Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Kotak Hitam

Oleh

image-gnews
Iklan

Ketika berpuluh ribu orang tewas dan beratus ribu kehilangan, ketika gempa dan gelombang pasang menghancurkan mendadak kehidupan, kita pun bertanya: kenapa?

Ada berpuluh-puluh "kenapa", sebab kata itu mempunyai bermacam-macam endapan, berasal dari bermacam-macam zaman, dan tiap kali bergeser. Ketika yang terjadi adalah sebuah kecelakaan kapal terbang, di balik "kenapa" itu tersimpan ingatan tentang malapetaka yang mirip yang pernah dijelaskan dengan mengulas kesalahan teknis atau kekeliruan manusia di belakang mesin. Maka "kenapa" akan mengarah ke sebuah kotak hitam yang merekam keadaan terakhir dalam kokpit pilot. Para pakar akan menganalisisnya atau menghitung berat kapal, gerak sayap, kencangnya angin, dan hal-hal lain yang tak berkaitan dengan kegaiban.

Tapi ketika berpuluh ribu orang tewas, ketika gempa dan gelombang pasang menghancurkan dusun, pantai, dan kota, ada "kotak hitam" yang lebih hitam yang dicari. Sebab endapan di balik "kenapa" yang terucapkan saat itu terdiri dari lapisan-lapisan zaman dahulu, tatkala nenek moyang kita masih hidup dengan rasa ngeri, terkesima, dan bingung mendengar petir yang menyambar pohon tinggi, membakar hutan, dan membinasakan manusia. Syahdan, mereka lari bersembunyi ke gua-gua. Tapi mereka tetap gentar.

Mereka, yang hidup berabad-abad sebelum Benjamin Franklin menemukan penangkal petir di tahun 1752, tak tahu bagaimana menghindarkan sergapan dari langit itu. Lalu penjelasan pun mulai dicari, dan "kenapa" mulai dijawab: dengan mithologi. Suku Yeruba dari Afrika kemudian menyebut Shango dalam mithologi mereka sebagai dewa guntur, dan orang Yunani menyebut Zeus. Mungkin sebab itu Vico, pemikir Italia di abad ke-18 itu, menggambarkan sejarah peradaban bermula ketika jeri menjadi puisi, ketika ketakutan manusia purba akan alam yang ganas dan tak terduga melahirkan para penyair theologi pertama.

Mungkin theologi pertama itulah "penaklukan" alam yang paling awal, sebelum ilmu-ilmu alam dijadikan pegangan. Mungkin dewa-dewa itu sejenis teknologi penenang. Satu-satunya cara manusia di masa itu untuk memahami apa yang tersembunyi dan tak mampu diketahuinya, satu-satunya cara untuk divinari (dari mana kata divinity berasal), hanyalah dengan membayangkan sebuah kehidupan yang seperti mereka kenal: kehidupan mereka sendiri.

Diakui atau tidak, di balik kata "kenapa", setelah tsunami besar melabrak Aceh di akhir 2004, bersembunyi endapan "kenapa" yang purba, dan ketika seseorang mengatakan bahwa bencana alam itu hukuman Tuhan, ia sebenarnya mengulang tema "penyair theologi pertama". Tapi dengan sebuah perbedaan penting.

Agama-agama politheis tak punya persoalan yang pelik dengan menjawab "kenapa", sebab Zeus dan Shango tak sendirian di langit. Betapapun besar kuasa Zeus, ia menjadi nisbi dengan hadir dan berperannya dewa-dewa lain. Di Olympus, Dewa Guntur yang membuat jeri itu ada bersama Dewa Cinta, Dewa Anggur, Dewa Perdagangan, dan entah apa lagi, dan mereka tak selamanya tunduk kepadanya. Mithologi Yunani bahkan memungkinkan Promotheus, yang bukan dewa, memperdaya Zeus dan mencuri api dari Langit untuk diberikan kepada manusia

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Juga dewa-dewa dalam wayang kulit tak jauh posisinya dari sana. Batara Guru ada di Kahyangan bersama Wishnu, Narada, Kamajaya, Bayu, Durga, dan lain-lain. Berdiri dengan anggun dan tampan di atas tubuh lembu Nandi, Batara yang paling terhormat itu diceluk sebagai "Adik" oleh Narada. Ia juga punya kemampuan untuk berahi dan tak peduli, salah dan kalah. Raksasa Niwatakawaca dapat menyerbu tempat dewa-dewa itu bertakhta, bahkan wayang memungkinkan sebuah komedi dalam lakon Taliputra, ketika Petruk, hamba yang buruk dan hina itu, mengambil alih kerajaan langit.

