesawat, melambai, senyum, lalu menghilang ke ruang duduknya kembali. Tak ada tegur sapa. Tak ada jabat tangan.

Sulit untuk mengatakan bahwa ia seorang yang berlaku congkak. Ia tetap seorang yang sopan dan santun. Ia tak akan menyumpah serapah. Ia bisa marah, dan suaranya bisa gemetar karena itu, dan mulutnya yang menyunggingkan senyum itu bisa sekaligus bersuara mengancam. Namun ia tak akan meledak.

Tentu harus dikatakan di sini bahwa ada perubahan fiilnya di depan orang lain, bersama dengan memanjangnya umur jabatannya. Kian berlanjut kekuasaan itu, ia tampak kian tahu akan kebesaran kekuasaannya sendiri. Dari cara ia berbicara kepada petani, kepada anak-anak, kepada sekitar, makin tampak ia sadar bahwa dialah sang Pemberi Kata Putus, pemimpin yang banyak tahu, yang pintar, yang benar. Ada seorang pejabat tinggi yang mengatakan: "Ketika ia baru menjadi presiden, Soeharto akan membawa buku dan mencatat apa yang dikemukakan menteri ekonominya. Tapi setelah 20 tahun, menteri ekonominyalah yang akan membawa buku dan mencatat apa yang dikemukakan Soeharto".

Barangkali itu bukan salahnya seorang. Sebab, senantiasa di depannya orang akan mendengarkan, dengan wajah takzim, senyum submisif, dengan tangan ngapurancang bersilang di depan, ketika "Bapak" panjang lebar bersabda tentang pupuk dan Pancasila, tentang hankam dan hanacaraka.

Memang terasa berubah sikap Soeharto di tahun 1960 - 1970-an dibandingkan dengan sikapnya di tahun 1980 - 1990-an. Meskipun demikian, perubahan itu tak seluruhnya melepaskan apa yang sudah terbentuk dalam dirinya sejak muda: Soeharto adalah seseorang yang dengan sopan, dengan senyum, tak pernah merasa tenteram dalam kontaknya dengan orang lain. Saya katakan tadi: ia senantiasa mengambil jarak. Di Bina Graha ia akan menemui tamu seraya duduk dengan tangan statis di dekat perut atau di lengan kursi. Di ruang lain ia akan menemui tamunya dari belakang meja besar--seakan-akan ia berada di balik tanda batas yang kukuh.

Apa yang menyebabkannya? Ia memang sebuah kontras bila dibandingkan dengan Bung Karno. Bung Karno tak pernah berada di balik tanda batas yang seperti itu. Dalam sebuah film dokumenter, pernah nampak Bung Karno sedang berdiri di antara sejumlah orang. Tiba-tiba tangannya menjangkau masuk ke saku baju seseorang yang berdiri di sampingnya, mungkin seorang wartawan, dan sang Presiden dengan kalem mengambil rokok dari saku itu seraya terus bercakap-cakap. Saya pernah dengar sebuah anekdot yang diceritakan mendiang Karsten Prager, redaktur Time yang pernah jadi wartawan di Jakarta pada tahun 1960-an. Suatu kali, Bung Karno mengajak para wartawan untuk mengikutinya ke suatu tempat dan memberi kesan bahwa ia akan memberikan sebuah statemen penting. Ketika para wartawan asing itu berbondong mengejarnya, ternyata Presiden Republik Indonesia masuk ke toilet seraya tertawa geli telah mengecoh mereka.

Bung Karno punya rasa percaya diri yang besar bahwa orang lain tak akan mengalahkannya dalam sebuah pertemuan. Ia seorang yang dibesarkan di sekolah model Belanda, seorang intelektuil sekaligus seorang pemimpin pergerakan politik: ia sudah biasa bertemu, berdebat, bernegosiasi dengan orang lain yang berbeda-beda. Soeharto, sebaliknya, seorang anak desa yang sebagian besar hidupnya menjadi prajurit. Orang lain senantiasa hadir dalam hierarki. Dalam hubungan antara "aku" dan "bukan-aku" yang tersirat adalah yang kuasa dan yang tidak. Ada ketertiban, ada kekerasan. Tak ada celah untuk yang ganjil, gila-gilaan, mengagetkan. Semua hal harus--bahkan dianggap niscaya--langsung bisa diidentifikasi karena semua hal diasumsikan punya dasar yang tetap. Difference? Itu paradigma yang tak berlaku.

