Tidak ada. Tapi sebuah kekuasaan otoriter bisa saja begitu sibuk untuk hal-hal yang tak serius. Sebuah kekuasaan yang gatal tangan akan merogoh ke mana saja, juga ke dalam dunia privé, karena baginya batas yang privé dan yang bukan tak relevan lagi, mungkin patah. Dan ini bukan Indonesia, para pembaca, melainkan Portugal. Persisnya Portugal di tahun1930-an, ketika kediktaturan Perdana Menteri Salazar masih segar dan kaum fasis gemuruh bergerak di seluruh Jazirah Iberia. Bukan cerita Jakarta, melainkan Lisbon sebagaimana dikisahkan José Saramago dalam Ano da morte de Ricardo Reis ("Tahun Kematian Ricardo Reis").
Tapi jika ada persamaan antara Portugal tahun 1930-an dan Indonesia tahun 1990-an, apa boleh buat. Kekuasaan otoriter, yang menekan untuk hal-hal yang tak perlu ditekan, punya perilaku yang, selain bisa buas, merisaukan, memuakkan, juga menggelikan. Terutama jika yang melihat adalah seorang Saramago.
Saya membaca bukunya lewat terjemahan Inggris, dan saya tak bisa mengatakan apakah saya pengagumnya. Saramago tak menyebabkan kita tercenung, saya kira, seperti bila kita membaca novel Kawabata. Tapi juri Nobel sekarang rupanya punya preferensi yang mungkin cocok dengan temperamen waktu. Di tahun 1997, mereka memilih Dario Fo dari Italia; grup teaternya punya hubungan dengan Partai Komunis meskipun di tahun 1968 ia bikin marah Partai. Di tahun ini mereka memilih Saramago, yang masuk Partai Komunis Portugal di tahun 1968 ketika partai itu masih jadi partai terlarang. Di masa pascakomunisme dan pascafasisme, dua orang tua "ekstrem kiri" rupanya jadi bagian sejarah dan khazanah ekspresi sastra yang penting ditengok.
Tentu saja karena "ekstrem kiri" mereka bukanlah gaya yang mengangkat tinju. Fo dan Saramago adalah contoh bahwa "kiri" bisa berarti kurang ajar dan komikal; geli adalah sebuah respons yang paling bebas terhadap represi. Sebagaimana Milan Kundera di Cekoslowakia tertawa menghadapi kekuasaan komunis, Fo dan Saramago tertawa menghadapi kekuasaan antikomunis. Khususnya penulis Portugis ini punya sarkasme yang menggigit dengan gigi yang tersembunyi, seraya bercerita ke segala penjuru dalam novel-novel yang seakan-akan ganjil tapi sebenarnya tidak - bahkan kadang telah terduga arahnya.
Dalam Ano da morte de Ricardo Reis, Victor, si intel berbau bawang (dan sebab itu ia praktis tak bisa menyamarkan diri) suatu ketika menyiapkan penggerebekan sebuah pertemuan gelap. Tim polisi itu demikian bersemangat, dan mereka berhasil menyerbu, namun si pemimpin komplotan ternyata lepas. Tapi ini bukan akhir dari kekonyolan. Sebab ternyata seluruh operasi hanyalah sebuah adegan untuk sebuah film pemerintah….
Dalam adegan lain, yang khidmat dan megah berubah jadi lucu. Pada suatu hari di tepi Sungai Tagus, Presiden Jendral Carmona akan meluncurkan kapal João de Lisboa dengan sebuah upacara besar. Semua siap: pejabat, fotograf, doa Gereja Katolik, dan sebotol anggur Bairrada. Tapi sebelum Paduka Yang Mulia melangkah untuk memecahkan botol itu ke tubuh kapal, lihat, João de Lisboa lepas meluncur sendiri ke air. Awak kapal bersorak hore dan camar laut beterbangan, dan Presiden murka dan seluruh aparat pemerintah malu. "Ada tanda-tanda bahwa penindasan intelektual Salazar tak menyebar secara efektif seperti yang dimaksudkan penggerak utamanya," tulis Saramago.
Yang jadi pertanyaan ialah: mengapa rezim yang seperti itu bisa bertahan lama - sejak 1932 sampai 1974? Jawabannya bisa banyak. Mungkin karena Salazar, profesor ekonomi itu, adalah wakil rasionalitas di tengah ketakutan akan yang irasional, suara tertib di tengah khaos. Portugal, sebagaimana dilukiskan Saramago di sini, adalah sebuah negeri di mana sapi akan dibawa memberikan suara dalam pemilihan, kemudian dagingnya--yang tipis, yang tebal, yang jeroan dan akhirnya yang ekor--dimakan, misalnya untuk sup buntut. Mungkin juga karena Gereja telah mengatakan bahwa Portugal adalah Kristus dan Kristus itu Portugal dan orang ramai bilang amin. Mungkin juga karena seperti Ricardo Reis, begitu banyak yang "lumpuh".
Ricardo Reis menyukai tata, sebagaimana ditunjukkan oleh Fernando Pessoa, seorang penyair yang mati sebulan sebelumnya dan mengunjunginya sebagai hantu. Ia berbicara tentang "Nasib", dan "Nasib" apalagi kalau bukan "tata". Ia meniduri Lydia, perempuan pelayan berumur 30 tahun itu, dan menghamilinya, tapi ia tak akan menyeberangi jarak kelas sosial mereka. Ia tak tertarik kepada sejarah yang sedang bergerak di sekitarnya (ia bahkan mula-mula tak tahu siapa Salazar), dan ia tak bisa mengerti kenapa kakak Lydia, seorang kelasi, ikut dalam pemberontakan yang sia-sia dan gugur.
Mungkin sebab itu hidup dan mati Ricardo Reis tanpa pathos, tanpa gelora perasaan, dan kematiannya hanya bagian dari rutin dalam sejarah kediktaturan yang panjang. Ia mati dalam keadaan murung dan mungkin putus asa tapi kita tak menyaksikan sebuah peristiwa bunuh diri. Ia hanya berangkat bersama hantu Fernando Pessoa, pergi tanpa topi. Lalu novel ini pun berakhir, seperti dongeng, dengan kalimat yang seakan datang dari jauh: "Di sini, di mana laut berakhir dan bumi menunggu."
Menunggu, bukan mulai. Pasif dan terentang panjang.
Goenawan Mohamad