Politheisme itu tak memerlukan theodise. Ketika di awal abad ke-18 Leibniz memperkenalkan kata ini melalui bahasa Prancis (the odice e secara harfiah berarti "keadilan Tuhan"), saya kira karena ia harus menjelaskan satu Tuhan yang sempurna dalam segala haltapi telah menciptakan sebuah dunia yang malang dan berantakan dan hidup manusia tak putus-putusnya dirundung durjana dan kekejian. Begitu banyak "kenapa" yang harus dijawab. Begitu banyak kehendak Tuhan yang butuh dijelaskan dan perlu pembelaan.

Tapi di sini sebuah paradoks tak dapat dielakkan. Theodise pada dasarnya mirip dengan "teknologi penenteram" manusia purba: kita membayangkan sesuatu berdasarkan pengalaman diri sendiri. Maka Tuhan dalam pengertian Leibniz adalah Tuhan yang seperti makhluknya. Ketika ia mendasarkan theodisenya dengan sebuah aksioma yang disebutnya "Asas tentang Alasan yang Cukup", ia membuat Tuhan sebagai sebuah kekuatan yang tunduk kepada raison (kata ini bisa berarti "alasan" dan juga "nalar" atau "akal"). Tapi bagi saya tak jelas, kenapa Tuhan harus juga tunduk seperti itu? Kita tahu bahwa nalar adalah makhluk tapi kita tak tahu kenapa Tuhan harus terikat oleh makhluk-Nya ini.

Persoalannya, tanpa Tuhan yang berdasarkan raison, manusia akan hidup tanpa perasaan tenang. Jika Tuhan tak adil, kita tak akan terhibur dari dunia yang tak adil ini. Kita harus selalu menemukan kotak hitam itu, penjelasan kenapa manusia harus menderita sampai Kiamat, saat keadilan sejati dimaklumkan.

Tapi bagaimana kalau kotak hitam itu tak pernah ditemukan? Tentang tsunami itu, mungkin kita akan cukup puas dengan penjelasan sejumlah pakar geologi. Tapi tentang kenapa anak-anak itu yang harus cacat dan mati, dan bukan para jenderal yang membangun istana dengan perang dan kejahatan, bukan pula para pengkhotbah yang mengutuk "Azab!" di atas mereka yang sengsara, kita mungkin tak bisa lain: kita harus lebih adil dan lebih pengasih ketimbang Tuhan yang mereka bela.

Goenawan Mohamad

Iklan



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

3 hari lalu

Perwakilan dari tiga ratus guru besar, akademisi dan masyarakat sipil, Sulistyowari Iriani (kanan) dan Ubedilah Badrun memberikan keterangan pers saat menyampaikan berkas Amicus Curiae terkait kasus Perkara Nomor 1/PHPU.PRES/XXII/2024 dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES/XXII/2024 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden 2024 kepada Mahkamah Konstitusi (MK) di Gedung 2 MK, Jakarta, Kamis, 28 Maret 2024. TEMPO/Subekti
MK Terima 52 Amicus Curiae Terhadap Sengketa Pilpres 2024, Berapa Amicus Curiae yang Akan Dipakai?

Hakim MK telah memutuskan hanya 14 amicus curiae, yang dikirimkan ke MK sebelum 16 April 2024 pukul 16.00 WIB yang akan didalami di sengketa Pilpres.


Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

44 hari lalu

Film Djakarta 1966. imdb.com
Film Djakarta 66, Kisahkan Kelahiran Supersemar, Hubungan Sukarno-Soeharto, dan Kematian Arif Rahman Hakim

Peristiwa Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar disertai gelombang demo mahasiswa terekam dalam film Djakarta 66 karya Arifin C. Noer


53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

49 hari lalu

Wartawan Senior TEMPO Fikri Jufri (Kiri) bersama Kepala Pemberitaan Korporat TEMPO Toriq Hadad dan Redaktur Senior TEMPO Goenawan Mohamad dalam acara perayaan Ulang Tahun Komunitas Salihara Ke-4, Jakarta, Minggu (08/07). Komunitas Salihara adalah sebuah kantong budaya yang berkiprah sejak 8 Agustus 2008 dan pusat kesenian multidisiplin swasta pertama di Indonesia yang berlokasi di Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. TEMPO/Dhemas Reviyanto
53 Tahun Majalah Tempo, Profil Goenawan Mohamad dan Para Pendiri Tempo Lainnya

Majalah Tempo telah berusia 53 tahuh, pada 6 Maret 2024. Panjang sudah perjalanannya. Berikut profil para pendiri, Goenawan Mohamad (GM) dan lainnya.


53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

50 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
53 Tahun Majalah Tempo, Berdiri Meski Berkali-kali Alami Pembredelan dan Teror

Hari ini, Majalah Tempo rayakan hari jadinya ke-53. Setidaknya tercatat mengalami dua kali pembredelan pada masa Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sebut Jokowi Tak Paham Reformasi, Merusak MA hingga Konstitusi

Pendiri Majalah Tempo Goenawan Mohamad atau GM menilai pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi saat ini seolah pemerintahan Orde Baru.


Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

9 Februari 2024

Sastrawan Goenawan Mohamad dalam acara peluncuran buku
Goenawan Mohamad Sampai Pada Keputusan Tak Jadi Golput, Ini Alasannya

Budayawan Goenawan Mohamad bilang ia tak jadi golput, apa alasannya? "Tanah Air sedang menghadapi kezaliman yang sistematis dan terstruktur," katanya.


ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

2 Februari 2024

Pengunjung melihat karya-karya Goenawan Mohamad dalam pameran tunggalnya di Lawangwangi Creative Space bertajuk Sejauh Ini... di Bandung, Jawa Barat, 2 Februari 2024. Sastrawan, budayawan, sekaligus pendiri Majalah Tempo ini memamerkan lebih dari 100 karya seni rupa yang dibuat sejak tahun 2016 sampai 2024. TEMPo/Prima mulia
ArtSociates Gelar Pameran Goenawan Mohamad di Galeri Lawangwangi Bandung

Karya Goenawan Mohamad yang ditampilkan berupa sketsa drawing atau gambar, seni grafis, lukisan, artist book, dan obyek wayang produksi 2016-2024.


Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

27 November 2023

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Jelang Masa Kampanye Pemilu 2024, Forum Lintas Generasi Buat Seruan Jembatan Serong

Forum Lintas Generasi meminta masyarakat bersuara jujur dan jernih dalam Pemilu 2024.


Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

21 November 2023

Sejumlah orang dari berbagai latar belakang mendeklarasikan gerakan masyarakat untuk mengawasi Pemilu 2024. Gerakan yang dinamai JagaPemilu itu diumumkan di Hotel JS Luwansa, Jakarta Pusat pada Selasa, 21 November 2023. TEMPO/Sultan Abdurrahman
Ratusan Tokoh Deklarasikan Gerakan Masyarakat untuk Kawal Pemilu 2024: Dari Goenawan Mohamad hingga Ketua BEM UI

Gerakan tersebut diawali dari kepedulian sekelompok orang yang tidak berpartai dan independen terhadap perhelatan Pemilu 2024.


Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

14 November 2023

Gedung Mahkamah Konstitusi. TEMPO/MAGANG/MUHAMMAD FAHRUR ROZI.
Fakta-fakta Para Tokoh Bangsa Temui Gus Mus Soal Mahkamah Konstitusi

Aliansi yang tergabung dalam Majelis Permusyawaratan Rembang itu menyampaikan keprihatinan mereka ihwal merosotnya Mahkamah Konstitusi atau MK.