Kontrol--itulah bungkahan terbesar kepribadian Soeharto. Aku mengontrol, maka aku ada. Di situlah agaknya sumber kekuatannya--dan sumber keinginannya untuk terus-menerus berkuasa di atas yang lain, di atas segala hal yang dianggapnya kacau dan sebab itu mengancam eksistensi. Mungkin sebab itu secara fisik dan psikis bisa lebih bertahan ketimbang seorang Soekarno atau Syahrir setelah ia jatuh dari kursi yang tinggi. Tetapi apakah dengan itu ia seorang manusia yang lebih menyenangkan, itu persoalan lain. "O, it is excellent/To have a giant's strength, but it is tyrannous/to use it like a giant", seru Isabella dalam lakon Shakespeare, Measure for Measure.

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Jaksa Minta Hakim Kabulkan Gugatan Supersemar

11 Maret 2008

Jaksa Minta Hakim Kabulkan Gugatan Supersemar

Sidang lanjutan gugatan perdata pemerintah terhadap Yayasan Supersemar dan bekas presiden Soeharto, Selasa (11/3), memasuki agenda kesimpulan. Masing-masing pihak yakni jaksa pengacara negara dan pengacara Yayasan Supersemar mengajukan kesimpulan atas sidang gugatan perdata tersebut.


Korban Rezim Orde Baru Tuntut Proses Hukum

27 Januari 2008

Korban Rezim Orde Baru Tuntut Proses Hukum

Meski mengucapkan turut berduka cita atas meninggalnya mantan Presiden Soeharto, para korban rezim Orde Baru tetap menuntut pemerintah menjalankan kewajiban untuk penyelesaian hukum bagi Soeharto.


Soeharto Hanya Bisa Mengangguk dan Menggeleng

12 Januari 2008

Soeharto Hanya Bisa Mengangguk dan Menggeleng

Christian menambahkan, Soeharto belum pernah berhenti bernafas seperti yang pernah diberitakan sebelumnya.


Ali Wardhana Jadi Saksi Jaksa Dalam Kasus Soeharto

20 November 2007

Ali Wardhana Jadi Saksi Jaksa Dalam Kasus Soeharto

Ali mengaku sempat menolak untuk perintah Soeharto yang dikemas dalam peraturan pemerintah dalam pengucuran dana BUMN ke yayasan.


Dokumen Asli Kasus Soeharto Justru Dititipkan ke Yayasan Suharto

8 Juni 2007

Dokumen Asli Kasus Soeharto Justru Dititipkan ke Yayasan Suharto

Bekas jaksa penuntut umum kasus Soeharto, Muchtar Arifin, mengatakan dokumen asli perkara pidana dugaan korupsi yayasan yang pernah dipimpin bekas presiden Soeharto tidak hilang. "Dokumen itu dititipkan ke manajemen (yayasan) tempat dokumen itu disita," ujar Muchtar seusai salat Jumat di Kejaksaan Agung, Jumat (8/6).


Aset Yayasan Soeharto Bisa Disita Sebelum Proses Pengadilan

6 April 2007

Aset Yayasan Soeharto Bisa Disita Sebelum Proses Pengadilan

Pemerintah bisa melakukan penyitaan terhadap aset tujuh yayasan Soeharto sebelum proses pengadilan berlangsung. Menurut ahli hukum administrasi negara dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, penyitaan perlu dilakukan secepat mungkin untuk mencegah harta dilarikan.


Yayasan Supersemar Milik Suharto Digugat Perdata Bulan Ini

8 Februari 2007

Yayasan Supersemar Milik Suharto Digugat Perdata Bulan Ini

Yayasan Supersemar yang didirikan oleh mantan Presiden Suharto dalam bulan ini segera digugat secara perdata melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.


Kejaksaan Terima Surat Kuasa Khusus Gugat Soeharto

1 Februari 2007

Kejaksaan Terima Surat Kuasa Khusus Gugat Soeharto

”Surat itu diterima pada Kamis (1/2) pagi saat bertemu presiden,” ujar Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh.


Berkas Soeharto Masih di Tangan Jaksa Agung

25 Januari 2007

Berkas Soeharto Masih di Tangan Jaksa Agung

Berkas gugatan perdata kejaksaan terhadap yayasan yang dipimpin mantan presiden Soeharto masih di tangan Jaksa Agung.


Presiden Akan Berikan Surat Kuasa Kepada Kejaksaan

24 Januari 2007

Presiden Akan Berikan Surat Kuasa Kepada Kejaksaan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan memberikan surat kuasa khusus kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan gugatan perdata terhadap kasus yayasan milik Soeharto.