PADA mulanya adalah tak-tahu. Lalu manusia pun tumbuh, dan pengetahuan lahir. Dunia modern bahkan bergerak dari proses pengetahuan itu: manusia tak lagi tersihir oleh dunia. Segala hal ihwal di luar dan di dalam dirinya ia anggap bisa ia kuasai. Ia menangkap dunia itu, menafsirkannya dan mengubahnya.
Tapi waktu berjalan terus, dan dunia modern seperti kehilangan napas. Berangsur-angsur pengetahuan manusia (yang tak sekadar tentang dunia, tapi juga pengetahuan tentang pengetahuan itu sendiri) ternyata tak bisa sepenuhnya menafsir dan mengubah. Pada akhirnya dunia seakan-akan lari lepas, tak terarah, tak terkejar. Dengan kata lain, pada mulanya adalah Tak-Tahu, kemudian Tak-Tahu menjadi Tahu, dan Tahu menjadi Entah.
Sejarah pengetahuan manusia tentang diri dan dunianya, dari Nabi Adam sampai dengan Anthony Giddens, kini seakan berujung pada Entah itu. Giddens berbicara tentang "the runaway world". Seorang pemikir lain, Jurgen Habermas, tiga tahun yang lalu berbicara tentang die neue Unu¨bersichtlichkeit. Dalam satu simposium yang langka dan bermutu tentang pemikiran Anthony Giddens di Teater Utan Kayu, Jakarta, 4 Desember yang lalu, Sindhunata, pemimpin redaksi Basis, yang banyak mengikuti pemikiran Jerman mutakhir, menerangkan apa maksud Habermas dengan kata itu: ia ingin "melukiskan segala macam perkembangan baru, yang sekaligus disertai dengan ketakterdugaannya, ketidakjelasannya, dan ketakdapat-diselesaikannya."
Singkat kata, Entah pun jadi sebuah paradigma. Manusia mau tak mau akan menggunakan Entah sebagai model bersikap dan pangkal bertolak. Dalam kata-kata Sindhunata, die neue Unu¨bersichtlichkeit kerap dipakai "begitu mereka berbicara mengenai ketidakmampuan kaum intelektual, lebih-lebih dari bidang ilmu-ilmu sosial, untuk menghadapi perkembangan baru yang serba rumit dan kompleks."
Tapi tak semuanya murung. Sementara dunia lari lepas dan kita tersengal-sengal, sebuah kearifan baru pun datang: hidup tak akan dengan sendirinya berakhir brengsek jika kita mengakui bahwa akhirnya kita hanya punya Entah. Giddens dan Ulrich Beck berbicara tentang zaman Pencerahan atau Modernitas Kedua. Dalam zaman Pencerahan Pertama, manusia membangun sebuah masyarakat yang keputusan-keputusan dasarnya tak lagi bersifat "irasional". Semuanya sepenuhnya berdasar pada akal budi. Sebaliknya, zaman Pencerahan Kedua meletakkan di pundak kita beban untuk mengambil keputusan yang menentukan, yang dapat berakibat bagi kelanjutan hidup kita, tapi yang juga tak cukup berdasarkan pengetahuan.
Dengan itu Beck bicara tentang "masyarakat risiko". Dan dengan itu juga gema Giddens dan Beck terdengar di mana-mana, menarik orang banyak. Saya terkejut ketika lebih dari 100 anak muda berbondong datang ke sebuah ceramah tentang pemikiran Giddens 15 Desember yang lalu, juga di Teater Utan Kayu. Di ruang yang penuh sesak itu, mereka dengan tekun mendengarkan pemaparan I. Wibowo, ahli ilmu politik tentang Cina yang banyak mempelajari buku-buku Giddens buat telaahnya. Hadirin tampaknya ingin mengikuti perdebatan tentang krisis yang merundung sosialisme. Khususnya kritik atas Marxisme.
Namun teori tentang "masyarakat risiko" sendiri tak lepas dari kritik. Seorang filosof generasi baru asal Slovenia, Slavoj Zizek, tahun ini muncul dengan bukunya yang baru, The Ticklish Subject. Ia menunjukkan bahwa teori "masyarakat risiko" itu bersifat "terlampau umum dan juga terlalu spesifik". Terlalu umum, sebab tak melihat bahwa akar dari risiko itu terkait pada sebuah dunia yang dibentuk oleh ekonomi pasar kini. Terlalu spesifik, sebab teori itu tak sampai kepada kesimpulan bahwa masyarakat kini tak punya lagi sesuatu yang bisa disebut sebagai Sang Anu: sumber atau akar tunggal dari semua persoalan, dasar dan asal tunggal dari semua penyelesaian. Semuanya terapung-apung, berkembang dari aksiden ke aksiden.
Tapi dalam satu hal Zizek keliru: risiko tak dengan sendirinya terkait dengan Modal yang menderu tanpa kendali. Zizek tampaknya lupa akan apa yang terjadi di Chernobyl di musim semi 1986. Bencana stasiun nuklir di Uni Soviet ini membuktikan bahwa tanpa Modal dan ekonomi pasar sekalipun produksi teknologis bisa menimbulkan bencana. Masalah kontrol terhadap Negara yang menguasai teknologi sama perlunya dengan kontrol terhadap Kapital.
Sebuah kontrol adalah sebuah usaha untuk mengelola ketidak-pastian. Tapi asumsi dasar yang ada dalam ide mengontrol ialah bahwa kekacauan pada akhirnya juga punya titik akhir. Para ahli teori chaos, seraya bicara bahwa akibat tak pernah sebanding dengan sebabnya (mereka menyebutnya "non-linearitas"), tetap berpendapat seperti itu, "semua akibat tentu punya sebuah sebab." Mereka pun mencoba mengembangkan kapasitas manusia membuat prediksi.
Manusia memang bisa dengan gagah menyatakan ia menerima risiko, tapi dengan cerdik pula akhirnya ia akan mencoba menguasai "ketidak-terdugaan". Sebenarnya Giddens dan Beck ada dalam garis ini: mereka bukan pembawa berita bencana. Dunia bisa lari-lepas, tapi mereka, seperti manusia umumnya, akan terus mencoba membuat peta atau pola dari gerak yang kacau itu. Mereka masih percaya akan Sang Anu. Mereka tak bertanya, apa sebenarnya yang menyebabkan sesuatu yang terjadi di masa lalu akan berulang di masa depan, katakanlah di tahun 2000.
Bukankah di sini pun, jawabannya adalah Entah?
Goenawan Mohamad