Soeharto seperti sebuah sphinx: ia diam seperti tak kena apa-apa. Mahasiswa berteriak agar dia diadili, surat kabar menyengat, para pemimpin politik mengaum, tetapi otokrat berumur 77 tahun itu duduk di rumahnya di Jalan Cendana tanpa omong, tanpa terkejut, dan jangan-jangan tanpa harapan, sekaligus tanpa ketakutan. Ia kadang-kadang muncul ke mata umum, seperti bayang-bayang masa silam yang tidak enak, kemudian menghilang kembali ke tempatnya tetirah.
Saya tak pernah mengenal tokoh ini. Wajah pemain poker. Topeng Jawa yang tersenyum tapi tertutup. Apa yang ada di balik itu? Mungkin tak ada apa-apa, mungkin juga bahkan tak ada raut muka apa pun yang asli. Ia senantiasa mengambil jarak, dan kita tak akan pernah membaca yang tersirat di paras itu. Setidaknya bagi orang yang hanya bisa berada di radius beberapa puluh meter dari singgasananya.
Saya beberapa kali ikut meliput perjalanannya sebagai presiden ke negeri-negeri lain. Selalu ada rombongan menteri, pengawal, petugas penghubung, wartawan, dan pembawa barang. Berhari-hari kami bepergian bersama, satu pesawat, tapi hanya dua kali ia akan menemui kami: sekali setelah pesawat tinggal landas, dan yang kedua menjelang Garuda itu turun di Tanah Air kembali. Ia akan berjalan dari kursi ruang kepresidenannya ke ujung belakang pesawat, melambai, senyum, lalu menghilang ke ruang duduknya kembali. Tak ada tegur sapa. Tak ada jabat tangan.
Sulit untuk mengatakan bahwa ia seorang yang berlaku congkak. Ia tetap seorang yang sopan dan santun. Ia tak akan menyumpah serapah. Ia bisa marah, dan suaranya bisa gemetar karena itu, dan mulutnya yang menyunggingkan senyum itu bisa sekaligus bersuara mengancam. Namun ia tak akan meledak.
Tentu harus dikatakan di sini bahwa ada perubahan fiilnya di depan orang lain, bersama dengan memanjangnya umur jabatannya. Kian berlanjut kekuasaan itu, ia tampak kian tahu akan kebesaran kekuasaannya sendiri. Dari cara ia berbicara kepada petani, kepada anak-anak, kepada sekitar, makin tampak ia sadar bahwa dialah sang Pemberi Kata Putus, pemimpin yang banyak tahu, yang pintar, yang benar. Ada seorang pejabat tinggi yang mengatakan: "Ketika ia baru menjadi presiden, Soeharto akan membawa buku dan mencatat apa yang dikemukakan menteri ekonominya. Tapi setelah 20 tahun, menteri ekonominyalah yang akan membawa buku dan mencatat apa yang dikemukakan Soeharto".
Barangkali itu bukan salahnya seorang. Sebab, senantiasa di depannya orang akan mendengarkan, dengan wajah takzim, senyum submisif, dengan tangan ngapurancang bersilang di depan, ketika "Bapak" panjang lebar bersabda tentang pupuk dan Pancasila, tentang hankam dan hanacaraka.
Memang terasa berubah sikap Soeharto di tahun 1960 - 1970-an dibandingkan dengan sikapnya di tahun 1980 - 1990-an. Meskipun demikian, perubahan itu tak seluruhnya melepaskan apa yang sudah terbentuk dalam dirinya sejak muda: Soeharto adalah seseorang yang dengan sopan, dengan senyum, tak pernah merasa tenteram dalam kontaknya dengan orang lain. Saya katakan tadi: ia senantiasa mengambil jarak. Di Bina Graha ia akan menemui tamu seraya duduk dengan tangan statis di dekat perut atau di lengan kursi. Di ruang lain ia akan menemui tamunya dari belakang meja besar--seakan-akan ia berada di balik tanda batas yang kukuh.
Apa yang menyebabkannya? Ia memang sebuah kontras bila dibandingkan dengan Bung Karno. Bung Karno tak pernah berada di balik tanda batas yang seperti itu. Dalam sebuah film dokumenter, pernah nampak Bung Karno sedang berdiri di antara sejumlah orang. Tiba-tiba tangannya menjangkau masuk ke saku baju seseorang yang berdiri di sampingnya, mungkin seorang wartawan, dan sang Presiden dengan kalem mengambil rokok dari saku itu seraya terus bercakap-cakap. Saya pernah dengar sebuah anekdot yang diceritakan mendiang Karsten Prager, redaktur Time yang pernah jadi wartawan di Jakarta pada tahun 1960-an. Suatu kali, Bung Karno mengajak para wartawan untuk mengikutinya ke suatu tempat dan memberi kesan bahwa ia akan memberikan sebuah statemen penting. Ketika para wartawan asing itu berbondong mengejarnya, ternyata Presiden Republik Indonesia masuk ke toilet seraya tertawa geli telah mengecoh mereka.
Bung Karno punya rasa percaya diri yang besar bahwa orang lain tak akan mengalahkannya dalam sebuah pertemuan. Ia seorang yang dibesarkan di sekolah model Belanda, seorang intelektuil sekaligus seorang pemimpin pergerakan politik: ia sudah biasa bertemu, berdebat, bernegosiasi dengan orang lain yang berbeda-beda. Soeharto, sebaliknya, seorang anak desa yang sebagian besar hidupnya menjadi prajurit. Orang lain senantiasa hadir dalam hierarki. Dalam hubungan antara "aku" dan "bukan-aku" yang tersirat adalah yang kuasa dan yang tidak. Ada ketertiban, ada kekerasan. Tak ada celah untuk yang ganjil, gila-gilaan, mengagetkan. Semua hal harus--bahkan dianggap niscaya--langsung bisa diidentifikasi karena semua hal diasumsikan punya dasar yang tetap. Difference? Itu paradigma yang tak berlaku.
Kontrol--itulah bungkahan terbesar kepribadian Soeharto. Aku mengontrol, maka aku ada. Di situlah agaknya sumber kekuatannya--dan sumber keinginannya untuk terus-menerus berkuasa di atas yang lain, di atas segala hal yang dianggapnya kacau dan sebab itu mengancam eksistensi. Mungkin sebab itu secara fisik dan psikis bisa lebih bertahan ketimbang seorang Soekarno atau Syahrir setelah ia jatuh dari kursi yang tinggi. Tetapi apakah dengan itu ia seorang manusia yang lebih menyenangkan, itu persoalan lain. "O, it is excellent/To have a giant's strength, but it is tyrannous/to use it like a giant", seru Isabella dalam lakon Shakespeare, Measure for Measure.